Naluri
Pernahkah kalian menghargai sebuah perjuangan? Bagaimana
pembuktiannya? Sebuah perjuangan seperti kelopak bunga-bunga yang mekar begitu
saja, kita hanya mampu menerka-nerka kapan mereka membiak, mungkin tengah
malam, mungkin fajar dini hari, mungkin dan mungkin. Itulah perjuangan hasilnya
indah, namun tak terlihat wujud nyatanya, yang manusia ketahui tentang bunga,
semula ia adalah sebuah kuncup, dihujani air, tersengar mentari, tak jarang
digigiti ulat dan serangga liar lainnya, tubuhnya berlubang tapi tetap
memekarkan dirinya, walaupun pada akhirnya cacat. Sudah menjadi takdir manusia
normal akan lebih tertarik dengan bunga-bunga yang sempurna tentunya masih
segar, siapa peduli dengan kelopak-kelopak berlubang? Kumbang saja enggan
menghinggapinya, kupu-kupu acuh tak acuh. Itu kodrat alam yan telah digariskan
oleh Tuhan, padahal perjuangan mereka lebih berat daripada teman yang lain,
lagi-lagi siapa yang peduli jika semua itu telah menjadi takdir.
![]() |
pixabay.com |
Di dusun ini ada sebuah takdir yang tersembunyi tapi
tampak di emper-emper jalan, ia pemilik keindahan yang tak sempurna. Kegigihan
yang dikandung dalam perut dan gerat tubuhnya lebih besar dibandingkan miliknya
orang lain. Senyumnya jika mengembang lebih menakjubkan, meski tak ada seorang
pun yang mampu mengambil penjelasan dan memberikan penghargaan. Ialah, seorang
bocah, bukan lebih tepatnya remaja menginjak langkah dewasa yang masih
kesusahan memahami dunia. Dalam kamus hidupnya ia tak pernah melanggar perbuatan
keji, tidak pula melakukan perbuatan yang bersebrangan dengan norma agama juga
norma sosial. Saya jelaskan, saat senja hari menjelang maghrib tepat ketika
tubuh matahari bersiap-siap akan tenggelam, ia menyandang kitab dan buku,
menuntun langkah menuju TPQ, tanpa beban sungguh tak ada perasaan malas sedikit
pun yang tergambar di gurat wajahnya. Sementara ketika pagi, Anda mulai
berangkat ke kantor, warga Paren sibuk dengan lentheng dan ladang-ladang,
anak-anak membuka halaman PR di sekolahan untuk dipertanggungjawabkan, ia,
orang yang diberi keajaiban lebih ini berangkat menyusuri jalanan sibuk
dipenuhi dengan kendaraan motor yang hilir-mudik menuju Magelang. Bahunya
menyandang karung, wajahnya memandang datar setiap orang yang berpapasan
dengannya. Begitulah rutinitas hidupnya sehari-hari, ia akan pulang ketika
karungnya sudah mendapatkan beberapa barang-barang bekas dari tumpukan sampah.
Cahaya Agama, begitulah kedua orangtuanya memberikan nama
dalam Bahasa Arab. Indah dan mengagumkan bukan? Tanpa dipinta, dirinya telah
berbakti kepada kedua orangtunya, membantu mencari nafkah ketika anak-anak
seumurannya sibuk menjelajahi wilayah asing. Ia anak yang beruntung, diberi
kecukupan kasih sayang dalam keluarga, setidaknya meski bernasib malang menjadi
seorang pemulung, ia tak mempunyai kata keluh yang terbenam di pandangan
matanya, ia menikmati segenap hidup yang telah digariskan oleh Allah. Di waktu
senggang lainnya, jika ada warga yang bekerja bakti membangun rumah atau
merapikan jalan, ia datang lebih pagi, ikut mengangkut pasir, mengaduk adonan
semen, mengangkati batu, atau apa saja yang bisa ia lakukan. Ayahnya peternak
Bebek dan seorang petani, terkadang juga kerja serabutan, apa saja yang
disuruhkan oleh warga asalkan ia mampu, ia mengerjakannya, sering dibantu oleh
anaknya. Saya pernah melihat mereka berdua menaikkan kayu-kayu besar ke mobil.
Mereka bekerja sama, meski tak memahami bahasa satu sama lain. Dua orang ini
mengandalkan naluri.
Karena hidup bukan untuk dimengerti, namun untuk mengerti
kehidupan itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar