Kampungnya Orang Doyan Ngaji

 

Sebelum masuk ke dusun Paren, Anda akan dimanjakan dengan penampilan alamnya yang luar biasa, di sebelah Utara dusun ini terdapat jalan berkelok-kelok mengikuti arus sungai irigasi sawah yang terhubung dengan Bendungan Kali Loning, dipadukan dengan tarian padi-padi menguning atau hijau menyegarkan sebelum panen pada musimnya. Bahkan jika beruntung, Anda akan menjumpai beberapa petani sedang membungkuk-bungkuk menanam bibit padi di atas lumpur-lumpur basah, atau petani yang menggiring kerbaunya ke lahan siap bajak, dan bisa juga lelaki tua yang sedang membariskan bebek-bebeknya.

Pada tahun 2019 dusun ini dipimpin oleh Bapak Fandil, sosok yang dihormati, ditiru kebenaran tindakannya, dan ditaati aturannya asalkan bermakna kebajikan. Jika sedang tak pergi ke kantor desa, aktivitas beliau tak jauh berbeda dengan penduduk lainnya, pergi ke pasar membeli kebutuhan-kebutuhan rumah, atau juga pergi ke sawah bahkan ke ladang. Tak jarang, kaki beliau kotor penuh lumpur. Pak Fandil merupakan figur yang bertutur lembut, ringan menolong, dan selalu tersenyum ramah jika berpapasan dengan warganya.

pixabay.com


Dusun  yang  terletak tepat di  garis bujur 7° 29’ LS pada kedalaman 700 mdpl ini, adalah pemukiman penduduk yang masih jauh dari pusat keramaian, belum ada ATM, belum ada pasar,  akses internet pun belum maksimal, bahkan hanya memiliki satu tempat ibadah, yaitu masjid. 

Masjid dijadikan tempat bersilaturahmi secara tidak langsung, sebagai ajang pertemuan penduduk, mereka akan bertanya-tanya jika ada jamaah alfa pada waktu-waktu shalat fardhu, apabila berita mengabarkan salah satu jamaah sakit, maka mereka akan menjenguknya. Selain itu masjid di sini merupakan jantung aktivitas penduduk, dipergunakan juga untuk acara pengajian Selapanan, dan musyawarah. Halamannya langsung terhubung dengan jalan raya ini adalah titik temu pedagang-pedagang kaki lima.

Seringkali sebelum anak-anak sekolah selesai mandi, telinga akan dipenuhi dengan suara penawaran dari pedagang yang mampir, ada yang berjualan geblek, pisang, petai, sayuran, bahkan bibit kayu sengon. Sementara ketika orang tua (Baca: Bapak-bapak) baru saja istirahat dari setengah harinya bekerja mencari nafkah, pengunjungnya adalah pedagang makanan anak-anak, seperti cilok, bakso, dan papeda. Tak berhenti pada dua waktu itu saja, senja harinya masih ada penjual susu sapi beraneka rasa  dan jamu alami yang mangkal di depan masjid pula.

Seluruh penduduk, dari anak-anak sampai simbah-simbah beragama islam.  Maka jangan heran, jika Anda beranjangsana ke sini, Anda akan menjumpai puluhan anak-anak kecil menyandang Iqro’ dan Al-Quran di waktu Maghrib sampai Isya’ untuk bekal menghadap Pak Mat, guru ngaji TPQ Paren.

Kampung ini menyuarakan ayat-ayat suci Al-Quran, banyak pengajian yang digelar, baik kecil maupun akbar! Ketika adzan dikumandangankan, orang-orang menyandang sajadah ke masjid, diikuti anak-anak remaja. Jika ada yang bermalas-malasan, maka siap-siaplah wajah terkena semprotan orangtua mereka. Penduduk di kampung ini lebih mengutamakan shalat lima waktu ketimbang pekerjaan. Janganlah Anda heran, jika di waktu-waktu beribadah Anda dapati orang-orang pergi ke masjid seperti sedang berbondong-bondong melayangkan langkah kaki menuju pasar.

Oleh karenanya tetangga sebelah menganggap bahwa mayoritas penduduk Paren doyan ngaji, terbuktikan dengan banyaknya kegiatan keagamaan yang belum tentu ada di dusun-dusun sebelah. Ada Rebonan, Senenan, Kamisan, Lek-lekan, dan Baritan. Kesemua kegiatan tersebut tak jauh dari doa-doa sebagai sarana mendekatkan diri kepada dzat yang menciptakan alam semesta dilengkapi dengan bacaan shalawat dan ayat Al-Quran.

Orangtua mengutamakan belajar agama ketimbang belajar mengenai ilmu duniawi. Anjuran memperdalam ilmu agama telah ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, dewasanya mereka menjadi pemuda-pemudi berkarakter baik, tidak menjerumuskan diri pada kubangan sesat minuman alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas yang kelampau batas.  Menjadi manusia santun dengan senyuman lembut ketika berpapasan dengan warga dusun sebelah, atau saling sapa antar tetangga.

Ibu-ibu yang sedang bersantai di tangga serambi masjid sambil menyuapi anak-anaknya, sering  menawarkan rumah untuk disinggahi kepada pengendara sepeda motor yang melintas. Kata ‘pinarak’ (mampir) sudah menjadi andalan mereka.  Alhasil interaksi sosial terjalin, pengendara pun reflek tersenyum manis bebarengan dengan membunyikan klakson, bentuk balasan dari tawaran mereka.

Dusun ini jarang dirundung sepi meski hanya ada 99 Kepala Keluarga yang dihuni 331 anak adam, dengan 163 gender laki-laki dan 168 gender perempuan. Setiap pagi, gesekan lidi dari ibu-ibu rumah tangga akan mewarnai kokok ayam dan raungan kambing di kandang-kandang, disempurnakan dengan gerakan jari-jari tangan yang berusaha memipihkan adonan singkong untuk dijadikan lentheng, lalu jika matahari mulai menyirami kehangatannya pada permukaan pemukiman penduduk dan Pegunungan Payung, jalan aspal yang hanya ada satu dan terletak di depan masjid, tepat pada pusar dusun itu akan dijejaki langkah anak-anak sekolah yang menyandang ransel di punggung masing-masing.

Merekalah pejuang-pejuang bangsa, yang mencari ilmu di sebuah madrasah, MI Islamiyah Paren, dan taman kanak-kanak islam, Roudlotul Adfal  Paren. Hanya dua lembaga itu yang menjadi kekayaan pendidikan formal di dusun ini, selebihnya anak-anak muda mendalami ilmu pengetahuan di luar tempat kelahiran, Beseran, Bandongan, atau Kota Magelang, ada beberapa pula yang kuliah di luar kota, namun itu bisa dihitung dengan jari, tak berkepala puluhan. Mayoritas pemuda Paren putus sekolah sampai SMP, setelahnya merantau jauh untuk mencari nafkah, dan pulang ketika undangan pernikahan siap disebarkan.

Ada pula yang memilih hidup dalam satu atap keluarga tanpa tersekat jarak, merekalah orang-orang yang memutuskan berdiam diri di kampung kelahiran, mengandalkan pekerjaan menjadi petani, pedagang apa saja, membantu pekerjaan homeindustri konveksi miliknya Pak Budiman, dan yang perlu digarisbawahi adalah pemroduksi lentheng. Dari sanalah perekonomian digali semaksimal mungkin untuk membiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cukup tidak cukup semuanya dibungkus dalam keikhlasan dan kelapangan dada menerima apa yang telah diberikan.

Anak-anak di dusun ini hidup dalam kesederhanaan, seluruh orang tua mengupayakan agar buah hatinya dapat sekolah di tempat paling baik, teman-teman mereka memiliki apa yang tidak mereka miliki, sebagian hidup di tengah-tengah kemewahan. Berangkat diantar, pulang dijemput, sementara anak-anak Paren mengandalkan langkah kaki menyusuri jalan aspal yang hanya memuat satu mobil saja, menanjaki jalan aspal di Kiringan, lanjut ke Mlilir, berkeringat di  desa Mangunan, terengah-engah di sekolahan, Mts Beseran.

Saat pulang mereka mengharap ada orang bermobil yang memberi tumpangan, jika tidak maka melanjutkan perjalanan pulang kembali dengan langkah kaki. Sahabat, bayangkan jika hujan turun. Namun apa pun yang terjadi, mereka tetap tersenyum dan memasrahkan diri kepada Allah yang telah mengatur kehidupan.  Mereka tak punya alasan untuk mengeluh.

           Ada pun mereka yang berhasil, menjadi sosok rajin dan gigih dalam menjalani kehidupan. Mereka adalah anak-anak yang ringan membantu ketika kedua orangtuanya mulai sibuk mencari nafkah. Mereka merasakan susah payahnya perjuangan kedua orangtua. Sadar diri, bahwa nasi di meja makan tidak serta merta datang sendiri seperti Jaelangkung.

           Di sini, tumbuhlah beberapa anak-anak sederhana yang pandai tersenyum dan ramah kepada orang-orang. Meski pemukimannya tidak begitu megah seperti di kota-kota besar, namun jiwa mereka lapang dan menakjubkan. Anak-anak tumbuh menjadi orang yang percaya diri, penyabar, santun, dan ringan bekerjasama dengan orang lain. Mereka-merekalah yang berhasil mempelajari jerih payah kedua orangtua, sosok yang tumbuh karena keberkahan pengorbanan yang tua.

Bagi mereka-mereka yang gagal, segala urusan dunia diserahkan kepada pencipta, hanya saja perlu Anda ketahui, doa-doa kebaikan untuk mereka tidak pernah berhenti dirapalkan.

Di salah satu dusun Kelurahan Ketangi itu kedamaian mengalir sempurna.

Gendang belum pernah ditabuh. Kalaupun ada yang berani menggoyangkan dedaunan pohon di pagi hari, maka hanya tukang sayur keliling yang seringkali menggemparkan telinga-telinga ibu dengan musik dangdut tidak berwibawanya.  Tapi beruntungnya, tukang sayur yang datang, selalu menghiasi dengan sapaan manis dan senyum indah kepada penduduk.

           Hiburan remaja di dusun ini terpusatkan pada sebuah lapangan voli di dekat sekolahan MI Islamiyah Paren. Anak muda akan melambungkan bola plastik ke angkasa, saling oper bergaya pemain profesional. Sayangnya lahan itu hanya bernyawa di musim kemarau, saat hujan lahan becek dan ditumbuhi semak belukar, menampilkan kesan tak terurus.

Begitupun, jangan berasumsi bahwa kampung itu terpencil! Pikirkan yang baik-baik saja, di antara gemerlap lampu-lampu diskotik perkotaan, juga di antara pemuda-pemuda yang tongkrong di desa-desa modern berfasilitas umum, masih ada sebuah dusun kerdil di dekat pegunungan yang jarang dijamah oleh tangan-tangan pemerintah, angkutan tidak ada yang melintasi rute dusun ini. Membuat anak-anak sekolah harus menapaki aspal sempit berkilo-kilometer menuju tempat belajar. Geografi alam itu mencetak generasi bangsa yang jauh lebih berkualitas.

Maukah Anda tinggal di kampung ini? Kirimkan nomor ponsel Anda pada sopir angkutan supaya mau memberikan rute angkutan umum, agar Anda dan anak-anak sekolah tidak kelelahan sebelum tiba di Dusun Paren.

Magelang, Maret 2019

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis