Punggung Wanita
Mulai
tahun 2000 ia melangkahkan kaki di jalan
bebatuan, menuju tempat ramai yang sering dikerumuni sayur-sayuran. Ialah
pemilik malam yang sering mengabaikan kerlip bintang-bintang, jarang menikmati
hangatnya pelukan bantal dan selimut di kamar. Lebih tepat wanita itu merupakan
kawan angin malam, sepi dan gesekan pohon bambu di emper-emper jalan kampung
merupakan keluarga kedua yang menguatkan pijakan kakinya. Dari zaman jalanan
masih berbatu sampai jalan telah diaspal ia akan dikenang pada kening zaman dan
putri-putrinya yang kini telah pandai mengeja huruf alvabet.
Ketahuilah,
wanita itu belum berumur, ia memiliki pandangan mata yang tajam, ditautkan
dengan alis hitam legam serupa arang, suaranya tidak santun, lebih tepat
berintonasi seperti orang marah meskipun ia tidak marah. Ia seringkali
menggadaikan senyumnya pada kegelisahan kebutuhan hidup. Suaminya masih setia
mendampingi di lembar buku pernikahan, sayang jarak membuat mereka harus saling
menjaga hati dengan rindu yang dikuatkan, alasannya sederhana, demi mencari
nafkah keluarga, bertarung melawan kemiskinan.
![]() |
pixabay.com |
“Mamak nanti pulangnya jangan sore-sore, ya?” Pesan
dari anak pertama.
Ia
telah dikaruniai tiga anak, kesemuanya perempuan yang cantik-cantik. Di usia
yang masih belia, anak pertamanya dituntut mandiri, masak sendiri, mandi
sendiri, bahkan harus bisa merawat kedua adiknya yang masih kecil-kecil. Anak
pertama baru duduk di bangku kelas tiga SD, yang kedua masih di kursi Taman
Kanak-Kanak, terakhir baru belajar berdiri dan merangkak. Malamnya jarang
dipeluk lengan hangat kedua orang tua, justru sebaliknya ia yang membagi
lengannya untuk kedua adik.
Wanita
itu biasa dipanggil Wati, ia berusaha tegar meninggalkan ketiga putri kandung
demi membantu suami mencari nafkah. Panas dan dingin membuat kulit tangannya
mengkerut, ia yang seharusnya belum terlalu tua, ditampilkan zaman dengan wajah
mengeriput sebab pekerjaan berat yang ia tanggung. Wati jarang bersolek,
bukannya ia tidak kenal merahnya gincu,
tetapi ia tak sempat merawat tubuhnya karena pekerjaan di lapangan memaksa
dirinya berkawan dengan debu-debu dan asap knalpot.
“Kalau
masih ada mobil naik ke desa, nanti Mamak
pulangnya tidak terlalu sore, tetapi kalau mobilnya sudah pada pulang Mamak akan jalan kaki, Nduk!” kata Wati meyakinkan sambil
mengulus ubun anak pertama.
Detik
itu gelap, malam membingkai waktu lelap dengan sangat tenang. Gumintang di
langit tak tersapu kabut. Musim kemarau sedang bertandang di bumi Indonesia,
maka mendung lama tak akan singgah. Sebuah kesempatan untuk mencari nafkah.
Wati akan bersedih jika hujan datang sebelum dompetnya terisi beberapa lembar
rupiah. Orang-orang di sekitar selalu berpikir bahwa dirinya adalah seorang
pedagang sayur. Rupanya tidak, Wati memungut keuntungan dari pasar bermodal
selendang lusuh dan punggugnya.
Bagaimana
seorang punggung wanita dipekerjakan? Wati tidak punya pilihan lain. Bertani di
ladang bukan keahliannya, ikut mertua terus-menerus juga membuat perasaannya
tidak nyaman. Setelah memutuskan hidup di rumah sendiri, maka ia perlu
mengantisipasi kebutuhan anak-anak yang mulai menipis sementara suaminya pergi
merantau. Pekerjaan rumah tangga saat itu belum marak, kalau pun ada maka harus
meninggalkan desa dengan resiko mau dibawa ke luar kota, sementara Wati tidak
mungkin meninggalkan putri-putrinya yang masih belia. Maka di suatu senja,
ketika ia jalan-jalan ke pasar, ia melihat seorang wanita lebih tua darinya
mengangkat beban di punggung. Wanita itu mendapatkan upah dua lembar seribuan,
Wati berpikir ia akan sanggup melakukan pekerjaan tersebut. Mulailah ia mencari
tahu cara untuk bergabung menjadi kuli gendong.
Sejak
saat itu, Wati bertarung melawan kantuk. Langkahnya dituntun menuju pasar di
bawah kaki Gunung Sumbing yang jaraknya lumayan jauh. Enam kilometer pulang
pergi menjadi dua belas kilometer, ia lalui dengan menghitung jumlah bintang
dan merasakan gigilnya malam.
Anak-anaknya
selalu menunggu kepulangannya di beranda rumah, berharap Wati pulang membawa
oleh-oleh Dawet Ayu, jajan khas
kesukaan ketiga putrinya. Sayang, meski sekadar Dawet Ayu, kadang uang di dompet tidak cukup untuk menebus minuman
tersebut. Wati hanya menatap nanar ketiga putrinya. Ia sering membelikan
jajanan Gethuk manis agar perut
mereka kenyang. Uang hasil bekerja menjadi kuli gendong tidak seberapa, padahal
sudah menghabiskan banyak tenaga dan memeras keringatnya sampai ludes. Baginya beras dan sayur menjadi
prioritas, jajan adalah pilihan kedua. Selain itu ia juga perlu menyisihkan
uang sedikit demi sedikit untuk pendidikan ketiga putrinya di masa depan. Wati
adalah potret wanita tangguh yang mau belajar mengamati keadaan di sekitar.
Sesungguhnya ia bukan wanita yang berasal dari kaki Gunung Sumbing.
Wati
lahir dan tumbuh besar di Semarang, dengan ibunya ia memang sudah diajari
bekerja memanen cangkih dari kebun. Maka setelah menikah dan pindah ke
Kabupaten Magelang, lalu tinggal di gunung dengan mertua yang kesehariannya
menghabiskan waktu bercocok tanam di ladang, ia belajar memantaskan diri dengan
lingkungan alam. Dahulu sebelum makanan tersaji di meja, ia perlu menanam
sayuran terlebih dahulu. Tidak boleh serta-merta langsung sarapan jika belum ke
ladang. Padahal Wati belum terbiasa dengan medan ladang di wilayah itu. Ia
berjuang melawan jalan yang dikelilingi jurang, juga terkadang menahan perihnya
perut lapar.
“Kalau
besar, kalian harus menjadi wanita mulia, jangan menderita seperti Mamak ya?” kata Wati kepada anak-anaknya
menjelang petang sebelum dirinya bergerilya di jalanan sepi menuju malam. Ia
bahkan mengalihkan rasa takut dengan mengenang senyum keceriaan ketiga putirnya
di hari libur. Wati tidak ingin anak-anaknya mengulangi kemiskinan dan
kekurangan di masa mendatang. Doanya tak kenal lelah, senantiasa mengalir
serupa arus di sungai-sungai induk. Memiliki muara yang luas berupa lautan.
Wati sungguh berharap besar nanti ketiga putrinya menjadi orang cerdas dan
memiliki kehidupan nyaman.
“Aku
mau ikut Mamak ke pasar!” seru anak
pertama penuh semangat. Wati telah menjadikan sosok idola yang dinantikan
kepulangannya setiap senja.
“Hush, ngawur! Mamak itu di pasar jadi kuli gendong, lelah, Nduk! Jangan ada yang mengikuti jejak Mamak, ya!” Sebuah
larangan yang saat itu belum dipahami oleh putrinya.
Di
musim penghujan dan angin datang sangat kencang, apalagi ketika itu lumbung
padi di rumah sedang kosong. Ia takut menembus malam penuh kabut yang dingin
bahkan dikatakan seram oleh sebagian orang. Menempuh perjalanan seorang diri di
waktu dini, pukul tiga pagi sebelum orang-orang terbangun dari tidur, bahkan
ketika teras-teras rumah warga masih mengheningkan cipta, bukanlah perihal
gampang. Uang yang ia dapat hari itu biasanya akan habis juga detik itu. Itulah
hal yang membuatnya dilema. Suami pulang setengah tahun sekali, dengan
menitipkan uang dengan jumlah pas-pasan. Bekerja mengandalkan tenaga, tanpa
modal ijazah memang biasanya mendapat upah minim. Wati tidak punya pilihan
selain merapalkan doa dan harapan semoga hujan tidak turun deras malam itu. Ia
berangkat menahan dingin dengan mantel plastik dan senyum hangat ketiga
putrinya yang disimpan lekat dalam dada.
Ada
hal yang paling miris dari musim basah, jarang ada pembeli mampir belanja di
pasar karena lokasi yang becek dan kotor. Selain itu, orang yang meminta
bantuan membawakan dagangannya ke mobil atau sepeda motor juga minim. Hujan
mengurangi jumlah beban di punggung, tetapi Wati kurang menyukai hal itu,
meskipun begitu ia tidak mau putus asa, ia selalu menunggu di emper warung
gorengan, berdoa semoga langit cepat cerah dan memberikan peluang untuknya
mencari nafkah.
Wati
melupakan rasa sakit di punggung karena lelah, baginya anak bisa jajan dan
tersenyum lepas di beranda rumah merupakan anugerah terindah.
Magelang, 24 Agustus 2022.
14.43 WIB.
Ibu memang selalu punya banyak cerita, dari kepala sampai ujung mata kaki.
BalasHapus