Air di dalam Kertas
Jika aku berkata...
Senyum mereka masih riang, walau
kabut di langit menghadang. Wajah kaku menerobos gigil yang menyelimuti
perjalanan. Dingin menusuk sampai pori kulit yang terdalam. Udara mendadak
menjadi jarum yang mematikan. Resliting dinaikkan. Bibir langsung menghias
paras yang biru. Langkah merangkak, harus segera tiba, sampai di persinggahan
istana tercinta. Duduk bersila di hadapan kekasih hati sembari menenggak teh
hangat, menatap aktivitas senja yang akan lelap. S.E.B.A.G.I.A.N. Dan gerimis
memutar gerak jemari insan. Mantel dibalutkan ke tubuh. Ransel di punggung tak
dibiarkan menggigil. Senyum yang semula mengembang, menjadi tumbang. Langit
menggeleng iba, ia mulai menangis, gerimis menjadi nostalgia manis.
pixabay.com |
Terjalnya jalan dilalui. Bebatuan
berantakan di pusar membuat ban sepeda motor menggeliat tak suka. Para
pembonceng pun diwajibkan berpegangan erat. Entah pada ekor jog, atau pinggang
tak ramping sopirnya. Sementara hati komat-kamit membaca doa keselamatan.
Ilalang mentertawakan. Aspal kacau, kerikil bertebaran tak rapi. Gas mulai
kebut-kebutan. Tak ada yang rela melaju di belakang, semuanya ingin menjadi
yang terdepan. Aku menggumam. Mungkinkah gerimis menyebabkan kekacauan?
Kawan, kau mau tahu perjalanan ini
tergiring ke mana? Sesungguhnya aku dan mereka sedang dalam perjalanan pulang.
Beberapa menit mundur, rombongan menengok teman yang baru saja melahirkan buah
hati nan jelita. Bertambahlah nyawa yang hendak memperebutkan dunia. Doaku,
semoga ia tak menjadi serakah seperti raja yang sudah kehabisan tahta.
Dalam perjalanan ini, ada kisah
yang haruslah kau tahu. Tentang sesuatu yang jarang sekali terpikirkan oleh
banyak orang. Maka sepenggal kisah yang kutorehkan dengan tinta ini adalah
santapan lapar bagimu yang sedang kehabisan motivasi hidup untuk memperjuangkan
impian meraih surga. Ya. Semua orang menghendaki kesenangan, kenyamanan,
ketenangan, terakhir kepuasan yang memenangkan segala bentuk perjuangan. Lantas
kau menganalogikan bahwa hal itu adalah surga. Surga yang menjadi idola
kehidupan.
Perjalanan usai. Roda berhenti di
depan toko pakaian.
“Bu Rara,” teman memanggil. Kawan,
kau tak usah bingung mengapa diriku yang berusia ranum belum melengkungkan
janur, terpanggil IBU. Kujelaskan sekali lagi, bahwa aku dijebakkan takdir
dalam ranah pendidikan anak-anak. Maka, teman yang baru saja memanggilku adalah
guru dengan senyum termanis yang dapat memabukkan hatimu.
Leherku menoleh. Bu Ruroh, teman
yang kutumpangi sepeda motornya menghentikan tarikan gas. “Ya, ada apa?”
“Bantu bawa minuman ke sekolahan,
ya?”
“Loh mana minumannya?” Protes Bu Ruroh manis. Ia adalah sosok guru
yag lembut tuturnya, anggun pembawaan dirinya, dan santun ucapannya. Akalnya
kaya dengan milyaran kata yang sering dibacanya di beranda rumah tatkala senja
mekar. Maka lengkung nirwana mampu dipatahkannya dengan kata-kata. Sayang, ia
lebih banyak diam. Berkata seperlunya, meski senyumnya selalu dipamerkan kepada
banyak orang. Ramah memang.
“Lagi mau saya beli.”
Aku tertawa lalu turun dari motor.
Bu Ruroh mengiyakan enteng. “Iya.”
“Ayo Bu Rara, bantu bawa minumannya!”
Jerit Bu Ifa. Orang yang sejak lahir telah memiliki tekstur wajah humoris.
Disempurnakan oleh tubuhnya yang kurang ramping. Suaranya satu kali lebih keras
dari miliknya Bu Ruroh.
Aku
melengos.
“Malas ah!”
“Astaghfirullahhal’adzim.” Tak kudengarkan gerutuan mereka. Memang
begitulah aku. Acuh tak acuh. Langkah kutuntun masuk ke toko Devita. Tempatku
bersinggah seperti biasanya. Ada benda yang kurindukan. Cermin pemantul tubuh.
Masihkah aku tampak rapi? Atau sudah layak jika kau panggil gembel tak mandi?
Aku menarik senyum sendiri. R.a.p.i. Lantas keluar kembali.
“Mana yang bisa saya bantu?”
Responku seraya mendekati sepeda motor Bu Ruroh. Satu kardus air mineral
diletakkan di belakang tubuhnya. Tampak menyedihkan. Bu Ifah menambahnya lagi
satu tumpukan. Wanita lembut itu susah payah menjaga keseimbangan. Gerimis
melambai. Kendaraan yang melintas jalan raya hanya melirik sekilas. Tak ada
yang berkenan membantu, barangkali Bu Ruroh terjungkal, sebab kehilangan
keseimbangan, mungkin bagi waktu itu tak akan pernah menjadi masalah. Aku
mengulum senyum. Aku mengantisipasi kejadian buruk. Tak akan pernah membiarkan
hal tersebut sungguh terjadi.
“Ayo, Nduk. Bantu!” Ia sedikit membulatkan matanya. Seolah hendak marah,
namun senyum mendadak merekah. Anggun.
Aku duduk di belakang memegangi
kardus. Bu Ifa kembali masuk ke dalam toko. Ia urus administrasinya. Kami
berdua melanjutkan perjalanan. Aku terus menggumam. Berpikir. Lantas berdebat
dengan batinku sendiri. Mencari-cari sebuah pelajaran yang dapat diambil. Aku
tersenyum. Ada secuil moral yang dapat aku renungkan. “Bagaimana mungkin air
dapat diletakkan di dalam kertas?” Bagiku, kardus merupakan kertas yang tebal.
Logikaku tak dapat menangkap realita tentang air yang tersimpan di dalam
kertas. Namun, coba kau bayangkan, dengan kecerdasan manusia yang diturunkan
dari Allah padanya. Mereka menemukan tempat yang tak lagi unik untuk membuatnya
menjadi hal yang tidak mustahil. Kuharap kau tak pening dengan pemikiranku.
Aku mengangkat satu kardus ke
sekolah. Bu Ruroh menunggu di depan pintu gerbang. Langkah kutuntun dengan
riang. Aku tak menghiraukan gerimis yang berubah menjadi butiran air.
Mendungnya langit belum begitu berarti dalam hidupku. Bu Nia yang juga seorang guru
menyambut, ia sudah lebih awal tiba di persinggahan tercinta. Ikut serta
membawakan satu kardus minuman. Aku meletakkan di depan pintu kantor. Duduk
sebentar.
“Bahkan air pun bisa dimasukkan ke
dalam kertas ya?”
“Hei! Kau bilang apa?”
“Coba dinalar, apa yang ada di
dalam kertas ini?” Aku menepuk permukaan kardus.
“Ya. Minuman!” Bu Nia menjawab
tegas. Ada yang melirik heran dengan laju pikiranku di depan pintu gerbang. Ia
seolah hendak mencengkeram rem kuat-kuat.
“Apakah minuman itu terbuat dari
debu?” Bu Nia tak memberi jawaban. “Kalau saya berkata air di dalam kertas,
apakah salah?”
“Bu Rara!” Hardik lawan bicaraku.
“Itu kardus!”
“Apakah kardus itu alumunium?’
Ia mendengus. Wanita yang di depan
gerbang bertambah geram. Kelembutannya sedikit luntur. Keteduhan sorot matanya
sedikit memudar. Hujan segera menjadi lawan. Angin sepoi tak lagi menenangkan.
Daun cengkeh di tempat parkir berguguran. Langit muram. Dan aku tetap
mempertahankan obrolan.
“Bukan!” Bu Nia kalah.
“Jadi, aku benar bahwa ada air di
dalam kertas?”
“Tidak. Ada gelas plastik yang
menampungnya, barulah dimasukkan ke dalam kardus!”
“Kesimpulannya tidak mungkin ada
air di dalam kertas? Maksudnya, mustahil kertas sanggup menampung air?” Kataku
menarik respon Bu Nia. Kupaksa otaknya berpikir serumit mungkin.
“Ya itu tidak logis?” Sanggahnya.
“Justru karena itu tidak logis,
maka manusia telah melogiskannya!”
Waktu berdecak. ‘Debat kusir.’ Aku acuh. Bu Ruroh
sepertinya mengurangi kadar kesabarannya untuk menungguku. Lagi-lagi aku
angkuh.
“Apa maksudmu?”
“Karena air di dalam kertas itu
mustahil, maka Allah menurunkan kepandaian kepada manusia untuk mengolah
plastik menjadi gelas agar melindungi air, kemudian Allah juga memberikan ilmu
kepada manusia untuk membuat kertas yang lebih tebal.”
“Dan kesimpulannya tetap, Bu Rara!
Tidak ada air di dalam kertas! Sekarang kau sadar bukan bahwa hal tersebut
sungguh mustahil?” Bu Nia menarik kesimpulan.
“Bukan, cobalah kita berpikir dari
sudut pandang yang berbeda. Dari minuman dan kardus tersebut kita dapat
mengambil sebuah pelajaran, bahwa di dunia ini banyak hal yang mustahil. Jika
dilogika, bagaimana mungkin pesawat yang beratnya berton-ton itu melambung
tinggi di udara, siapa yang menggerakkannya? Ilmu dari mana? Atas izin siapa?
Sama halnya itu mustahil!”
Bu Nia diam. Ia mengatur napas,
mengeluarkannya secara perlahan.
“Hush... KENAPA MALAH BERDEBAT?” Bibir Bu Ruroh akhirnya melontarkan
perkataan.
“Dan satu hal lagi,
selembut-lembutnya orang ia juga mempunyai peringai yang kasar, orang di depan
gerbang sekolah itu buktinya, meski ia tak seutuhnya marah, namun itu sanggup
menjadi gambaran.”
Aku tersenyum. Sepuluh detik
kemudian, senyumku menjadi rekahan tawa yang memabukkan.
“Segala hal yang mustahil dapat
dilakukan oleh hal-hal yang tidak mustahil. Sesuatu yang mustahil mendapatkan
bantuan dari hal yang tidak mustahil agar menjadi tidak mustahil!”
“Kau bicara apa, Bu Rara?”
“Apakah penjelasanku salah?
Bagaimana bisa, ada gerbong yang berjalan berpuluh-puluh kilometer? Siapa yang
menariknya? Ilmu apa yang digunakan untuk mencetuskan mesin uap, listrik, atau
yang lainnya? Bagaimana orang sanggup mengukur muatan, bagaimana orang
memperkirakan banyaknya penumpang? Jika saja tidak ada ilmu di dalamnya, tak
ada orang yang diberi kecerdasan untuk merakitnya, dan tak ada zat yang
memberikan tenaga untuknya, sanggupkah
gerbong-gerbong itu berjalan hanya dengan bantuan angin? MUSTAHIL!”
Bu Nia menggumam. Ia menatapku
tajam. Mulutnya bungkam.
“Jangan pernah takut memimpikan
sesuatu yang mustahil, selama itu masih dalam batas nalar. Dulu aku juga sempat
tidak mengerti mengapa lampu bersinar, bagiku itu mustahil, disusul ada laptop,
handphone, mesin cuci, dan yang
lainnya. Ah, itu membuatku pening,
tapi jika sekali saja aku renungi segalanya, itu justru akan membuatku tunduk
pada yang di atas. Alam ini dan semua apa yang di dalamnya, tak mungkin mampu
bergerak dengan sendirinya!”
Bu Nia mengangguk. “Jadi, tak ada
yang mustahil jika saya mengatakan bahwa ada air di dalam kertas. Manusia telah
menjadikannya tidak mustahil dengan membungkusnya terlebih dahulu di dalam
gelas plastik agar dapat dikemas di dalam kardus, yang kumaksud sebuah kertas
tebal.”
“Ayo, Nduk! Mau pulang tidak?” Semula Bu Nia diam, lalu ia meledakkan
tawanya. Aku melanjutkan perjalanan pulang. Hujan melambai riang.
***
Komentar
Posting Komentar