Berdirinya Dusun Paren
Nama Paren sudah
sangat tidak asing di telinga-telinga penduduk Ketangi, Kecamatan Kaliangkrik,
Kabupaten Magelang. Meski lokasinya terletak sebagai sebuah perbatasan dengan
kecamatan yang lain, ia tetap memiliki daya tarik tersendiri, mulai dari
kehidupan sosial terutama agama, sampai dengan magnet alamiahnya yang
memanjakan pandangan mata.
Dusun sederhana yang
belum padat penduduknya ini dikelilingi oleh Pegunungan Payung dari sebelah
Timur sampai Selatan, tubuhnya mengular panjang membentuk sebuah cekungan,
selain Paren ada pula yang ikut dikandung dalam perut pegunungan rindangnya, di
antaranya, Dusun Dukuh, ..., ..., dan yang
terakhir diputus oleh Watu Tumpang di
daerah Ketangi.
Dahulu, dusun ini
belum berpenghuni, masih asing dan tidak ada seorang pun yang menempatinya,
belum ada sawah apalagi sebuah irigasi, ia tanah tak bertuan namun bukan
berarti lapangan kosong yang hampa hanya dipenuhi dengan ilalang. Sebelum
familiar dengan sebutan Paren, dusun ini merupakan hutan lebat yang ditumbuhi
pepohonan rimbun, bahkan bisa dikatakan zaman dulu belum ada jalan aspal untuk
menuju ke dusun ini.
![]() |
pixabay.com |
Sebelum zaman
penjajahan Belanda dan Jepang datang, Paren telah berdiri dan menjadi nama
dusun yang terkenang di dada nenek moyang, berawal dari seorang pengembara yang
melintasi hutan tak bertuan ini, ia membelah rerimbunan hutan dan
ilalang-ilalang tinggi, mengusir segenap ketakutannya dari mangsa binatang buas
hingga akhirnya ia kelelahan, kemudian
memutuskan tinggal di tempat tersebut dengan membangun sebuah Gubuk, tempat tinggal yang sekarang Anda
sebut dengan kata rumah, namun belum berpondasi kokoh, tak bersemen juga tak
beratap tanah liat apalagi asbes seperti rumah-rumah modern zaman sekarang.
Pengembara tersebut
tinggal seorang diri tanpa sanak keluarga di belantara hutan. Manusia hidup
membutuhkan makan dan minum sebagai penunjang kekuatan, jika tak diberi asupan,
maka akan mati, begitupun yang terjadi pada Sang Pengembara, ia mencari makan dengan
memanfaatkan sumber alam yang masih alamiah, mencari buah-buahan yang bisa
dimakan dan tidak berbahaya, hingga pada akhirnya ia memutuskan menanam sesuatu
agar memudahkannya mencari makanan ketika perutnya lapar, tak mungkin setiap hari menjelajahi hutan
demi mencari makanan sementara tubuhnya sedang dalam kondisi lapar. Ia
berinisiatif menanam biji Pare. Anda
tentu sudah tahu bukan apa itu Pare? Sebuah sayuran lonjong berbentuk seperti
terong, perbedaannya permukaan Pare benjol-benjol sementara terong tubuhnya
halus dan mulus, selain itu jika ditinjau dari rasanya, Pare identik dengan
rasa yang pahit. Kehidupan Sang Pengembara pun berlanjut, ia memutuskan
bermukim di hutan tersebut.
Manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak bisa bertahan jika tidak berinteraksi dengan manusia
yang lain. Sejak zaman dulu konsep hidup bersama telah melekat di jiwa nenek
moyang. Pada akhirnya Pengembara tersebut ke luar dari hutan, meninggalkan
Gubuknya sejenak untuk mencari teman. Ia pergi ke sebuah pasar yang ada pada
zaman itu, mengajak orang yang berkenan singgah dan menetap di hutan yang
ditanaminya Pare.
Semula hanya satu
orang, kemudian orang tersebut mengajak istrinya menetap di sana, lalu mereka
pergi kembali dari hutan mengajak teman baru, begitu seterusnya hingga
bertambah menjadi beberapa orang kemudian melahirkan beberapa generasi-generasi
pada periode sekarang. Sayangnya sampai detik ini, belum diketahui nama asli
Sang Pengembara, penduduk memanggilnya dengan sebutan Mbah Pare, tersebab ia menanam tanaman Pare di dekat Gubuknya,
dilanjutkan dengan pemberian nama kampung menjadi Pare, yang diplesetkan oleh
lidah nenek moyang menjadi Paren.
Tidak ada yang tahu
persis mengenai kehidupan Mbah Pare
dan asal muasalnya, yang jelas ia pernah menjadi pendiri dusun bersejarah ini,
dusun yang masih asri, dan udaranya
terhirup segar, belum terkena polusi kendaraan-kendaraan besar.
Mbah Pare
menetap beberapa tahun di dusun ini, kemudian meninggal dan dimakamkan di dusun
ini pula. Makamnya menjadi satu dengan makam penduduk Paren. Di hari-hari besar seperti idul fitri dan
idul adha, makam Mbah Pare sering diziarahi, penduduk lokal mengirimkan doa-doa
keselamatan. Makam beliau dipayungi gubuk sederhana untuk membedakannya dengan
makam warga setempat meskipun tak semegah rumah-rumah makam miliknya para wali
di Indonesia.
Sumber : Bapak Mahmudi, salah satu warga Paren.
Magelang, 02 Maret
2019
Komentar
Posting Komentar