Berkah
Ia manusia biasa seperti pada
umumnya. Makan, minum, dan tidur ketika malam bertandang. Beberapa orang
menjulukinya sebagai sesosok manusia luar biasa. Sementara waktu berdesis bahwa
ia tak memiliki apa-apa kecuali seutas senyum yang diobral percuma di jalan-jalan
kampung.
Jika kau berjalan dua
belas kilo meter sepanjang hari, tentu saja dahaga dan keringat bertempur
menyiksamu, maka tidak dengannya, ia tidak menjadikan semua bulir keringat di
tubuhnya sebagai simbol peperangan terhadap kehidupan, ia justru menjadikan
mereka sebagai pondasi yang mengukuhkan kehidupan keluarganya. Siapa pun akan
menatapnya miris, ia mendorong sepeda tua bututnya, menuruni dan mendaki lereng
gunung menuju perkampungan tetangga. Tidak cuma-cuma mengisi waktu olahraga, ia
melakukannya sebab memenuhi tanggungjawab sebagai seorang Ayah.
![]() |
pixabay.com |
“Kenapa tidak pensiun
dari pekerjaan itu, Pak?” seorang mahasiswa pernah mengajukan pertanyaan di
bawah atap warung kelontong yang sudah tidak menampakkan kehidupan.
Lelaki itu tersenyum
manis, memamerkan sederet gigi tidak rapinya. “Hidup merupakan perjuangan demi
mendapatkan cinta, baik dari pemilik kerajaan langit, juga kerajaan duniawi.”
Jika kau pahami kalimat
yang ia ungkapkan, kau mampu menebak bahwa orang tersebut adalah orang yang
berpikir cerdas, sebagaimana kesimpulan mahasiswa.
Pemuda itu merekatkan
ranselnya, mengembuskan napas perlahan. September hujan masih berderai di muka
bumi, ia tak membawa jas hujan, terpaksa menyingkir ke tepian, berteduh di
warung yang telah mati. Itulah pertama kalinya ia bertukar sapa dengan lelaki tua,
hingga hari-hari selanjutnya. Ia sering melihat punggungnya mendorong sepeda di
tanjakan, jemarinya menggenggam kuat-kuat sepedanya agar tidak terjun bebas di
jalan turunan. Lelaki itu dijadikannya simbol perjuangan, namanya akan dikenang
sebagai seorang pahlawan.
“Apa kau tidak pernah
merasakan lelah, Pak?”
“Kenapa aku harus lelah,
Nak? Setiap hari aku melihat senyum anak-anakku mekar, melihat mereka makan dan
mampu bergerak di alam luar sesuai yang mereka harapkan dengan jerih payah
keringatku, tentu saja aku tidak punya alasan untuk bermalas-malasan dengan
kata lelah, Nak. Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, pernahkah kau melihat
orangtuamu berhenti bekerja? Sekali pun mereka berwajah lesu?”
Pemuda itu diam, ia
hanya tersenyum, melambaikan tangan lantas meninggalkannya sendirian.
Setiap hari, tidak
pernah ia alpa menuntun stang sepedanya dengan penuh ketulusan. Ia menjadikan caping sebagai pelindungnya dari terik matahari.
Jika langit meruntuhkan buliran air hujan, maka plastik keresek akan dipakainya
untuk melindungi kepalanya. Seringkali kaos oblong kusam yang dikenakan, sandal
jepit yang semakin menipis, juga celana panjang yang lutut kirinya robek, entah
termakan tikus kelaparan, atau dimakan rentanya zaman. Pekerjaannya sederhana,
mendorong sepeda dengan beban cairan di punggung sepeda yang diletakkan di
dalam keranjang. Cairan-cairan itu penyemangat manusia-manusia yang diserang
lelah, penyembuh penyakit orang kampung, pengusir nyeri di otot sebab bekerja.
Menyusuri jalan raya
dari kampung ke kampung, memasuki gang-gang rumah warga, menjajakan cairan yang
dibawa punggung sepeda. Cairan yang terbuat dari kunyit, jahe, daun papaya,
temulawak, kencur yang dipadukan dengan beras, dan lain sebagainya. Tariklah
sebuah kesimpulan tentang lelaki tua itu, kau tentu sudah paham bahwa ia adalah
penjual jamu keliling.
Di zaman modern, ketika
teknologi dan media masa melejit secepat kedipan mata, orang-orang telah
memperagakan harta-harta berharga di tempat-tempat umum sebagai ajang pameran,
ia masih setia di bawah sengatan terik mentari, dirundung pilunya langit kelabu,
mendorong sepedanya demi menjajakan ramuan berkhasiat. Melangkah, meratapi
jejak di atas aspal, pantang pulang sebelum kantong penuh dengan rupiah,
meskipun sekadar keping receh orang-orang lemah.
Lelaki tua itu telah
mendapatkan tempat di hati-hati penduduk kampung, nyaris lima kampung mengingat
namanya, bahkan jika diberi kesempatan takdir akan membuatkannya tugu monumen
untuk mengabadikan jasanya membantu masyarakat pedesaan mengusir lesu juga linu.
Meski engkau menatapnya menyedihkan sepanjang hari, namun penduduk kampung
tidak memandangnya sebelah sisi, mereka justru menaruh hormat pada raut
wajahnya yang mengeriput, ia mendapati gelar baru. Lelaki hebat.
Pemuda itu belajar dari
semangatnya. Ia bukannya orang yang malas dengan rutinitas di kampusnya. Ia
juga bukan orang yang meninggalkan syukur di dalam kubangan kehidupan hedonis
apalagi matrealis, langkah nadinya dibiarkan mengalir apa adanya. Pagi bangun,
bermain-main ke markas tongkrong, siang berangkat kuliah, sore kumpul bersama
teman, menghabiskan waktu di kafe-kafe perkotaan, mencicip kopi-kopi,
memperbincangkan gadis seksi yang diincar banyak mata keranjang. Secara ajaib, lelaki tua itu merubah jadwal
hitamnya.
Apakah ia menjadi lebih
baik dari sebelumnya? Tidak, ia justru menjadi lebih buruk, jarang masuk ke
kampus, bimbingan skripsi tidak diindahkan. Suatu hari ia duduk di taman
kampus, menyatukan kenangan masa lalu dengan perjuangan yang akan dirintisnya
di masa depan. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung bangku taman. Dapat kau
lihat beberapa mahasiswa lalu-lalang di jalan kecil, juga dengan jelas kau
mampu merekam beberapa dari mereka yang tongkrong memutari air mancur. Bunga
kertas memayungi wajah-wajah pemeluk harapan masa hadapan. Dari penongkrong, ia
menjadi pelamun di taman kampus.
“Orangtuaku tidak
semenyedihkan lelaki tua itu, aku
tinggal duduk manis, masa depan sudah jelas, menjadi pewaris kekayaan keluarga,
bahkan tidak lulus wisuda pun tidak masalah.” Gumamnya sewaktu berangkat kuliah. “Sayangnya, apakah
di masa mendatang aku akan memahami makna perjuangan sepertinya? Ibu dan Ayahku
bukan tipikal orang yang mau hujan-hujanan dan panas-panasan, mereka menumpangi
mobil, pelayan pribadi, yang mereka pikirkan adalah mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, sementara lelaki tua
itu? Kalau satu gelas jamu seharga seribu lima ratus rupiah? Berapa ribu yang
ia dapatkan sehari? Apakah ia mampu mencukupi kebutuhan anak dan istri? Ah, sudah kupastikan pendidikan anaknya
tentu rendah, itu menyedihkan sekali.”
“Kenapa kau masih
berdiri di sini, Nak?”
Pemuda itu sengaja tidak
melanjutkan perjalanan ke kampus. Ia berhenti di warung kelontong yang tidak
berpenghuni, memarkir sepeda motornya, satu jam lamanya menunggu kedatangan
lelaki tua, ia mengharap senyum manis keluar menentramkan jiwanya yang sungsang
sebab tidak tahan dengan kata menunggu, ia ingin menyulap keringat lelah
penjual jamu menjadi hidangan lezat menanti senja rebah di ufuk Timur, sayang,
harapannya retak, mendung sepertinya akan dijadikannya kambing hitam untuk
mengalahkan kalimat barusan. Alam memang tampak berkabung. Ia tidak sedang
menangis, sayangnya mentari sedang berselingkuh dengan kegelapan.
“Sebentar lagi hujan,
seperti biasanya, Pak. Aku tidak membawa jas hujan,”
“Belum hujan, Nak. Baru
mendung,”
“Nanti di tengah-tengah
jalan pasti akan hujan deras, lebih baik aku sedia payung sebelum hujan turun,
anggap saja aku sedang berteduh sebelum hujan turun,”
“Kau sedang berkelit,
Nak. Orangtuamu bahkan membiarkan punggung mereka diguyur hujan, kepala
dipanggang matahari, kau? Hujan belum turun sudah membuat alasan atas nama
hujan?’
“Orangtuaku tidak
seperti itu, Pak. Mereka hidup senang dan penuh dengan kecukupan.”
Lelaki tua mengembuskan
napas. Ia melepas tudung kepalanya, mengibaskan di depan muka usai memaarkir
sepedanya. Botol-botol jamu masih meninggalkan setengah cairan. Perjalanan
belum pendek, ada tiga kampung lagi yang menunggu ramuan kuatnya.
“Kalau begitu apa yang
kau berikan untuk mereka? Mentang-mentang hidupmu nyaman, kau punya kekuasaan
untuk bermalas-malasan? Bisa jadi masa depanmu tidak semanis kehidupan
orangtuamu, jangan sampai Tuhan memberimu azab, murka karena kebiasaan burukmu
yang mengabaikan hal positif, kau akan hidup susah, dan tidak mampu berbuat
apa-apa, sebab dari kecil kau hidup dalam kesenangan,” kalimat Lelaki tua itu
menghujam ke palung hatinya yang paling dalam. Ia telah air liurnya. Hendak
menyanggah, namun tidak ada kalimat tepat yang dapat dirangkai pikirannya.
“Berangkatlah belajar,
jangan belok-belok ke tempat-tempat tidak penting. Kau tahu betapa susahnya
diriku menyekolahkan ketiga anak-anakku? Jangan kau lukai aku dengan sikapmu
yang seperti itu, Nak. Hal itu membuatku berpikir negatif kepada mereka, mungkinkah
mereka juga enggan belajar sepertimu?”
“Kelas berapa?”
“Yang paling kecil masih
duduk di bangku dasar, yang satu kelas tiga SMA, yang satunya…”
“Aku berangkat kuliah, Pak.”
Ia belum mendengarkan
nasib pendidikan anak pertama lelaki tua.
***
Lagi, ia duduk di bangku
taman kampus, membiarkan jasadnya dikerubungi gerimis. Mahasiswa berteduh di
perpustakaan, di lorong-lorong kampus, bergurau di kantin, sebagian masuk kelas
masing-masing, ia termenung dengan kesendiriannya, menyadari kehidupan linunya
di rumah. Adakah jamu yang mampu menyembuhkan linu perasaannya? Seperti kisah
orang-orang kaya pada umumnya, apa saja memang dapat diraih dalam sekejab mata,
namun ia kesepian. Jangan salahkan dirinya jika terjun di dunia luar mencari
keramaian, menghamburkan uang karena memang itu yang dimilikinya, berkumpul
dengan teman-teman, berceloteh asal-asalan, menanggapi persoalan
manusia-manusia yang tidak penting, justru menganggap hal berat menjadi ringan,
semisal kuliah! Ia tidak menganggap itu akan memengaruhi kehidupannya kelak.
“Hujan, kau mau sakit
untuk dijadikan alasan berkelit dari dosen pembimbing skrikpsimu?” Wanita
berjilbab abu-abu menyapanya, ia menegakkan payung, tersenyum manis kepadanya,
“ayo ke perpustakan lalu temui dosenmu, ia sudah datang.”
“Erin! Kenapa kau
belajar Ilmu Ekonomi? Kau ingin bekerja di kantor kelak? Rin, tak perlu aku
lulus kuliah, aku sudah bisa menjadi presdirmu,” selera humornya tidak lucu,
gadis yang dipanggilnya Erin hanya tersenyum sinis, mengembuskan napasnya.
“Aku bukan hanya belajar
Ilmu Ekonomi, Fa! Ilmu agama, sosial, alam pun aku kupas pelan-pelan.”
“Untuk apa? Apakah semua
itu akan berguna bagi masa depanmu? Bukankah cukup kau bekerja makan dan minum?
Semua manusia pada dasarnya hanya membutuhkan makan dan minum, rumah mewah
kuanggap makanan, mobil mewah kuanggap makanan, keluarga juga kuaggap makanan,
minumannya jalan-jalan, bahagia, lelah, lantas kembali lagi mencari makan
keesokan harinya.”
“Itu dirimu, Alfa! Tidak
denganku yang dari kecil hidup susah,”
“Kau hidup susah?
Bukankah kau punya mobil? Kuamati kau juga jarang dipanggil karena kekurangan
biaya,”
Erin tersenyum. Ia
menyeimbangkan gagang payung. Gerimis hinggap di rambut Alfa, namun ia tidak
peduli.
“Aku tidak ingin
bercerita panjang tentang hidupku, Fa! Namun coba kau tafsirkan sendiri,
andaikan dirimu gagal belajar, dari mana kau akan membangun istana cinta
keluarga? Ralat dari mana kelak di masa depanmu akan mencari makan? Hidup
memang tidak membutuhkan banyak teori, namun ia perlu teori dasar, kau harus
memupuk otakmu dengan ilmu agama, bubuhi aspek sosiologi, rangkum kiat-kiat
mendidik anak, lantas akhirnya kau harus memecahkan pokok terpenting ‘makan
untuk hidup, bukan hidup untuk makan.’ Akan kau dapatkan ilmu tersebut dari
mana? Jika kesempatan belajar itu kau sia-siakan? Seperti merekakah? Yang
menikah dini lantas cerai berkali-kali? Anaklah yang menjadi korban, kedewasaan
tidak tertanam, selingkuh dengan sembarang pasangan. Itulah kehidupan realis.
Agama tinggal nama di dada. Siapa yang akan menyelamatkan generasi jikalau kau
sendiri hanya duduk di kafe-kafe malam?”
“Apakah makan serumit
itu, Rin?”
“Buktikan saja di masa
depanmu!”
“Bolehkah aku menikah
denganmu? Setidaknya untuk menjauhi hal negatif, jika aku terjatuh lagi maka
kau bisa kujadikan sandaran.”
“Ayahku mungkin tidak
akan membiarkanku menikah dengan orang yang hanya mengandalkan warisan rahim
keluarganya. Aku ke perpustakaan dulu,”
“Aish, jawabanmu serius! Aku juga tidak akan menikah denganmu! Aku
hanya bercanda!”
Erin meninggalkannya
diamuk gerimis. Taman hening. Tak seorang pun mahasiswa yang mau bermain-main
dengan gerimis yang berubah menjadi hujan kecuali dirinya, dirinya yang malang.
Erin? Siapakah Erin, mengapa sedekat itu dengannya? Peduli dengan kalimat panjang
untuk menasehatinya? Bahkan meluangkan waktu mencarinya di taman? Kau tahu?
Mereka adalah teman satu jurusan. Bidang mereka sama. Orangtua Alfa menyuruhnya
belajar Ilmu Ekonomi sebagai bekal masa depannya menjalankan perusahaan.
***
Tahun berakhir, sebagian
mahasiswa menganggap tahun berakhir. Dalam tanda kutib, ‘tahun pahit mengerjakan skripsi’ wajah mereka beberapa bulan
tegang di hadapan layar komputer, bersungut-sungut ketika mencari referensi
bacaan, bermalas-malasan menganalisis lapangan. Terbayar lunas hari itu. Ada
beberapaa orang yang berwajah gelap, namun banyak yang riang, seperti Erin.
Toga dikenakannya, ia mendapat predikat Cum
Laude. Ia sangat manis dengan riasan salon di wajahnya. Entah sepagi apa ia
pergi ke perias wajah, merengek didandani untuk merayakan keluusannya. Kawan,
jika kau lihat sekitar, maka mahasiswa-mahasiswa terlihat memesona, wajahnya
ranum, manis-manis, tampan-tampan, apalagi yang singgah di atas podium, rektor
mengalungkan penghargaan, memberikan ijazah, menyalaminya bangga.
Prosesi wisuda usai.
Erin menghampiri kedua
orangtuanya, memeluk hangat, melelehkan airmata di bahu ringkih ayahnya. Alfa
melihat dari kejauhan, ada sesak yang mengganjal ulu hatinya. Ada ketakjuban
yang membungkam bibirnya, ada hormat yang membuat langkahnya tak mau bergerak.
Ia mematung, merasa dirinya hina sebab melalaikan kesempatan, kedua orangtuanya
menggeleng-gelengkan kepala, berceloteh atas dasar kecewa. Ia mengabaikan,
fokus pada Erin dan kedua orangtuanya.
“Hidupmu sudah senang!
Apa-apa tercukupi! Bagaimana mungkin kau tidak lulus, Fa? Tugasmu hanya
belajar, tak perlu kau perpusingkan biaya, uang jajan dan tempat tinggal!
Belajar dan belajar! Kurang apalagi?”
“Bagaimana kau kalah dengan
anak penjual jamu? Ia bahkan mendapatkan predikat manis, kau sungguh memalukan
harga diri keluarga, Fa!”
Lelaki tua itu mengecup
pipi putrinya. Menangis haru karena bangga.
“Bagaimana lelaki tua
itu mampu menyekolahkan anaknya, Yah?”
“Itu karena pekerjaannya
berkah. Mungkin Ayah harus belajar darinya, agar otakmu tidak lagi sembrono!
Kau sangat-sangat memalukan, Fa! Ayah akan menarik kartu kredit dan tidak
memberimu uang jajan. Cari biaya sendiri untuk skripsimu tahun depan!”
“Berkah?”
-Selesai-
Magelang,
11 November 2017.
Komentar
Posting Komentar