Bukan Indonesia

 

Nostalgia Kemerdekaan

Manusia kerapkali mengasingkan diri dari masa lalu, konon ada kisah-kisah yang hendak dilupakan, seperti kenangan perih yang mendera di dalam hati, sebagaimana perilaku asing yang ingin disingkirkan dari muka bumi. Dari semua itu, tak pernah dapat dipungkiri bahwa kehidupan berasal dari kata lahir, hal-hal yang terjadi di muka bumi ini telah digariskan oleh Sang Pencipta. Lahir merupakan momen terindah yang menjadi kebanggaan bagi kaum adam. Ia dirayakan sebagai pesta-pesta yang membuat bibir tersenyum di pinggir-pinggir malam, sekalipun ada hal yang membuat mata berair dan enggan mengentaskan pengalaman dari sebuah tragedi yang mengiringi kelahiran.

pixabay.com


Seorang ibu barangkali perlu mengorbankan keutuhan perutnya, rela dirobek demi mengeluarkan buah hati yang telah dinantikan, jika ditelusuri maka ia merupakan takdir pahit yang tak pernah dikehendaki, namun lain rasa ketika gendang telinga sayup-sayup mendengarkan jeritan tangis sang putra dan putri. Manis. Perih yang membekas di urat-urat kandungan luntur sudah. Begitulah, tak jauh berbeda dengan kelahiran sebuah negara, bangsa perlu memperjuangkan negerinya demi mendapatkan kemerdekaan, dan pengalaman sejarah, pengalaman memperjuangkan pengakuan untuk hidup mandiri di tanah kelahiran pernah dicatat oleh rakyat Indonesia.

Dahulu kaum Inggris, Belanda, bahkan Jepang mengincar kekayaan negeri kita. Jika saja  waktu itu pahlawan menyerah dan takhluk dengan derita sakit yang menguliti tenaganya, tentu saja kota-kota di Indonesia tidak akan pernah memiliki sejarah indah, budaya akan mati seketika dicuri oleh orang-orang tak kenal nama. Lantas kita akan lengser menjadi nisan tanpa kebanggaan. Itu, Beruntung pahlawan  negeri ini sangat gigih.

Pada masa kelam tersebut para pemuda dan kyai menjadi sukarelawan bangsa, siap mati di medan perang tanpa menunggu imbalan berharga, mereka tak peduli dengan gaji para pegawai-pegawai, mereka hanya ingin negeri ini bebas dari penjajah. Pikiran disatukan, kebersamaan dikokohkan. Mereka selalu bersembunyi di kolong-kolong malam menyiapkan logistik perang, terkadang tak ada senjata yang mampu diandalkan, namun mereka terus maju dan maju, tak rela jikalau kebudayaan dan keharmonisan bangsa dilunturkan kecongkakan manusia asing. Biarlah bumi pertiwi menjadi abadi, dan jangan terlalu lama pribumi menjadi pengabdi di tanah airnya sendiri.

Hari Jadi Kota Magelang 1113

Zaman sebelum merdeka, pada tahun yang tersebut kebodohan, tahun di mana rakyat pribumi menjadi babu-babu tak bernilai, Magelang pernah dijajah oleh Belanda.  Waktu itu sekolah-sekolah berdiri kokoh memamerkan spanduk nama orang-orang asing, rakyat jelata tak berhak mengecam pendidikan, yang diizinkan hanya para priyayi dan anak-anak keturunan bangsawan. Kini, zaman berubah, setelah bendera merah putih berhasil dikibarkan, pun atas hasil perjuangan Ki Hadjar Dewantara, rakyat jelata diizinkan meneguk ilmu-ilmu di gedung-gedung sekolahan. Magelang pernah merekam masalalu getir tersebut. Namun malam ini, dengan mata kepalamu sendiri, kau bisa menyaksikan, ratusan siswa, bahkan ratusan penonton bereuforia merayakan pesta kelahiran, hari jadi kota Magelang.

Gendang-gendang tertabuh nyaring, melodi menyatu dengan alam yang sedang tersenyum riang. Kostum-kostum budaya jawa yang khas membalut tubuh-tubuh yang kegigilan,  barangkali hal itu diciptakan oleh langit yang bertebaran gumintang, konon kata nenek moyang jika langit penuh dengan kerlip cahaya maka suhu udara akan turun beberapa derajat celcius, membuat kulit membeku dan bibir bergetar kedinginan.

Kesenian tradisional dan modern berkolaborasi di panggung euforia bulan ini, sebuah perayaan memperingati kelahiran kota tua yang terekam lekat-lekat di kepala penduduk Magelang, mereka melayangkan langkah demi menyaksikan aneka ragam lenggokan budaya di depan alun-alun, arena pentas sengaja digelar lepas di atas jalanan aspal, supaya penduduk leluasa bebas mengamati satu persatu.

Acara dengan tajuk ‘Kirab Budaya Ndalu’ ini merupakan ajang mempersatukan keluarga yang biasanya dirundung kesendirian pada malam minggu, anak-anak muda bergandengan tangan dengan kawan terdekat saling berebut tempat terdepan, orang dewasa tak mau mengalah, mereka memanggul anak belianya di bahu masing-masing, ibu-ibu yang kewalahan mengurusi anaknya mundur, mendekati para pedagang kaki lima yang berjejajalan di trotoar sepanjang jalan.

Ah, kawan, kepalamu barangkali terlihat, namun tubuhmu susah digerakkan, malam ini amat padat, seolah-olah setitik kue dikerubungi dengan seribu semut. Selain itu, acara ini juga mneguntungkan bagi pedagang-pedagang asong dan pedagang-pedagang pinggiran jalan, karenanya apa yang mereka angkut dari rumah demi memberi nafkah habis ludes tak bersisa. Pemuda dan orang-orang yang kurang menjaga kelestarian lingkungan menghamburkan sampah di sembarang tempat, alhasil malam ramai itu pun dihiasi dengan sampah-sampah botol minuman dan plastik-plastik jajanan emperan jalan. Semuanya tak peduli, mata-mata terfokuskan pada apa yang ada di depan.

Satpol PP  dan Petugas Keamanan kebingungan mengatasi bocah-bocah yang ingin masuk ke depan panggung, mereka melompati pagar, dan berjalan enteng menerabas kerumunan tanpa mengemban dosa, wajah-wajah tak suka berkeliaran. Ada yang menggelesot santai di luar pagar, ada yang jongkok, sementara yang di belakang, berusaha keras menjijitkan kaki mereka, jika sudah pegal, pergi entak ke mana, bisa juga macet di tengah jalan, pasrah dan mematung, sebab tak ada jalan keluar renggang, semua ruas jalan dipenuhi oleh kepala-kepala yang penasaran. Lalu lalang mendadak menjadi searus barisan. Dan semuanya terabaikan oleh angin malam yang ragu-ragu mendesis, mendadak gigil bosan dengan keramaian, ia lari entah ke kota mana, yang jelas malam itu langit riang, tak ada hujan-hujan pengganggu.

Mobil-mobil dihiasi lampu yang berkelap-kelip menyinari wajah-wajah penduduk Kota Magelang yang dibius rasa penasaran dengan tampilan selanjutnya. Kamera-kamera ponsel mewah menyala bergiliran, ada yang merekam vidio, banyak yang sekadar mengabadikan momentum dengan foto.

Di sini, pada malam ini, Kau dapat menjumpai barongsai, Toko Mas Mustika Gold ikut berpartisipasi dengan menyuarakan angklung, Bank Magelang tak mau ketinggalan mereka menampilkan tarian dari daerah luar, ada pula perwakilan dari komunitas pecinta reptil, mereka menari meliuk-liukkan badan, kemudian berdansa dengan hewan melata tersebut, sebagian yang mengitari mengalungkan ular-ularnya, sementara yang di pusar arena pertunjukan berciuman dengan lidah ular, penonton miris, mereka menjerit-jerit histeris merasa ngeri dengan adegan yang disaksikan, ada pun tarian payung yang menawan, payung berwarna-warni diputar, pengiringnya dirias seelok mungkin dari salon. Ada Kubro, Leak dari Bali, dan yang paling akhir, ketika barisan anak-anak belia mulai bubar, ketika sorak-sorak menghening, pembawa acara kelelahan mengoceh, sebuah tampilan unik nan langka membuat bibir-bibir tak mampu menahan tawa. Mula-mulanya  pemimpin pasukan celingukan, mencari anggota yang lupa menyetorkan flasdih kepada panitia acara, mereka pun menjadi bahan tertawaan penonton, beberapa menit acara mengalir dengan hening dan senyap, lalu musik berdendang, mereka menyebar ke medan pertunjukan.

Tawa terbahak-bahak menjelegar, bocah-bocah yang mundur hendak pulang kembali merapat, orang-orang dewasa tak mampu menahan perutnya yang mengeras karena ledakan tawa mereka masing-masing. Aku−aku yang ada di depan panggung sampai terkencing-kencing. Lihatlah, ibu-ibu tua yang sering kujumpai di pasar ketika aku belanja buah memakai kostum badut, pantatnya menggelembung, perutnya membesar, ada bola yang dikandung. Mereka menari semau diri, tidak beraturan, namun menawan, beberapa anak kecil diikutsertakan dalam pertunjukan, mereka bertugas menjadi pemain kanak-kanak, duduk di atas punggung badut dewasa seolah-olah sedang bermain kuda-kudaan, berkelebat ganti adegan sedang mencari kutu, berkelebat rebutan kertas koran yang dimakan badut dewasa, berdebat kejar-kejaran mengelilingi badut-badut tua yang sedang bergoyang menyeimbangkan dendangan dangdut yang diputar, sungguh menggelikan. Badut-badut itu merupakan pertunjukan paling humoris.

Oh Indonesiaku, dengan acara ini kita dapat memahami, bahwa para pemuda dan orang-orangtua mampu direkatkan menjadi kesatuan yang utuh dalam pentas seni. Namun sejauh itu, ada hal yang lebih tajam lagi, perlu direnungkan oleh para pemikir, mereka rela menyisihkan waktu untuk latihan, bahkan mengeluarkan biaya tak tanggung-tanggung belum lagi akomodasi snack dan makan siang malam juga pagi.

Acara digelar sekitar pukul delapan dibarengi dengan pamitan para Taruna Tingkat IV Kota Magelang, namun para pemestas ada yang sudah siap-siap sedari pukul sembilan pagi. Siapa yang barangkali akan membayar mereka? Lelah dan tawa menjadi saksi kebersamaan utuh yang penuh dengan pengorbanan. Ini bukan lomba, ini sebuah perayaan.

Jika kau melihat keributan dan kerusuhan di luar sana, para pemuda membunuh kawan, menjadi pecandu narkoba, menjadi pemabuk, bahkan penjudi dan pemain seks, mereka bukan Indonesia. Jika kau dapati petinggi negeri yang duduk di kursi pemerintah saling sikut karena perbedaan pemikiran, mereka bukan Indonesia. Karena negeri ini indah dengan perdamaian, dengan kebudayaan yang kaya dan selalu diutuhkan oleh zaman. Apabila satu di antara mereka adalah dirimu yang menciderai bangsa, maka aku tegaskan, dirimu bukan anak Indonesia, kau orang  lain yang tersesat dari bumi kelahiranmu.

Depan Gardena, 29 Juni 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis