Alibi
Malam itu merupakan malam yang tak ingin dikenang, saksi suratan
pahit yang seharusnya tak pernah terbuka apalagi sampai terbaca. Pemuda tanggung
itu terpaksa menanggung derita selama 432.000 detik, di dalam ruang hening
minim cahaya, beradu dengan siut angin yang masuk melalui celah-celah dinding
bambu. Tak ada hujan, namun mendung menggantung gagah, menelan bintang-bintang,
menyembunyikan rembulan, suasana alam pun liar. Semak-semak berembun, mata
burung hantu melotot, ia tak sudi dengan tamu asingnya. Nisan-nisan berwajah
masam. Malam jumat menjadi pelengkap aura seram. Sesekali terdengar suara
kemerosok dari sela-sela kuburan. Tak ada anjing menggonggong, namun jantung
waktu yang berdetak pada pukul satu pagi membuat bulu kuduk Gandi merinding.
Ia menelan sesal sepanjang waktu, meratapi kecerobohannya
meletakkan kepercayaan kepada orang abstrak. Sayang sesal itu tak pernah mampu
membelanya. Jika ia boleh menangis, gudang dengan isi keranda itu akan penuh
dengan banjir air mata. Ia disekap oleh orang-orang berwajah lembut. Dunia
sudah gila, orang secantik Juliet menyeretnya
ke gubuk di sebelah kuburan, ia menganggap otak ibu tiga bocah di depannya
terlihat sinting, sebab tega menyumpal mulutnya dengan kain, dan yang terakhir
ia tak pernah memahami alasan lelaki tua berpakaian rapi dengan jas yang
membuat tubuhnya tampak berkarisma itu mengikat tangannya. Ruang 6 x 5 m
terhuni debu-debu, jaring laba-laba, tiga bocah seumuran SMP, satu ibu rumah
tangga, satu gadis cantik, seorang lelaki separuh baya dan terakhir Gandi, sang
korban. Di luar ruangan mobil lamborgini bercat darah terpakir tanpa
tuan.
Malam semakin
larut, namun orang-orang di dalam tetap diam tak melakukan kegiatan apa-apa,
kecuali duduk melingkar dengan mata terpejam seperti sedang melakukan sebuah
ritual gaib. Gandi bingung dan merasa tersiksa. Ia tak bisa menghubungi kedua
orangtuanya, sebab ponsel beserta dompetnya dirampas.
Pada pukul tiga pagi, Gandi dibius, ia tak sadarkan diri.
pixabay.com |
***
Dani melongok ke kamar Gandi, ruang kubus itu senyap
tanpa nyawa, 24 jam rekan kerjanya tak memberi kabar, pergi tanpa ucap pamit
dan tak kunjung pulang. Puluhan kali ia menghubungi kontak Gandi, hasilnya
nihil. Tak seperti biasanya Gandi pergi sampai larut, tanpa keterangan. Tiga
jam lalu waktu Dani habis untuk mencari sosok Gandi di sudut-sudut jalanan
remang, barangkali ada tubuh tergeletak di trotoar, untungnya tidak, ia bukan
pemabuk seperti Dani. Ia bertanya kepada penjual angkringan yang sering
dijadikan tempat nongkrong Gandi, pedagang-pedagang malam itu menggeleng tak
tahu. Ia putus asa, lantas melaporkannya ke pemilik konter. Dani dan Gandi
karyawan konter di Kota Kenangan, mereka saling bahu-membahu ketika ada
pelanggan rewel menawar harga, bergantian mengantarkan barang jika ada yang
pesan online.
Pemilik konter menyuruh seluruh karyawannya mencari
Gandi, mereka menerka-nerka keberadaan Gandi, pergi ke tempat yang biasanya
dikunjungi Gandi, setibanya di sana tak seorang pun mirip dengan Gandi.
Malam telah larut, fajar menyibak tirai langit. Jalanan
kota mulai dipadati kendaraan pribadi. Halaman konter bising, dan Gandi belum
juga berkabar.
Tiga hari setelah kepergian Gandi, pemilik konter
memutuskan beranjangsana ke kampung halaman Gandi, menemui kedua orangtuanya,
mengantongi harapan semoga karyawannya berpulang ke rahim ibunya, tidak hilang
seperti gosip yang beredar dari bibir-bibir karyawan. Ia sangat cemas,
seingatnya ia jarang marah kepada Gandi, seringkali ia memuji bahkan memberikan
uang tips kepada Gandi karena bagusnya, tak ada hal yang membuat sakit hati hingga pemuda itu
nekad meninggalkannya dengan alasan marah. Tidak mungkin, sekalipun ia membuat
marah, Gandi merupakan sosok penyabar dan mau mendengarkan kritik orang lain.
Gandi bukan orang pedendam. Lalu kenapa? Beruntung pemilik konter bukan seorang
wanita yang sering menumpahkan kebimbangannya dalam air mata.
“Maaf Bapak dan Ibu, apakah Gandi telah pulang?”
Bapak dan Ibu Gandi yang baru pulang dari sawah merasa
seperti tersambar petir, gerangan apa yang menggiring majikan Gandi singgah di
rumah sederhananya? Mereka yakin pasti ada hal penting, yang akan disampaikan.
Bapak tak sadar jika cangkul yang dibawanya dijatuhkan begitu saja di ruang
tamu, bahkan lupa mencuci kaki kotornya yang dipenuhi dengan lumpur. Ibu
buru-buru membuatkan kopi.
Kalimat kelima setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan
keadaan tubuh itu membuat mata kedua orangtua Gandi melotot.
“Loh, dia kan ada di kota,
bersama jenengan. Lagi kerja,” Ibu menjawab dengan kening berkerut-kerut.
“Memangnya Gandi tidak ada di tempat kerja, Pak?” Bapak
langsung paham dengan situasi saat itu. Perasaannya campur aduk, suaranya
bergetar. Ia sangat khawatir jika-jika kabar buruk datang tanpa persiapan.
Pemilik konter tak bersuara, ia menganggukkan kepalanya.
“Di mana anak saya?”
“Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi belum juga
ketemu. Saya pikir ia pulang ke sini, Pak, Bu.”
“Tidak mungkin anak saya pulang jika belum pamit ke jenenengan.” Ibu berkata dengan air mata
yang berlinang.
“Ia hilang tanpa kontak Bu, terakhir mengantarkan ponsel
pesanan konsumen, setelahnya tak kembali ke konter.”
Tubuh Ibu lemas, “Tubuhnya tidak dimutilasi untuk
diperdagangkan ke luar negeri kan, Pak?”
“Ini penculikan namanya!” Bapak menggebrak meja.
“Semoga saja tidak, Pak.”
Malam harinya kedua orangtua Gandi menggelar doa bersama
warga setempat. Bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran dengan permohonan keselamatan
dikirimkan kepada Gandi.
Jiwa seorang Ibu luluh lantah jika kehilangan anaknya.
Berderai-derai air mata disuguhkan pada tamu, bahunya berguncang tak
terkendali, suaranya sampai serak, tak sanggup lagi ia menyebut nama Gandi. Yasin dan Alfatihah berulang-ulang kali disenandungkan, rona wajah seluruh
warga ikut berkabung. Bukan hanya Ibu Gandi saja yang menangis pilu, beberapa
tetangga ikut serta merasakan pedihnya kehilangan Gandi. Ia tersebut sebagai
pemuda rajin yang taat beribadah, ringan sedekah, setiap pulang dari Kota
Kenangan ia tak alfa membagikan uang jajan untuk anak-anak tetangga sebelah.
Tuturnya santun dan perilakunya lembut.
Bagaimana mungkin anak sebaik itu harus menerima takdir
buruk? Mungkinkah Gandi lupa jalan pulang? Apakah ia terkena tabrak lari, lalu
mati dan jenazahnya dibuang ke jurang? Berbagai pikiran buruk berkelindan di
kepala-kepala mereka. Tapi tak seorang pun berani menyuarakannya, khawatir luka
Ibu Gandi akan bertambah nganga.
“Ya Allah Gusti,
berikan kesadaran kepada anak hamba, semoga ia ingat rumah, ingat ibunya, ingat
bapaknya, berikan petunjuk agar ia menemukan jalan pulang!” Ungkap ibunya
dengan sendu sedan.
“Ya Allah, Gandi titipan terbaik-Mu, terangilah
langkahnya untuk kembali ke pangkuanku!” terus ia memohon kepada pencipta.
Doa bersama telah berlangsung dua hari, 48 jam, warga
menunda segala aktivitas, mereka meninggalkan dagangan di pasar, garapan di
sawah, juga hewan-hewan ternak kesayangan, demi memohon pertolongan kepada
Allah supaya Gandi cepat ditemukan. Sayang sungguh malang, dari pagi sampai
kembali gelap, sosok Gandi masih bersembunyi dalam bayangan.
***
Seberkas cahaya masuk ke dalam matanya, ia mengerjab
menetralisir keadaan. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pening dan pandangannya
kabur. Entah berapa lama ia berada di posisi itu, tangan terlibat ke belakang,
tubuh bersandar di tiang, dan kepala terlungkup. Yang jelas, seluruh
tulang-belulangnya mati rasa.
“Apa yang kau inginkan?”
“Sebelum kau menjadi budakku, aku akan memberikanmu
sebuah permintaan.” Suara perempuan mengalir lancar di gendang telinganya. Ia
tak terlalu peduli, pikirannya sedang menerawang kejadian beberapa waktu silam,
hal yang menjadi alasan dirinya bertemu dengan orang-orang biadab yang
menjebaknya di rumah perkakas mayat itu. Anehnya ia tak ingat sama sekali. Lelaki
berjas itu mendekat, mengelus ubun-ubunnya.
“Kau akan menjadi anakku, jadi katakan apa yang kau
inginkan kali ini!”
Gandi bingung, kepalanya sukar mengembalikan ingatannya,
ia bahkan lupa dengan namanya, ia tak tahu kedua orangtuanya. Sejenak dunia
dirasanya mati suri. Bibirnya terkunci rapat.
Ibu ketiga anak melepas ikatan tangan Gandi. “Kini kau
bebas dengan ketidakmampuanmu,”
Mereka tertawa renyah.
Seperkian detik, bibirnya bergetar, ia tak suka dengan
suara gaduh yang diciptakan daging tak bertulang mereka. Manusia-manusia itu
rapi dan jauh dari prasangka perampok apalagi penipuan, setiap lekuk tubuh
mereka beraroma melati, ada udara asing yang terpancar dan aura tatapan mereka.
Gandi melihat sihir hipnotis yang membuat korbannya kehilangan akal. Ia lupa
segalanya, tapi beruntung ia ingat pada dzat yang memberikannya kehidupan.
“Pulang.” Kata-kata Gandi keluar tanpa pikiran panjang,
bahkan tanpa ia mau. Satu kata itu melesat dengan sendirinya. Pulang berarti
kembali ke asal muasal ia berada, kata-kata itu lemah namun kuat bagi
orang-orang yang tersesat, bagi orang yang merana dengan perantauan, pun bagi
mereka-mereka yang kesepian, pulang bentuk peluk hangat dari cinta manusia yang
tak mampu diurai.
Mereka saling tatap, kemudian menyetujui keinginan
terakhir Gandi.
***
Tiga hari tiga malam yasin berlantun, tiga hari tiga
malam air mata tercecer, tiga hari tiga malam rumah dipasung luka, tiga hari
tiga malam kedua orangtua Gandi disiksa rindu. Warga nyaris putus asa, Kyai
kondang diundang untuk memimpin rapalan doa-doa. Masih belum ada tanda-tanda
Gandi akan pulang.
Ibu jatuh terkulai di ruang tengah, sudah tiga hari sejak
datangnya kabar hilangnya Gandi, ia tak tak menenggak minuman pun menyuap nasi.
Wajahnya pucat pasi, kantung matanya mengendor. Selama itu pula warga tak
memejamkan mata. Baru kali itu duka terasa menyengat sepanjang malam, duka yang
ingin diusir sebagian manusia itu tak kunjung mengangkat kaki.
Malam itu warga pasrah dengan wajah payah. Semuanya
berserah diri kepada Allah, jika besok pagi Gandi tetap tak pulang, doa bersama
terpaksa dibubarkan. Bapak dan Ibu tak enak hati merengut waktu luang dan waktu
kerja warga demi Gandi. Keputusannya telah membulat.
Angin mengantarkan kesunyian, pekarangan rumah hitam dan
tampak kelam. Kunang-kunang tak lagi bercahaya, mereka seolah-olah ikut
bersemedi dalam kepedihan, puluhan semut yang biasanya berbaris di dinding
alfa, raut gelap mencengkeram keberanian mereka menampakkan diri, tak ada Nabi
Sulaiman yang mampu memberikan mereka perlindungan ketika tangan-tangan jahat
membisu obat kematian, jika saja Nabi Sulaiman mendengarkan jerit batin Ibu, ia
ingin meminta mohon agar mengutus tentara jin dan hewan supaya memberitahu
keberadaan putra terkasihnya. Dalam genangan keputus asaan warga, ketika
semuanya tak sanggup berbuat apa-apa, pasrah dan hendak melaporkan kepada
polisi pada esok harinya, sebuah mobil mewah berhenti di haloaman rumah, tak
menunggu lama Gandi keluar. Bapak lari tergopoh-gopoh, sarungnya melorot tak
dipedulikan, warga yang lain sujud syukur, ibu-ibu tetangga menangis bahagia
penuh hari.
“Gandi, anakku!” Bapak memeluk erat tubuh Gandi, air
matanya membuat sungai kecil di bahu anaknya cairannya meresap ke kain kemudian
ke pori-pori Gandi. “Kenapa saja kau, Nak? Pergi tanpa kabar? Kau baik-baik
saja?” Bapak membelai lembut pipi anaknya, mengecup kening, menatap dalam,
memastikan keadaan anaknya yang baik-baik saja. Semua penumpang turun, berdiri
di depan warga, memberikan penjelasan.
“Gandi baru saja disekap di dekat kuburan, Pak. Ponsel
dan dompetnya dirampas, itulah sebabnya ia tak bisa memberikan kabar kepada
kalian.”
“Masya Allah, nasib baik kau bertemu dengan mereka Gandi,
terima kasih telah mengantarkannya pulang.” Pak RT menjabat tangan lelaki
berjas, ibu-ibu tetangga menyalami gadis secantik Juliet dan ibu dari tiga
anak.
Gandi mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia tak mampu
berkata-kata, bahkan tak bisa memberikan penjelasan yang sebenarnya, menangis
pun tidak, mengeluh ketakutan apalagi, ia hanya diam di tempatnya, menunduk
mencermati tanah yang ditumbuhi rumput liar, tubuhnya panas, auranya pucat,
kepalanya pening namun jelas ia dalam keadaan sadar. Harusnya ia mampu
mengungkap tabir gelap yang terselubung dari kebaikan orang biadab itu.
Harusnya ia bicara supaya diundangkan polisi.
Warga bereuforia, bahkan mobil mewah itu diantarkan
pulang sampai perbatasan kampung. Lelaki berjas menitipkan pesan kepada Bapak
Gandi supaya menaburkan garam di sekitar rumah, entah apa maksudnya, ia tak
menjelaskan. Sepulangnya mereka, Bapak
mengambhil garam dari dapur, siap-siap menaburkannya. Ibu menyadari hal ganjil
dari gelagat orang asing itu. Beruntung sekali Ibu saat itu berada di ruang
temah, tak ikut serta menyambut Gandi karena tubuhnya lemas, hanya rebah dengan
milyaran syukur karena anaknya kembali pulang.
“Mereka orang yang menyekapku.” Barulah ketika semuanya
tenang dan mereka pulang, Gandi bersuara. Warga kurang percaya, telinga mereka
dibuka lebar-lebar, memastikan bahwa yang mereka dengar tidak salah.
“Maksudmu?”
“Mulanya mereka bilang akan membeli ponsel dari konterku
dengan syarat aku mengantarkannya, kuantarkan ke alamt yang mereka berikan,
anehnya alamat itu bukan perumahan atau sebuah kampung melainkan rumah perkakas
orang mati,”
Orang-orang mulai geram.
“Aku tiba-tiba dipukul dari belakang, kemudian dibius
empat hari empat malam, tanpa diberi makan. Di sana aku lupa ingatan, aku tak
tahu siapa diriku, aku juga bingung mengapa bisa di sana, bahkan aku tak tahu
sebab diriku disekap. Aku lupa, lupa yang ganjil. Aku tak tahu apa yang mereka
lakukan pada saat diriku tak sadarkan diri, yang jelas sebelum aku dibius, aku
melihat mereka hanya duduk dengan bibir melantunkan kalimat entah, mereka
seperti sedang memuja makhluk halus.” Penjelasan itu membuat perasaan warga
sekarat, jiwa mereka luluh lantah, menyesal karena sempat berbondong-bondong
mengantarkan mobil mewah itu, andai saja tahu sedari awal, lelaki berjas dan
penumpang lainnya tentu sudah babak belur.
“Bapak, jangan kau taburkan garam di sekitar rumah kita,
Gandi di bawah kendali sihir.” Ibu merangkak memeluk gandi, airmatanya tumpah
ruah. “Pencuri itu mengendalikan kesadaranmu dengan bantuan setan, Nak.
Beruntung kau ingat jalan pulang.”
“Aku tidak tahu kenapa aku berkata ingin pulang, Bu.”
Semua mata heran.
“Lalu kenapa kau pulang dan kenapa kau diam saja tadi?”
“Aku tak tahu, tiba-tiba saja bibirku bergerak
menyebutkan kata itu. Aku diam karena baru sadar dan aku tak ingin kalian
mengeroyok mereka sebab mereka bukan
orang biasa.”
“Apa pun yang terjadi, kau sudah pulang, Nak. Besok kita
laporkan kejadian ini kepada Polres Kota Kenangan supaya tak ada korban lagi.
Mereka bisa meminta pertolongan setan, tapi jika Allah tak menghendaki tipu
muslihat mereka tak akan berarti. Beruntung warga bersama-sama mendoakanmu.
Semua ini adalah pertolongan yang maha kuasa, Nak.” Ibu mengelus ubun Gandi
sebelum menyuruhnya membersihkan badan.
Malam itu warga kompak tak pulang, mereka menjaga
keamanan rumah Gandi, khawatir jika pemuda itu pergi tanpa sadarkan diri.
Disaring dari kisah nyata bulan April.
Komentar
Posting Komentar