Bunga Busuk, Mekar di Bibirmu

 

Hal yang paling mudah terlupakan adalah kebaikanmu. Kau mungkin akan menyunggingkan dua daging tak bertulangmu sembari membayangkan wajahku yang dipenuhi dengan jamur-jamur panu dan jerawat ini, batinmu akan berbisik ketika angin menggelitik pipimu, kau kata dengan amat perlahan hingga kawanan burung prenjak di kabel-kabel tak mendengar, ‘aku secantik malaikat maut’. Kebaikan-kebaikan yang telah kau tanam tak membuahkan biji keindahan dalam hidupku, kau mengusung kesal, namun keegoisan membiarkannya terbang menjelajahi senja di pelupuk hari. 

           Kau pernah berontak di waktu beku, mengajukan gugat pada nenek moyang yang bersabda bahwa kebaikan selalu menjadi hal abadi yang akan terus dikenang sepanjang kehidupan berjalan. Peradaban yang berubah, adat istiadat yang nyaris punah mengutarakan bahwa orang zaman dulu seperti pigura yang menghiasi anak-anak cucunya. Siapa yang akan tertarik dengan bingkai pigura? Mata-mata akan langsung menuju foto yang dipamerkan, bukan pernak-pernik pembungkusnya. Begitulah sebuah kebaikan yang telah dituturkan, jika bungkusnya tak menarik, maka ia akan mudah dilupakan, bukankah kornea mata ini selalu fokus dengan apa yang mereka lihat? Mata tak peduli dengan hal-hal yang terjadi di belakang retinanya, sekalipun itu hal yang tak pantas diabaikan. Bukankah aku berkata benar?

           Kau pernah memberikanku sebuah biji kenangan tentang kebaikan, katamu aku harus memakan dan mengunyahnya sampai tuntas sehingga segala hal yang telah kau berikan menjadi berkah. Tentu kau masih ingat bukan? Hari itu hujan turun mendayu-dayu, alam luar sedang berpesta dengan menerbangkan dedaunan yang gugur, debu-debu dibasahkan, selokan-selokan memuntahkan sampah, jalanan penuh dengan air keruh, disambung dengan drumband  langit, guntur memeriahkan badai hari itu, kau tak akan pernah lupa, aku mengutus anak buahku mengirimkan sepucuk surat padamu melalui rapalan doa yang kaya dengan harapan-harapan, semoga engkau datang, aku ingin melihat kakimu berpijak di lantai rumahku, lantai yang retak karena genting rapuh.

pixabay.com


           Aku ingin kau datang bersandar di dinding rumahku yang melepuh. Aku, juga anak-anakku sangat mengidamkan dirimu bercermin pada jendela-jendela rumahku, bukan, maksudnya rumah kami yang berkaca kelambu dan angin. Sebagai ketua, aku terlalu malu menghadap rakyatku. Bagaimana mungkin mereka kudiamkan menggigil dan berselimut ari-ari malam? Aku tak sanggup membayangkan otot tubuh mereka yang beku, hingga esok memanggil mereka tetap tuli.

           Surat-surat telah kuterbangkan bertahun-tahun lamanya, semula anakku merangkak sampai ia sanggup berlari mengejar capung-capung dan mengurung kunang-kunang di dalam toples, suratku belum pula terbalas. Aku putus asa, aku belajar melupakan namamu. Saat itu ketika jalanan sempit disesaki dengan wajah-wajahmu, kau hadir menampilkan senyum terindah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kau tampak gagah dan aroma wangimu semerbak ke bibir-bibir kampung. Kau membawa wibawa, perangaimu amat baik dan patut dicontoh. Aku bangga menjadi kawanmu, lebih tepatnya anak buahmu.

           Kau gemar mengajak rakyat saling gotong-royong, mengajari kerja bakti untuk saling tolong-menolong, bahkan kau tanami modal di lahan-lahan kami yang kerontang. Luar biasa, kau memang amat baik. Bukan hanya itu saja, setiap bulan kau beri kami santunan, terkadang berupa beras tak jarang berbentuk lembaran kertas.

           Kami hidup makmur dengan sisihan hartamu yang kau dapat dari pengabdianmu pada negara. Aku terpesona ketika tubuhmu menunduk di hadapan rakyat, lalu bibirmu yang jarang berasap rokok itu bersuara menentramkan jiwa-jiwa tandus rakyat yang dulu dipasung dengan harapan kosong.

           “Maaf saya sibuk dengan amanah di kantor hingga baru hari ini saya sempat mendatangi kalian.”

           Kami adalah orang yang berhati sutra, lembut. Tak rela kain kami dikotori dengan amarah, tak akan pernah membiarkan noda debu tersangkut di pori-porinya, ia adalah kain yang menghangatkan, juga melindungi tubuh-tubuh kami dari gigil yang kejam, untuk itu memberi maaf merupakan cara termudah membersihkan murka.

           “Waktu memang telah berlalu, tapi Anda masih tetap anak tanah air ini, tak ada benci yang kami sembunyikan. Mohon maaf karena kurang memahami kesibukan Anda selama ini, Pak.”

           Kami lupakan hari-hari basah yang ditangisi hujan langit, saat itu jalanan begitu licin hingga banyak warga yang tergelincir masuk ke jurang, jika beruntung mereka hanya akan cacat, jika sial maka langsung pindah alam tanpa ucap salam, meninggalkan sanak keluarga, juga meninggalkan harapan yang telah ditanam padamu. Anak-anak sekolah seringkali merangkak ketakutan, barangkali mampu bernegosiasi dengan takdir, mereka ingin kembali meringkuk di ketiak ibu masing-masing, melupakan bunyi gaduh guntur dan jalanan yang becek.

           Namun zaman menuntut mereka duduk di persimpangan pendidikan. Mereka tak punya banyak hak asasi jiwa untuk menolak. Kau tentu tidak lupa bukan? Ketika itu surat yang ke lima puluh sampai di tanganmu, kami memohon bantuan supaya jalan penghubung dengan kota kecamatan diaspal, aspal apa saja, tak perlu begitu bagus tidak mengapa, yang penting sepatu anak-anak kami tidak kotor, kami iba dengan mereka yang pulang dan pergi selalu mengenakan sepatu basah. Bisakah kau membayangkan perihnya digerogoti kutu air? Tentu saja tidak.

           Beruntung ketika padi-padi di sawah merunduk ini kau datang, membawa oleh-oleh dari kantormu meski hanya berbentuk tanda tangan yang mudah kau bubuhkan dalam lembaran kertas, tapi bagi kami itu hal yang amat berharga, tak tanggung-tanggung kebahagiaan kami lukiskan. Ribuan terima kasih kami terbangkan pada malam dan pagi yang abadi, berharap mega tak melunturi kisahmu yang mengabdikan diri di pematang kampung kami. Tiga bulan kemudian jalanan kami benar-benar sudah mulus dan nyaman diinjak.

            Kau meminta namamu diabadikan dalam ingatan supaya di masa depan dapat kembali membawakan kemenangan berupa aspirasi. Kami mentaati setiap ucapanmu, sebab kau benar-benar orang yang baik. Kampung menjadi tempat nyaman bagi anak cucu kami. Selain jalanan bersih kaupun membelikan traktor dan soundsystem untuk warga. Tak perlu lagi kami menyewa kerbau-kerbau kampung sebelah untuk membajak sawah, tak perlu juga meminjam speaker masjid ketika pengajian. Setelah itu kau memutuskan pergi menjelajahi kampung sebelah. Katamu kau ingin membantu mereka-mereka yang dilanda susah.

           Tak berselang lama datang rekan-rekan kantormu. Mereka melakukan hal yang serupa, memberi kami santunan, menolong warga-warga yang kesusahan, menawarkan berbagai macam program baik demi kehidupan di masa mendatang. Jika dirimu membangun jalan, rekan-rekanmu merenovasi rumah-rumah kami yang bersekat gedek dan kayu-kayu rapuh, dengan syarat kami menulis surat dengan rapi.

           Kami tidak menolak, ini merupakan kesempatan emas yang jarang ditemukan, mengumpulkan uang untuk mengindahkan rumah bukan hal yang mudah, keringat kami sudah terperas habis demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, bisa tidur tanpa kehujanan sudah keberuntungan yang tak tanggung-tanggung. Memimpikan rumah megah berbatu bata adalah hal yang menakutkan bagi kami, kau tahu? Kami hanya ingin anak-anak kami menjadi orang yang berguna, lebih berguna darimu untuk membangun bangsa, maka seluruh biaya kami sumbangkan untuk membantu bantuan operasional pendidikan-pendidikan negara yang kurang. Maka bukankah amat bijak jika kami tidak menolak tawaran rekanmu itu?

           Rumah-rumah kami kini hangat... ketika kau lama tak berkunjung ke kampung kami. Pekerjaan dan tanggungjawabmu menumpuk setinggi gunung, kami belajar memahami. Kedatanganmu menghadirkan banyak kenangan manis dan indah, kau bahkan begitu baik karena telah berkorban memperkenalkan kampung ini kepada rekan-rekanmu, hingga mereka terus bergantian datang, memberi kami bendera-bendera yang terus berbeda, meninggalkan wajah-wajah mereka lengkap dengan identitas gelar.

           Ringan sekali kami menancapkan wajah-wajah rekanmu di sekitar jalan aspal dan bahu-bahu jalan yang kau bangun. Kalian memang pantas dicetak dalam sejarah. Bahkan kami tak hanya memajang kalian di jalanan, di dinding-dinding rumah, di papan gerobak dagang, di sepeda motor, di punggung, bahkan di atas kepala. Tubuh kami penuh dengan nama dan wajah-wajah kalian. Kami amat bangga, kampung yang semula merasa dikucilkan mendadak merasa paling berharga karenamu dan rekan-rekanmu.     

           Namun...

           Bumi seperti sedang berguncang, gunung-gunung terbatuk, lautan menggulung perkotaan, membumibasahkan kebahagian yang sempat mengalir jernih. Engkau datang membawa badai di tanganmu lantas melemparkannya ke wajah-wajah kami dengan umpatan, bodoh! Betapa bodoh! Mengapa kami mudah dipengaruhi oleh rekan-rekanmu, mengapa kami tak memiliki perasaan terima kasih sedikit pun padahal sudah dibantu banyak hal. Mengapa dan mengapa?

           Aku masih sangat ingat, di bawah lampu terang benderang yang juga kubelikan dari hasil santunanmu itu, ia menyinari wajah lusuhmu, dasimu tak lagi rapi, sepatumu kotor, dan aroma tubuhmu tak sewangi dulu, kutafsir kau kelelahan menjelajahi kampung-kampung untuk memberikan santunan serupa. Kalau saja kami boleh membela, jarang ada orang sepertimu yang singgah dan mau tidur di kampung kami apalagi sampai mengulurkan tangan mereka untuk memberi kami bantuan, kau tahu sendiri hasil punggung kami pas-pasan untuk makan dan uang jajan anak sehari-hari, untuk melengkapi kebutuhan warga kami tak sanggup meski sudah berusaha keras mengiur seribu rupiah perbulan, kapan akan terkumpul? Lebaran kunang-kunangkah? Kami khawatir anak-anak kami kesusahan ketika ditinggalkan jasad kami, lihatlah rambut-rambut kami kini sudah beruban, apakah kau tak memahami itu? Jadi jangan salahkan kami jika ada orang datang menawarkan ribuan kebaikan, tentu tidak akan kami tolak.

           Malam itu kau menyuruh kami merobek wajah rekan-rekanmu yang terlanjur kami pampang lebar-lebar di perempatan jalan, di pertigaan jalan, di jalan masuk kampung, di jalan tikus, di depan-depan rumah dan di dada-dada kami. Tapi kami tak mengindahkan perintahmu, kami telah berjanji mengabadikan nama kalian di hati kami, membaginya adil. Warga kami ada 900 lembaran jiwa, maka kami akan membagi rata dengan rekan-rekanmu. Kau harusnya tak perlu cemas, rakyatku tetap akan mengabadikan namamu di lembaran mimpi mereka. Harusnya kau bersyukur karena kami mengamalkan nasihatmu tentang gotong-royong dan harus bertindak adil dalam mengambil sebuah keputusan. Bukankah kami mengikutimu? Apakah salah?

           Tak berselang lama rekan-rekanmu datang, tak jauh berbeda denganmu, mereka pun protes karena ada wajah lain di sisi gambarnya. Aku dan warga sepakat berbuat adil, tak mau melepas apa yang telah kami tanam. Maka ketika hari puncak itu tiba, sebuah hari pengenang nama dan gelar-gelar kalian, waktu di mana kami wajib datang ke bilik kardus untuk menoblos wajahmu, kami melakukan toblosan dengan sembarang karena amat kecewa. Sebelum berangkat, ketika hendak keluar dari pintu rumah, beberapa orang suruhanmu datang, menyalami kami amplop santunan yang isinya sama sekali tak bernilai. Kami sadar kebaikanmu selama ini adalah untuk dirimu sendiri, untuk menyuburkan bunga-bunga busuk berupa janji manis yang mekar di bibirmu.

           Sejak kejadian itu kami semua sepakat melupakan namamu.

           Maaf jika terpaksa menerima kebaikanmu.

           Magelang, 21 Agustus 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis