Bocah Autis

 

Tarik dagu runcing dari wajah lonjong miliknya. Senyum yang tetap kecut, meski air liur sudah bersusah payah memaniskannya. Suaranya nyaring, bertekad menidurkan alam, namun justru menghancurkan ketenangan. Ia yang merangkak dari beranda rumah, menuju jalanan kampung, berteriak, atau melonjat-lonjat kegirangan. Sesekali, menatap kerumunan Ibu-ibu yang nongkrong di depan rumah tetangga. Memperbincangkan jantung kawan yang tak berdosa. Terkadang... Atau mengharumkan nama-nama indah para pesolek yang berdiri di atas istana hiburan. Mewartakan berita yang tak layak untuk diperdengarkan kaum-kaum awam. Jika bosan, seputar kenikmatan di dalam kamar akan menjadi perdebatan yang berbisik-bisik. Tak pantas remaja tanggung mengupingnya. Aku... jangan ditanyakan lagi. Mungkin takdir sedang mabuk, mengapa memaksa otakku untuk menyimpan memori tentang percakapan dewasa.

pixabay.com


       Ia sukar berjalan. Kalimat yang dirangkainya pun seperti umpatan lebah marah. Mendengung-dengung membuat kepala bingung. Jika kini kau sanggup membersihkan dirimu dengan mandi sendiri, maka tidak dengannya. Walaupun umurnya sudahmendekati angka dua puluh. Ia tidak manja, aku sering melihatnya berusaha menarik kakinya keluar rumah. Menelindas kerikil yang bertonjolan di gang-gang sempit. Merangkak, di atas kubangan lumpur becek, sebab hujan yang terus menangis. Aku juga pernah menyaksikannya makan dengan piring plastik di beranda rumah. Menyendok suapannya dengan tangannya sendiri. Tentu ia mandiri, meskipun mandinya tak sendiri. Ia tersenyum, melihat orang lain melintasi depan rumahnya. Terkadang juga melambai, sayang lambainnya sering diartikan hampa oleh para tetangga. Seringpula kulihatnya tertatih-tatih menyuarakan sebuah kata, berusaha keras hingga keringat meluncur di dahinya untuk menyapa. Tragis, yang didapatkannya adalah ejekan yang menghina. Aku melihatnya yang teracuhkan. Kekurangan fisiknya kupotret menggunakan ke dua lensaku.

       “Bicara itu yang jelas!”

       “Diam! Berisik!”

       Aku yang sering bingung dengan laju pemikiran orang dewasa, bertambah satu tingkatan heran karena mereka. Kau tahu, Kawan? Hal itu membuatnya berontak di tengah malam. Melempar kursi, meninju tembok rumah, mencengkeram sesuatu dengan sangat geram, mengamuk ayah yang telah merawatnya semenjak ia lahir. Pada jalan yang buntu, ia menangis tersedu-sedu.

       Waktu itu, usai bertemu dengan Veri dari lapangan, aku melihatnya kembali. Ia tengah duduk di lantai beranda rumahnya. Menatap sekumpulan Ibu-ibu setengah tua, atau yang masih muda duduk di sisi aula kampung. Suara mereka mengalahkan kicau burung yang menunggu senja berkemas. Sesekali kalimat yang tak kupahami itu berbaur dengan kekompakan anak-anak mengaji dari dalam aula. Kakinya terselonjor pasrah. Celananya kumal, sementara bajunya masih tampak bersih. Air liur bermuara pada dagunya, kau sanggup menghitung lima detik lagi cairan itu akan membasahi bajunya. Aku tak tahu mengapa waktu itu aku sangat ingin mengamatinya lebih lama. Maka, kupatungkan ragaku tepat di hadapannya. Rumah berpoles warna merah mudanya yang sederhana, menjadi bigronnya. Ada sebuah kursi kayu yang dibiarkan melamun  di sisi tubuhnya. Matanya tak lentik, namun sorotnya terbuka dengan sangat lebar.

       Oh.. o...arrgghh... erghh.. aaa..uuu...” Ia mengeja huruf. Pita suaranya terbuka. Bibirnya bergerak naik turun. Tangannya menunjuk diriku. Kuberikan satu senyuman manisku untuknya.

       Ia bertepuk tangan dan air liur merayakan kesenangannya dengan cara menjatuhkan diri.

       Wajahnya berbinar.

       Mungkinkah, ia hendak mengajakku berbicara?

       Hei bocah autis,masuk sana ke dalam rumah! Jangan ganggu Mbak Rara!” Hardik seseorang yang sedari tadi berjalan di belakang tubuhku. Satu karung rumput digendongnya. Ia baru saja pulang mencarikan nafkah sapinya dari ladang dekat lapangan Candisari. Letih tergambar jelas pada wajahnya yang dimandikan dengan keringat. Napasnya sedikit tersengal. Ia membungkuk menyeimbangkan beban di punggungnya. Menatapku sejenak. Kau boleh menganggapnya sebagai seorang tetangga, sebab ia tetanggaku. Tetanggaku, tetanggamu juga.

       ‘Ooooo...Arghh...Emmm...Argghh...’ Mata anak itu merah. Bibirnya terbuka lebar. Air liur bertambah deras. Suaranya menarik simpati Ibu-ibu yang sedang duduk bergerombol. Mereka kompak mengarahkan mata pada kami bertiga. Aku masih diam.

       ‘ARRRGGGGHHHHH......’ Seakan ada sesuatu yang hendak diumpatkan. Semakin keras ia mengeja. Suasana batinku bertambah pilu. Aku iba dengannya, sungguh beruntung aku diciptakan dengan kesempurnaan langkah, juga suara. Perih! Kutelan getir sebab aku tak tega terus melihatnya menderita dengan kebisuan kata. Ia meminta seseorang memahaminya, namun tak ada yang mampu mewujudkan, begitupun dengan diriku, hanya sanggup berdiri mendengarkan rintihannya.

       “MASUK! JANGAN KELUAR!”

Saat hardikannya bertambah satu oktaf, aku tak tinggal diam. Berusaha membelanya.  “Tidak papa, Ibu. Saya tidak merasa terganggu. Justru saya yang mengganggunya!” Namun, anak itu tak lagi mengeja kata. Ia menendang kursi dengan kakinya yang tertidur, lantas menyeretnya masuk ke dalam rumah. Menggebrak pintu. Menutupnya kasar.

“Siapa orang yang ada di lapangan tadi, Ra?” Aku tercengang. Pertanyaan tersebut membuatku mati kutu. Kutelan air liur dalam-dalam. Hening. Aku pura-pura batuk.

Oh, Bu. Saya mau pulang dulu, udaranya sangat dingin!”

Aku pergi tanpa menunggu responnya. Aku malas memperpusingkan keadaan yang jelas buruk. Yang ada dalam otakku hanyalah nasib anak itu, anak yang dianggap autis. Kawan, sungguhkah ia autis?

22, November 2014.

 

 

Komentar