Alasan Pencipta
Pagi.
Gigil adalah sahabat yang malas meninggalkanku di pembaringan. Ayam mulai
berkokok . Pukul tiga dini hari, Fajar merayap perlahan. Bintang masih menatap
bumi riang. Gumpalan di langit itu menerangkan alam. Sinarnya jatuh berebutan
dengan cahaya rembulan yang sok ingin menang sendiri. Langit, biru memayungi
temaram.
Kabut
lari, takut dengan sepoi angin yang hendak mengusir kemuramannya. Dedaunan
bambu di perkampungan menari gembira, okestra yang bersiul terdengar merdu.
Embun masih nyenyak di ujung dedaunan. Matanya jernih menangkap hari yang masih
samar-samar.
pixabay.com |
Aku membuka mata. Kuintip dunia.
Sudut-sudut ruangan temaram. Selimut kusibak. Mengintip celah alam melalui
jendela. Selarik cahaya rembulan menembus ruangan, hendak mengajakku bermain
dan bergurau dengan fajar.
Aku
tertarik, melangkahkan kaki. Membuka pintu. Kusambut kesegaran alam. Paru-paru
bersorak riang. Kantuk kalah perang. Bibirku tersungging menang. Kuambil air
wudu, mengaduh di hadapan Tuhan. Bersujud menukar dosa dan dendam.
Kunanti
pahala di tahta surga yang bertuan. Berharap dapat menimbun khilaf, membunuh
malapetaka, terakhir mengusir derita yang tersemat di dalam dada. Jantung dan
hati tak sabar menanti irama Ilahi bernyanyi. Bibir bergetar menyebut asma-Nya.
Aku tersadar pada terang yang selama ini digelapkan persoalan. Duduk tenang.
Menunggu azan mengajakku bertamu ke alam lain.
Pukul empat pagi, renta-renta
berebut langkah menuju tempat ibadah. Mata sayup-sayup itu dipaksa melotot.
Senyum hambar semua. Sajadah tersampir di pundak. Keseimbangan tubuh nyaris
punah. Jika kusenggol sedikit saja, maka akan roboh.
Merekalah
para pejuang kematian. Orang-orang yang sedang menyiapkan bekal ke liang kubur.
Setengah tua, sibuk mengemas barang dagangan. Kaki tertuntun ke arah keramaian.
Uang receh sudah disiapkan semalam untuk kembalian. Doa terlantun pada Tuhan,
semoga laba berlimpah.
Pemuda
masih sibuk menarik selimut ulang. Kantuk belum gentar dengan jeritan azan,
semalam mereka dikalahkan oleh hantu begadang yang melenakan. Digoda nafsu
bersama lawan chatting ponsel yang
menyesatkan. Senyum pun mengambang pada jemari takdir yang malas menggenggam
cinta tak bermakna.
Anak-anak
sekolah duduk setengah badan di atas ranjang, mengamati jam dinding yang tak
pernah berkhianat pada waktu, khawatir terlambat. PNS, sibuk menyetrika
seragam, mencari-cari makanan instan. Aku? Aku di sini, di beranda musola,
mengamati sang renta yang umurnya mendekati senja.
Kupotret punggung mereka
tersuruk-suruk di atas sajadah. Bibir komat-kamit melantunkan ayat-ayat suci,
entah benar, entah salah. Sebagian bersandar di dinding musola menunggu iqomat,
lehernya terangguk-angguk, sebagian yang lain sedang khidmat dengan sunah-sunah.
Semuanya sama, mengharapkan satu cahaya, penerang alam baka.
Kebaikan-kebaikan
mereka ciptakan. Dari hal besar hingga hal sepele seperti merapikan
sendal-sendal yang menyimpan kotoran di telapak masing-masing. Tangan sang
renta tak jijik. Ia sepenuh hati karena Tuhan. Kau tak percaya? Bahkan pada
kisah sebelumnya aku pernah mengabadikan, tentangnya, tentang renta yang
mempunyai pekerjaan unik. Masih sampai sekarang, Kawan! Tak ada yang berubah
selain giginya bertambah tanggal dua. Senyumnya pun masih tersungging manis.
Geraknya
lemah gemulai, memang umurnya sudah tak menjaminkan tenaga yang sempurna. Ia
menyapaku, mengulurkan salam seusai uluk salam. Katanya, semakin banyak orang
menjabat salam, dosa-dosa akan berguguran, rontok masuk ke dalam neraka,
menyisakan pemiliknya yang gelimpangan terserang dahaga surga.
“Rajin-rajinlah ke musola, Anakku!
Nanti musola yang sering kau singgahi akan datang mengantarkanmu ke surga,
melewati shirath yang tebalnya
seumpama rambutmu dibelah menjadi tujuh! Mengerikan bukan? Siap-siaplah, ajal
sudah menantimu di penghujung dunia! Jangan main-main kau dengan kehidupan,
buang jauh-jauh keinginanmu pada nafsu yang menyesatkan!”
Ia menepuk bahuku, memberi nasihat yang
terkadang menggentarkan nyaliku mereguk nikmatnya dunia.
“Nek, kenapa kita hidup jika kita
akan mati?” Pertanyaanku sedikit miring.
“Anakku, Ibu dan Ayahmu melahirkanmu untuk membuatmu bahagia, tak
pernah ia rela menerlantarkanmu di dunia ini, apa pun dia lakukan untuk
kebaikanmu. Ia tak ingin membuatmu menderita, mencintai dengan kasih sayang
yang utuh, menyekolahkanmu agar kau mendapatkan pendidikan, mendoakanmu
sepanjang malam. Karenanya kau hidup! Apakah dengan itu kau tega menyakiti
perasaan orang tuamu dengan bertindak semaumu sendiri?”
Aku menggeleng. Penjelasan
yang membuat dadaku bergetar. Keningku mengalirkan keringat dingin. Senyum. Ya
aku tersenyum. Namun senyum yang hambar. Renta lain melipat sajadah, lantas
menggulung mukenah.
Renta
pria keluar dari musola, beberapa masih asyik menggeleng-gelengkan kepala
bertasbih. Dan aku pun menggeleng, namun
bukan menggeleng dengan menyebut kalimat tauhid, menggeleng menjawab pertanyaan
renta di hadapanku.
Kuamati kerut wajahnya yang membuat kulit
keringnya mengendor. Kantung mata menggantung lunglai. Jari-jemari tingggal
tulang, tubuh sama sekali tak berdaging. Kau tebak saja jika mukenah itu
dibuka, maka uban akan menyembul di atas kepala.
Pandangannya
redup, matanya tak lagi jernih. Ia juga sudah tak sempat memikirkan penampilan
fisiknya, yang penting menutup aurat. Karena sadar tingkat akhir, tak akan ada
lagi pria tampan menggodanya.
“Tapi kau tahu sendiri bukan,
Anakku? Orang-orang berlomba mengejar kesuksesan, kemanisan hidup, kebanggan
pada orangtua yang dicintainya. Semuanya ingin membuat orangtuanya bahagia,
bukankah kau juga seperti itu, Anakku?”
Aku mengangguk. “Kesimpulannya,
Tuhan pun seperti itu, Anakku. Ia hanya menginginkan kebahagiaan untuk akhir
hidup makhluk-makhluk-Nya, karena itu Ia menciptakan kehidupan. Ia adalah yang
paling penyayang dan pengasih, tidak tegaan melihat hamba-Nya menderita. Ia
mengharapkan ketenangan dan kenyamanan untuk makhluk-makhluk-Nya, usai
mematikannya, Anakku!”
“Jika Dia mengharapkan semuanya
hidup nyaman, kenapa harus ada cobaan dan ujian?”
“Sekarang aku bertanya kepadamu,
Anakku. Banyak orang dewasa yang lebih dewasa pemikirannya, bijaksana
perilakunya di dunia, disebabkan oleh apa, Anakku?”
“Cobaan dan ujian.” Aku
menjawabnya tertatih.
“Jika orang itu mampu melewati
semua ujiannya, ia akan dimuliakan oleh banyak orang, disanjung-sanjung,
dibutuhkan kehidupan, dan juga terakhir tentunya akan membanggakan ke dua
orangtuanya.”
Aku mati kutu. “Sekarang kau tahu
apa maksud Tuhan memberikan cobaan dan ujian kepada hamba-hamba-Nya?”
“Lalu kenapa harus ada surga dan
neraka, Nek? Jika Tuhan tak tega melihat makhluk-Nya menderita, mengapa Ia
menciptakan alam yang sangat mengerikan?”
“Anakku. Coba kau pikirkan orang
yang mabuk-mabukan, orang-orang yang berzina di kegelapan malam, orang yang
menghardik anak yatim, orang yang memakan uang rakyat, mereka adalah
orang-orangyang mengabaikan nasihat orangtuanya saat kecil. Jika kau menjadi
orangtua di antara salah satu orang tersebut, apakah hatimu tidak akan sakit
hati?”
Jiwaku remuk. Aku sadar, aku
menyadari pemahaman yang buta selama ini.
“Apa yang akan kau lakukan demi
kebaikan anakmu?”
“Saya akan menegurnya,
menasehatinya, jika tidak ada hasil, maka saya akan menghukumnya, agar ia jera
dan sadar untuk kembali lagi menjadi anak yang baik!”
“Kau cerdas, Anakku! Dan apakah
kau rela anakmu menderita? Kau mau menghukumnya sampai nyawanya lenyap?”
“TIDAK! SAYA MENGHUKUM BUKAN UNTUK
MELUKAINYA, HANYA UNTUK MEMBUATNYA SADAR DAN JERA, SUPAYA DI LAIN HARI TAK
MELAKUKAN KESALAHAN YANG SAMA.”
“Begitulah Tuhan mendidikmu. Ia
memberikan hukuman pada orang-orang yang tidak taat kepada-Nya. Semuanya bukan
karena ia membenci, bukan pula karena Ia pilih kasih, justru hukuman itu
diberikan-Nya, sebab Ia sangat mencintai makhluk-Nya. Neraka diciptakan untuk
memberikan hukuman pada orang-orang yang tidak taat, surga diciptakan untuk
mereka yang berhasil melewati ujian hidupnya!”
“Tapi. Neraka itu digambarkan
sangat menyeramkan, Nek!”
“Anakku. Apakah orang itu akan
kekal di neraka selama ia mempunyai jati diri memegang kepercayaan kepada
Tuhannya? Apakah ia akan terus di neraka jika jiwanya memegang ajaran Tauhid?”
Aku diam, bergeming. Seorang renta
menghabiskan dzikir, ia berdiri, melangkah keluar. Hening. Alam timur mulai
terbangun. Merah indah disambut kokok ayam. Warga menggesekkan lidi. Anak
sekolah berebut kamar mandi. Pekerja kantoran menyendok sarapan. Pedagang
menggelar tikar.
Ibu
rumah tangga sibuk meracik bahan makanan. Petani membancokkan cangkul. Nelayan
menebar jaring. Sayang, kampung kami jauh dari lautan. Maka, beberapa warga
lari ke bebukitan pinus, mencari ranting-ranting kayu untuk bahan bakar.
“Apa yang diucapkan oleh guru
ngajimu, Anakku?”
Aku diam.
“Semuanya akan mendapatkan
ganjaran amalnya, meskipun hanya sebesar biji dzarrah! Ia tidak akan selamanya di neraka. Jika-”
Kata-katanya menggantung. “Jika
ajaran agama yang benar ada di dadamu, Anakku!” Ia menyentuh dadaku, tersenyum.
“Sekarang kau paham bukan? Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian karena ia
menginginkan kebaikan dan kebahagiaan untuk makhluk-makhluk-Nya. Tuhan pun
punya alasan mengapa ia memberikan cobaan dan ujian kepada makhluk-makhluk-Nya,
sebagaimana ke dua orantuamu mendidik hidupmu. Semuanya demi kebaikanmu.”
Ungkapnya
terakhir, lantas melangkah keluar. Kulihat punggungnya membungkuk. Ia rapikan
sendal-sendal jamaah. Kulirik renta yang tersisa, semuanya kompak, lelap di
sandaran dinding musola. Ada juga yang melumat dzikir menjadi dengkuran.
Hening. Renta hanya tersisa tiga.
19 Desember 2016.
Komentar
Posting Komentar