Kreativitas dan Keluguan Bocah-bocah

 

Makhluk Buas

Penduduk dirundung lelah, sebagian besar mengambil lelap di rumah masing-masing. Balita-balita berlayar ke pulau impian berbekal susuan ibu kandung. Tak ada lembar buku yang dijadikan pelajaran, PR sekolah dikesampingkan sebab besok adalah hari libur. Paren dikerubungi gelap, kabut merayap ke permukaan genting-genting, asap tungku api yang biasanya mengepul ketika pagi telah mati, semuanya tergantikan pekatnya awan hitam. Bintang tak bersinar, rembulan sungkan. Istirahat berjalan dengan lancar, kecuali bagi mereka-mereka yang memilih begadang membuka mata memelototi layar telepon atau televisi.

Tepat pada pukul sebelas malam, seorang warga dari Karang Tengah yang melintas saat perjalanan pulang ke rumah dikejutkan oleh penampakan ganjil. Bola matanya benar-benar mau lepas, bahkan jantungnya dalam beberapa detik berdetak tak keruan. Angin yang mengantarkan sunyi dan keheningan mendadak berubah menyusun suasana suram mengerikan. Ia mendapati seekor ular besar, berdiameter seukuran lengan lelaki dewasa, Anda bahkan bisa menyebutnya seperti pyton. Ular itu lantas menyusuri sawah. Padi-padi pun roboh. Warga  tersebut langsung lari menuju pemukiman penduduk, berteriak-teriak mengabarkan perihal ular besar yang ada di sawah dekat dengan irigasi Kali Loning. Kabar itu merupakan hal serius, jika ditilik dari raut wajah warga.

pixabay.com

Malam itu saya ikut menyaksikan ular yang telah digotong ke halaman rumah Mas Teguh. Mulanya hanya ada tiga orang, salah satu tangan dari mereka terlilit tubuh ular. Tak lama kemudian warga berkerumun, mereka meluruskan tubuh ular, berusaha mengeluarkan tangan warga yang terlilit. Wajah Bapak-bapak dan anak-anak remaja tampak semringah, ular besar itu seperti sebuah mutiara yang tiba-tiba muncul dari permukaan tanah. Warga lain yang baru saja bangun dari tidurnya berlarian mendekati kerumunan orang-orang yang membopong ular, berpose foto.

“Foto-foto!” teriak Mas Budiman histeris, raut mukanya riang kepalang. Hal langka memang perlu diabadikan. Ia langsung sigap,  mencincing sarungnya, lari pontang-panting menuju rumah, “Aku ambil hape dulu!”

Semua orang tertawa termasuk diri saya yang saat itu mengamati gerak lucu Mas Budiman. Ia yang pendiam, rupanya menyimpan keluguan natural.

Ular tersebut kemudian dibawa pergi, kata tetangga dijual ke orang dusun Dukuh dengan nilai seratus ribu rupiah.

Pesta Kemerdekaan

Setahun sekali warga Paren bertindak konyol, segala kreativitas yang terpendam akan keluar secara reflek, bahkan Anda tak akan pernah menyangka bahwa beberapa orang pendiam ikut beratraksi, entah berpentas dagel di atas panggung, atau sekadar menyanyikan lagu kebangsaan penuh penghayatan bernada sumbang. Kala itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, seorang manusia berbaju gamis merah dihiasi gelang emas di pergelangan tangannya yang menggendong tas perempuan, naik ke atas panggung.

Drama orang kampung sedang berlangsung,  alurnya menceritakan beberapa warga pencuri singkong dan seorang RT yang agak bodoh. Mas Imam, laki-laki muda dusun Paren ini adalah tokoh wanita yang memakai gamis merah tersebut. Mata saya nyaris lompat dari tempatnya bersemayam, saya sedikit terkejut dengan sisi lucu sosoknya. Selama ini saya mengenalnya sebagai orang santun, lembut dan pendiam. Mungkin dilatarbelakangi karena saya jarang bertemu sapa dan bertukar cerita dengannya, sehingga penilaian saya masih sewajar pandang belum mendalam.

Kala itu, ada sebuah tragedi manis yang layak disuguhkan di meja masa depan, sebagai kenangan yang tak boleh digerus peradaban. Kisah sepasang suami istri naik ke panggung berkolaborasi membacakan puisi tentang pahlawan, ialah Mas Teguh dan Mbak Kunti.

Hal yang paling membuat saya terpingkal-pingkal menyaksikan MC pentas seni yang bertindak seperti seorang presenter humor di televisi, perkenalkanlah pemuda sedikit humoris, Rozikin. Malam itu ia memakai celana training pendek dengan atasan kemeja rapi. Suaranya lantang memecah riak hening pada malam 17, karenanya kantuk warga terusir paksa, tawa menjelegar mengalahkan dengkuran kodok di semak-semak.

Saya sempat mengenal Rozikin pemuda yang tak aneh-aneh, dari gestur penuturan kata-katanya saat bercakap dengan tetangga, ia merupakan orang yang menjunjung sopan santun, menghormati orang yang lebih tua, dan perangkul bocah-bocah belia. Ia memiliki karisma dalam dunia pendidikan, hal itu tampak dari sorot mata tajamnya. Bahkan perlu Anda ketahui bahwa dirinya adalah orang yang mahir dalam bidang desain. Penampilan malam itu sedikit melunturkan sisi baiknya selama ini, ia sungguh tampil dengan natural tanpa menonjolkan kecerdasannya di bidang akademik. Polahnya yang histeris seringkali merengek tepukan tangan.

Mereka bersenang-senang pada bulan Agustus, peringatan hari kebebasan negeri tercinta. Beragam permainan anak-anak seperti balap karung, kelereng dalam sendok, makan kerupuk, mengambil koin dan sebagainya diperlombakan, pentas seni alakadarnya pun ikut digelar. Selain itu, mereka pun tak melupakan rutinitas upacara kemerdekaan. Pagi hari sebelum bersenang-senang dan tertawa upacara  pengibaran merah putih digelar di halaman rumah warga dekat warungnya Mbok Kopip.

 Tiang bendera didirikan dari bambu yang baru saja ditebang. Paskibra, pembacaan undang-undang dasar 45, pembaca teks pancasila, pembawa acara dan komandan serta inspektur upacara adalah orang-orang kampung yang tak mengecam bangku sekolah, merekalah petani dan pedagang-pedagang dusun Paren. Pakaian mereka tak serapi dan semahal jas-jas kantoran, mereka mengenakan pakaian adat kebaya orang jawa, ada yang memakai baju tentara hasil pinjaman, selanjutnya pakaian bebas sehari-hari. Walaupun terlihat sederhana jauh dari keseriusan, upaca bendera tetap berjalan khidmat, apalagi ketika lagu kemerdekaan disenandungkan, ada hawa asing yang mengalir, megiris sanubari, lalu mata-mata sesepuh dusun Paren berair.

 Saya yang saat itu merekam segala gerak-gerik tubuh warga merasa merinding bercampur haru tiada banding. Apalagi mengingat malam hari sebelum tanggal 17, warga berkumpul, menyaksikan film sejarah bersama-sama dan syukuran nasi tumpeng sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kekuatan juga perlindungan kepada para pahlawan dahulu ketika berjuang keras memerdekakan Indonesia. Doa-doa dipanjatkan dengan harapan negara makmur, tentram, damai sentosa, sementara bangsa menjadi generasi bertanggungjawab sanggup menggemilangkan masa depan.

Permohonan Seragam Laden

Tentang sebuah kebersamaan dan tubuh-tubuh yang disiram hujan.

Hari itu, senja pulang ke rahim dunia, mendung mewartakan bahwa akan ada milyaran titik air yang ditumpahkan awan. Sayangnya langkah dan mata mereka tetap bergerilya ingin menjelajahi malam. Mereka, para pemuda yang semangatnya masih berkobar menerobos dingin dan kabut kemudian disusul terpaan hujan menuju Kaliangkrik.

Tak ada hal berharga yang hendak disampaikan, meski telah berbicara sungkan namun permohonan mereka tak sebesar nafsu-nafsu kekuasaan, mereka amat lugu terbalut sempurna dengan kesederhanaan. Tak ada proposal di tangan, ketika seorang calon DPR dari partai yang tak akan saya sebutkan, datang pada malam-malam purba, merintih suara mereka, maka tak ada kata tidak jika kelak janji terealisasikan atas nama kemakmuran. Kemudian mereka berbondong-bondong menghadap sang punya hajat, sekali lagi bukan untuk memohon sumbangan perbaikan jalan, pembangunan gedung fasilitas umum di kampung, pun bukan meminta jatah beras miskin, mereka masih bermartabat dalam hal itu.

Demi sebuah kekompakan dan keselarasan remaja, mereka menginginkan seragam laden (pemberi minuman dan makanan dalam acara pernikahan atau pengajian dan acara-acara besar di kampung). Mereka pulang dengan kebanggaan yang disimpan di dada masing-masing. Saya menyimpulkan sebuah kebahagiaan.

Siapa yang peduli dengan kegigihan mereka? Jika bukan pada selembar daun yang membawakan kehidupan di muka bumi. Alam raya adalah kamera termurni yang mampu memotret kejadian jujur mereka, tanpa imbuhan yang bertele-tele dan melebih-lebihkan keadaan agar menjadi suram. Langit malam itu telah kembali cerah. Pada esok ketika ayam jago berkokok dan betina sibuk bertelor, mereka menyingkap selimut, mengusir kantuk secepat mungkin kemudian merangkak ke masjid, bagi mereka yang tak dikuasai setan.

Tasyakuran Al-Barjanji

Selanjutnya, mereka mengalfakan kegiatan berlibur, berkumpul di halaman masjid, menggotong tratak, saling bantu-membantu mendirikannya, terpal dipasang di permukaan sebagai tanda tak menerima tamu hujan. Mereka pun mendirikan panggung.

Pagi itu tak ada yang berkostum rapi, semuanya memakai kaos oblong alakadarnya dan celana tak resmi, detik itu apel pagi tak menjadi perbincangan menarik. Semuanya (baca; bagi yang tidak bekerja di pabrik)  meluangkan waktu untuk bekerja bakti demi memersiapkan acara pengajian sebagai bentuk syukuran Al-Barjanji Remaja Paren. Janji-janji bertemu rekan diundur atau ditanggalkan, refresing di hari senggang dipending, bahkan bagi mereka yang memiliki usaha mandiri, rela tak berangkat mencari nafkah.

           Semuanya memang tidak bisa dikatakan kompak, ada yang mendirikan tratak, memegangi tiang, merekatkan ujung-ujung terpal dengan tali, pun ada yang hanya bolak-balik sambil berkicau-kicau tak penting, mentertawakan gurauan yang seharusnya tidak lucu. Sampai pada akhirnya, ketika keringat telah membutir di leher, menguarkan aroma tak sedap pada ketiak, mereka menyingkir dari halaman panggung, duduk di teras rumah saya.

 Mbak Puji, pemilik Batavia Convection’s, datang membawakan kopi, es teh, gorengan, mereka dipersilakan mengambil menu sesuka diri, bahkan Ibu saya juga membuatkan pisang goreng. Tawa menjelegar, mencandai hal yang entah apa maknanya.

Setelahnya mereka kembali bekerja, menyelesaikan panggung, memasang banner sementara yang lain membungkus snack di rumah saya.

Acara syukuran besok, merupakan momentum langka yang belum tentu dilaksanakan setahun sekali. Biasanya jika tidak mengadakan pengajian, mereka berwisata rohani ke makam-makam Kyai dan Walisongo. Itu sudah merupakan adat istiadat di dusun ini sebelum ramadhan tiba.

Penanggungjawab acara ini seluruhnya adalah anak-anak remaja, jika pun ada orang tua, maka mereka hanyalah pendorong dan pembantu, bukan orang yang berdiri pokok dalam acara tersebut. Remaja, mulai dari anak-anak SD sampai SMA dan yang telah lulus termasuk yang sudah bekerja membagi tugas secara adil, grup rebana diwajibkan tampil, menyanyikan shalawat apa saja yang dikuasai, pembagi snack diserahkan kepada kaum remaja perempuan.

Beberapa anak sempat khawatir jika tamu yang hadir tak sesuai dengan harapan, pada pembukaan acara yang dipimpin oleh MC, suasana tampak hening, kursi-kursi belum terduduki penuh. Saya dan teman yang lain sempat berpikir negatif dan sangat pesimis karena hadirin belum memadati kursi-kursi di sekitar panggung. Snack masih tersisa berkardus-kardus. 

Langit tak cerah juga tak hujan namun mendung. Kabut menggumpal-gumpal menampakkan kegagahannya, seolah ia sedang memberikan sebuah ancaman kepada remaja-remaja Paren. Orang tua-orangtua Paren melumat air liur mereka, berdoa supaya hujan tak bertamu, jika itu terjadi maka akan sedikit yang mengaji, iba dengan Kyai-nya yang telah datang jauh-jauh.


Tuhan mendengarkan doa warga. Tamu mulai berdatangan.

Ketika Pak Kyai mulai memberikan ceramah di atas panggung, telinga-telinga dipasang khidmat mendengarkan. Topik utamanya Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad disambung mengenai istri yang harus taat kepada suami dan suami yang harus memahami jerih payah seorang istri supaya ibadah diterima. Selebihnya adalah candaan satire (sindiran) kalimat persuasif secara tersembunyi yang mengajak manusia untuk bertaubat.

Remaja Paren telah memersiapkan acara syukuran tersebut jauh-jauh hari, sebelumnya mereka menyuruh anggota yang sudah bekerja untuk iuran minimal 50.000, sementara bagi anak-anak yang masih sekolah dianjurkan seikhlasnya saja. MC-nya belajar menghapal teks berminggu-minggu.

Perjuangan yang keras tak akan pernah menghasilkan kepayahan kecuali kepuasan, pengajian berakhir tanpa halangan. Orang-orang menciumi tangan Pak Kyai sebagai bentuk penghormatan. Mereka menjamu Pak Kyai di rumahnya Mbak Puji. Sementara di rumah saya digunakan untuk acara pembubaran panitia dengan makan-makan bersama.

Mereka bekerjasama membongkar tratak dan menumpuk kursi-kursi inventaris dusun untuk dikembalikan ke tempatnya. Tak lupa membersihkan sampah-sampah snack yang sempat berserakan. Pedagang jajanan murah dan mainan anak-anak menggulung tikar, pulang ke rumah masing-masing usai meraup keuntungan.

Pengajian berakhir, namun kegiatan Berjanjen terus berjalan setiap hari Kamis malam Jumat seusai maghrib. Biasanya anak-anak kecil akan datang lebih awal, baru ketika azan isyak berkumandang para laki-laki dewasa mulai berdesak-desakkan. Berjanjen adalah kegiatan menyenandungkan shalawat-shalawat nabi, sebagai wujud pujian dan kebanggaan menjadi umatnya, pun untuk mengharapkan pertolongan di zaman akhir kelak nanti. Mereka akan membaca kita Al-Barjanji secara bergiliran.

Acara ditutup dengan jamuan sederhana dari tuan rumah, biasanya menu yang dihidangkan berbentuk kerupuk dan gorengan, minumnya sekadar teh tawar. Obrolan ringan mulai pecah, terangkum pada pagar-pagar rumah, jika anak-anak sekolah mulai bosan mereka akan berpamitan, sementara yang tua masih asyik memperbincangkan kemajuan dusun Paren diselingi dengan gurauan-gurauan yang terkadang membahas perilaku tetangga sekitar.

Magelang, 26 Maret 2019.

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis