Gadis yang Tidak Lagi Berumur Pagi

 

Ada banyak kisah yang seharusnya dikupas tuntas,  namun ia  hanya bersembunyi di benak-benak orang kampung yang belum mengerti tentang sebuah makna suatu hal. Mereka mempersibukkan diri pada pekerjaan, kegiatan sosial dan kegiatan keagamaan,  namun belum  mendalami mata-mata bening yang menampilkan raut kegelisahan.   

Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan,  semuanya memiliki antonim sekali pun ia bersinonim. Ada manusia bertubuh kerdil, ada yang tinggi menabrak atap pintu, ada  berkantong milyaran, ada yang hanya menyimpan ribuan, banyak manusia pandai, tak sedikit pula manusia-manusia yang dianggap bodoh. Ada manusia berakal normal, ada pula yang abnormal. Tumbuhan berjodoh dengan binatang, manusia berlawanan dengan jin, ada manis berpaling dengan pahit, sementara  asam  membelakangi asin. Berbeda, namun sejatinya mereka berasal dari dzat yang serupa, dan masih banyak hal-hal di muka bumi ini yang berlawanan arus, termasuk sosok gadis bernama Malikah yang dapat Anda temui di dusun ini. Ialah sosok gadis yang tak lagi berumur pagi, namun belum dipinang oleh kaum lelaki, sementara kesuciannya telah direngut oleh kuasa takdir. Anda akan menemuinya di jalanan irigasi sawah menuju arus jalan ke Ngaglik, belok di Gunung Salam menuju Bandongan kemudian balik ke arah Kaliangkrik dan  kembali di garis finish, tempatnya tidur. Ia selalu berjalan melingkari beberapa wilayah desa tanpa mengenal lelah dan dahaga dengan menggendong karung di bahunya, terus berjalan hilir-mudik, menghabiskan waktu dan tenaga, memeras keringat yang tak pernah dirasanya basah, dan sepanjang hari terus memikul gelisah, mulai dari matahari terbit, sampai cahayanya terpantulkan  bulan. 

pixabay.com


Pernah Anda memikirkan itu? 

Melihat bening matanya yang  keruh, membuat saya ingin menyelami kehidupannya lebih dalam.  Diri ini selalu bertanya-tanya mengenai masa kanak-kanaknya, apakah ia  mendapatkan kenangan  zaman anak-anak seperti saya?  Main kelereng, petak umpet, berlarian mengejar capung - capung, menjerumuskan diri pada semak belukar memburu kecebong, naik pohon rambutan,   merebutkan  kelincahan kaki  dalam permainan gobak sodor? Menonton film Doraemon, Dora the Explore, dan Sincan? Juga  tragedi kecil yang mampu dinostalgiakan.

Saya memanggilnya Malikah sama seperti warga di dusun ini,  ialah gadis yang memiliki gelombang suram pada tatapan curam.  Saya sering melihatnya berbicara sendiri di pinggiran   sungai, memuntahkan segenap emosi dari alam bawah sadarnya, menggerutu, memaki, kemudian dilampiaskan dengan lemparan batu, hingga akhirnya ia lelah dan rebah  berlembarkan tikar robek, berbantal sampah-sampah plastik dengan selimut sinar bulan. Malam membungkus rapat semua pedih yang ia rangkum sendirian.  

Orang menyebutnya gila, ada yang menempatkan pilihan kata baginya, dengan dalih sebenarnya ia tak gila, namun stres berat terlatar belakangi dari kehidupan keluarganya yang kurang berjalan pada  tahap-tahapnya. Ia yang seharusnya dibuai tapi justru dibui dengan perlakuan dan kata-kata tak sepantasnya. Ia yang menginginkan bahagia, namun dibentengi dengan keegoisan orang dewasa. Ia... ia dan ia, yang tak bisa saya sebutkan dengan kata-kata, tentang hidup yang benar-benar membuat jiwa kelu jika terbayang.

Malikah, gadis tak berumur pagi yang mendapatkan tawa di sudut dusun-dusun. Jika kaki Anda pada umur remaja tertuntun ke tempat-tempat berpendidikan atau hiburan menyenangkan bersama rekan, maka tidak dengannya. Malikah menghabiskan waktunya di tempat yang penuh dengan sunyi, ia menjauhkan diri dari tatapan publik, menyendiri, jika pun pergi hanya berjalan tanpa arah dan tujuan, bahkan tanpa bekal, ia mengandalkan tatapan kasihan dari orang yang ditemuinya untuk mendapatkan makanan. 

Anda bisa saja mengandalkan ijazah untuk melamar pekerjaan, Anda beruntung dan merupakan makhluk Tuhan yang  terpilih agar memiiki kehidupan baik, namun Malikah? Siapakah yang memikirkannya?

Ia seperti seorang yang terbuang meskipun memiliki silsilah keluarga dan akta kelahiran. Ia bukan anak yatim, pun bukan piatu, tapi ia hidup sendirian di bawah pohon rindang, di atas semak-semak belukar.  

Tuhan menjadikan ingatannya lupa, mungkin untuk menghapus semua kenangan buruk yang seharusnya tak menimpanya di masa muda, tentang perlakuan tak adil yang tidak mampu saya uraikan di sini. Entah karena pengalaman buruk yang melahirkannya, ataukah memang terlatar belakangi karakter Malikah yang tak layak diterima.

Tapi di mata saya, ia berhak membela diri untuk membenarkan hak-haknya, diakui dan dihargai saat ia masih sadar.

Ketahuilah, ia sosok gadis yang lupa caranya tersenyum, seumur hidup saya di dusun ini, saya belum pernah mendapati senyumannya, jika suatu hari nanti saya memperoleh kesempatan untuk melihat senyumnya, bisa jadi itu merupakan momentum besar selama saya tinggal di sini.

Ia tak takut gelap, tak jarang meski malam sangat larut ia masih menyusuri jalan sempit Gunung Salam, tanpa pencahayaan. Ia seperti  pemuda yang tak betah di kampung kelahiran, ingin merantau jauh dan tak pernah kembali pulang namun  tak memiliki alasan kuat untuk meninggalkan  rumah pertamanya.  Sementara jika bertahan, ia tak mampu menguasai rasa takut yang telah mengendalikan kesadaran otak jernihnya. Ia  takut dengan kayu yang dipegang oleh orang lain lalu diarahkan ke tubuhnya, sekalipun itu hanya gurauan, ditangkap dari geriknya saya menyimpulkan ia mengalami trauma.   Gelapnya malam dan sepinya sebuah tempat mampu dikuasainya, namun tidak pada hardikan, ia sangat takut dengan suara yang dinaikkan beberapa oktaf kemudian terciptalah sebuah bentakan.

Malikah, gadis malang itu pernah saya temui sedang menangis, menelungkupkan kepalanya, sementara tubuh bergoyang-goyang menjaga keseimbangan isaknya. Saya menangkap perih dari alam bawah sadarnya, dengan tingkanya saya bisa membayangkan perihnya kesendirian yang tak menjadi kepedulian bagi mata-mata lain. Dari sanalah saya memfilter sebuah keinginan yang tercampur dengan harapan, ada orang mau memberikan sentuhan afeksi dan perlindungan padanya, meski hanya mengusap ubunnya sekali saja. Tapi bisakah itu menjadi nyata? Sementara orang-orang bahkan telah berusaha melupakan namanya, jika pun teringat maka yang dikenang adalah masa lalunya di perantauan.

Ya, ia pernah pergi jauh, tak bertekad meninggalkan kampung halamannya, sebab ia tak ingat apa-apa, kecuali terus berjalan dan berjalan. Sekali lagi saya pertegas, alam bawah sadarnya menghendaki jasadnya menjauhi tempat yang dianggapnya hanya melukiskan perih. Pada akhirnya ia memutuskan pergi. Mengarungi jarak ratusan kilometer dengan dua langkah kaki, di bawah terik matahari, diintip kerling bintang-bintang dan rembulan juga dimandikan hujan dari langit tak bertuan.

Malikah pernah menapakkan jejaknya dari Jawa Tengah, Kabupaten Magelang, Kecamatan Kaliangkrik, Kelurahan Ketangi, di titik Dusun ini menuju provinsi tetangga, Jawa Timur, istirahat di Trenggalek. Ia melangkah dan melangkah terus menerus tak putus-putus, meski keringat tercecer berliter-liter, bahkan dahaga kering kerontang dan perut sungguh kelaparan, ia mengendalikannya dengan berpegangan teguh pada tatapan iba orang-orang asing.

Ia menerima uluran dan tak membalas dengan lambaian. Jika mendapatkan riski cukup ditelan tanpa dinikmati, entah asam, asin, manis, pahit bahkan getir, semuanya dianggap sama saja. Ia menyederhanakan hidup, tak mendengarkan tawa dan celaan, tak mengindahkan gunjingan orang-orang yang menatapnya heran, juga tak menggagas sekumpulan preman mabuk yang melirik tubuhnya. Hingga pada suatu hari, ia kehilangan hal yang bernama harga diri. Hidupnya sudah suram dan ditambah muram. Ia tak menemukan lentera sedikit pun dalam setiap embusan napas.

 Waktu itu, makhluk bergender laki-laki telah menciderai keperawanannya, ia pun menjadi viral. Media masa mengabarkan dirinya sebagai seorang gadis gila yang melahirkan dengan selamat di sebuah rumah sakit Trenggalek, mengharap netizen menghubungi sanak keluarga jika ada yang mengenalnya. Pada akhirnya, ia diangkut pulang sementara bayinya diadopsi orang.

Saat ini, meski telah sukses menjadi seorang ibu tanpa mengenal ayahnya, ia belum pernah memberikan air susunya pada anak kandung yang lahir dari rahimnya, yang saya tahu, ia masih berjalan mondar-mandir kiloan meter, pulang pergi tak membawa apa-apa kecuali berkarung-karung sampah untuk alas tidurnya, dan hal yang tak dapat saya lupakan adalah ia pun masih menangis, entah apa yang diratapinya.

Jika saja, Tuhan memberikan kesempatan kepada Malikah agar memahami bahasa saya, maka satu kalimat yang akan saya ucapkan kepadanya, “Kawan janganlah kau meratapi hidup ini, lawan hal yang membuatmu takut, lawan orang yang memukulmu jika kau merasa benar, lalu buktikan bahwa sesungguhnya kau mampu bertindak baik, lebih baik daripada mereka-mereka yang memandangmu sebelah mata.”  Hanya itu saja, tidak lebih.

Magelang, 8 Maret 2019.


Belajar dari sosoknya,

Jika diselami lebih dalam, sosok Malikah yang saya temui adalah gadis yang patut dijadikan sebagai bahan bersyukur. Anda yang diberikan waktu dan kesempatan untuk berbuat baik, maka gunakanlah umur tersebut dengan tepat, bukan menghabiskan waktu di sudut-sudut malam untuk membicarakan hal-hal yang tak bernalar dan tak berguna.

Malikah tak mendapatkan perlakuan baik dari sekitar kehidupannya, seharusnya Anda yang saat ini dihargai dan pernah mendapatkan sanjungan mampu belajar menjadi sosok manusia yang peduli dengan kehidupan orang lain.

Jangan menjadi makhluk yang lebih bodoh darinya yang melupa. Ingat, ia bertindak seperti itu karena ia tidak tahu, ia tak menyadari apa yang ia lakukan, ia hanya mengekpresikan alam bawah sadarnya yang ditekan oleh berbagai macam rasa takut hingga reflek keluar dalam gerak tubuh yang kadang memberikan ancaman bagi diri Anda.

Gunakan otak untuk memikirkan hal yang baik, jangan sampai Tuhan membuat diri Anda lupa pula, karena banyak hal buruk yang tercatat di masa lampau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis