Sebuah Bukti dalam Kue
Ada sebuah bukti yang terserak di lantai rumah, di bawah genting-genting, dibungkus terik mentari, disembunyikan mata-mata nanar, direkam tikar-tikar yang bisu, bersaksilah sepuluh jari yang tak lagi lentik. Ia membuat adonan kue, tepung beras ketan dicampur gula jawa putih yang telah diparut. Ia sedang membuat kue satu, entah apa sebabnya kue dari beras ketan yang dicetak dalam sebuah kotak kayu seperti kolom dakon itu dinamai satu, padahal berbentuk segi empat, rasanya manis, semanis senyum melati ketika mekar.
![]() |
pixabay.com |
Ia mengolahnya sendirian, anak-anaknya tak membantu.
Sebenarnya bukan tidak mau, melainkan ia melarang. Aku mendekati tampah berisi tepung beras ketan yang
sedang dicampur dengan gula, sementara ia memarutnya, ia justru menyuruhku
menjauh, jangan mendekat nanti pakaian dan kulitku lengket. Ia selalu berkotor-kotor, tanpa mau
membiarkan anak-anaknya kotor.
Oohh ia, kau boleh
memanggilnya Ibu, begitupun denganku. Aku selalu memuliakannya, sebagaimana
perintah nabi pada umatnya. Aku pernah menjelaskan bahwa Ibu bangun lebih awal
ketika orang-orang masih lelap. Ia sudah bersahabat dengan nyala pawon pada pukul tiga pagi, kemudian
bersujud mendoakan masa depan anak-anaknya. Wajah Ibu cantik, ia menjadi
primadona keluarga meskipun tak mampu ditipu bahwa kulitnya mengeriput, kantung
matanya tak lagi sekencang dahulu, geraknya menampilkan cahaya letih tersembunyi,
langkahnya menyiratkan ribuan pengalaman hidup yang didekap rapat-rapat.
Ibu pemilik rahim cinta yang
menghangatkan, tak pernah terbalas budinya, tak pernah terlunasi kasihnya.
Meskipun... pernah akan kukirimkan triliunan pasir untuk piutang abdiku, ombak
lautan justru mentertawakan kebodohanku. Batu karang juga rumput laut bergoyang
melecehkanku. Akhirnya wajah Ibu kugenangkan pada permukaan air laut, aku ingin
melukisnya, biarlah ia tersimpan dengan ombak, abadi, karena laut lebih luas
dibanding daratan di dunia Indonesia.
Pernah ingin kuhamparkan dedaunan di alam raya, aku
membayangkan jejak perjuangan Ibu menghidupi, menjaga, mengayomi, menyediakan
sarapan, tumbuh mengembang di daun-daun pohon. Aku sangat yakin, jumlah
dedaunan di dunia ini ada milyaran jenis, maka kenangan Ibu yang lelah akan
terus berbiak. Aku tak rela jasanya terkubur waktu, aku ingin ia terkenang dan
dikenang zaman. Ia abadi dalam sejarah, bukan, ia tak akan pernah menjadi
sejarah, bola matanya adalah bintang yang senantiasa menyinari langit-langit jiwa
anak-anaknya.
Kupikir dedaunan di alam ini lagi-lagi tak cukup
menampung ketulusan cintanya. Kasihnya tiada terhitung, tiada banding, tiada
balas, tiada, dan tiada yang mampu berhasil menukar segala jenis perjuangannya
untuk buah hati. Ia terkadang diam, menyendiri memandang bingkai jendela, pedih
memikirkan nasib anaknya yang belum tertentukan, ia khawatir, jika-jika pergi
meninggalkan dunia sebelum anak-anak berhasil membangun bahtera surga duniawi.
Tak seperti diriku, yang memandang cakrawala, melamunkan
angan-angan ego bukan tentang orang lain, melainkan untuk keindahan hidupku
sendiri, aku jarang memikirkan Ibu saat aku melamun. Sungguh aku tidak
berbohong, wajah Ibu selalu ada di saat aku merana karena rindu, di saat aku
sakit, di saat aku lemah dan resah, aku ingin merengkuh dan lelap dalam
peluknya.
Bukankah aku tampak egois? Tapi tidak dengan Ibu, setiap
detik bahkan sebelum menjadi sedetik ia senantiasa mengingat wajah
anak-anaknya, tak pernah terlupakan. Ketika tidur berharap mimpi anak yang
tinggal di perantauan hadir, ketika memasak demi anak ia menyiapkan makanan
terbaik, ketika mencuci paling diutamakan pakaian anak terutama seragam
sekolah, ketika duduk termenung menyaksikan hujan di luar rumah, lagi-lagi anak
yang ditunggu kabar kepulangannya. Ibu dan anak seperti lebah dan madunya, tak
akan pernah dipisahkan, mereka satu dzat utuh.
Kau mungkin akan membantah, barangkali jarak mampu
memberi jeda, memisahkan yang dekat, menjauhkan tatap, mengaburkan peluk dekap.
Ratusan kilometer terbentang, lautan menjadi jembatan sebrang, hutan-hutan
membentengi, arah menghabiskan ribuan menit, tapi kata Ibu, mereka sedekat
jari-jari tengah, tak akan pernah bersekat di mana pun. Aku menebak jelas
ponsel yang menjadi perantara, tapi Ibu tak setuju, bukan lantaran itu! Ia
mengelus dada datarnya, payudara yang dulu menjadi saksi pertumbuhan bayi-bayinya
kini kempes, begitupun ia tetap terlihat anggun, sebab senyumnya tak akan
luntur, walau zaman berusaha mengubur. Sebagai buktinya, Ibu rela menghabiskan
biaya tak sedikit demi anaknya yang jauh di pulau orang asing.
Mataku merekam suara Ibu yang terbatuk-batuk menjelang
senja, aku juga tahu ketika itu Ibu tak banyak uang di kantong, ia membeli
tepung, telur, nanas, dan bahan kue lainnya yang tak aku mengerti, semuanya
masuk ke dalam satu keranjang belanja. Belanjaannya lalu dibawa ke tetangga
yang pandai membuat kue kacang, ia meminta bantuan tetangga untuk mengolahnya.
Ibu bukannya tak mampu, Ibu tak cukup waktu.
Pagi buta digunakan untuk menanak nasi guna sarapan anak
dan bapak diselingi mencuci pakaian, piring dan menyapu, siang memipihkan
adonan singkong untuk dibuat kerupuk lentheng,
malam menguntinginya (mengikat)
disusul melipat pakaian kering. Begitu terus berputar, tiada henti sekali pun
peluh sudah membutir di kening dan leher, suaranya telah lemah, gerak tangannya
telah lamban, matanya sayup-sayup. Ya, ketahuilah Ibu tak pernah berhenti
bekerja demi anaknya, aku sering melihat dagunya mengangguk-angguk sementara
sanggulnya bergoyang-goyang menahan kantuk. Andaikan Ibu masih bocah usia lima
tahunan ia akan tampak menggemaskan, sayang Ibu yang tak lagi muda tampak
menyedihkan, mengiris uluh hatiku, meninggalkan iba, menyeretku ke dunia
lelahnya yang tiada terkira.
Ibu memang tak pernah alfa bekerja, selain kegiatan rutin
di atas, ia juga tak pernah melupakan ladang-ladangnya. Ah Ibu adalah petani,
pun pemilik home indrusti, juga buruh di sawah-sawah orang yang memohon bantuan
jasanya. Kau bisa menampung lelah Ibu?
Ketika aku lelah aku akan langsung menjadikan tempat
tidur sebagai rumah paling menyenangkan. Rebah berjam-jam, lelap dengan
berharap mendapatkan mimpi indah. Lain dengan Ibu. Ia mengobati lelahnya dengan
sujud, bantalnya adalah sajadah. Lima waktu tak pernah terlambat, hebatnya Ibu
selalu berjamaah di masjid. Ibu juga rutin mengikuti kegiatan pengajian, baik
di kampung sendiri maupun di kampung sebelah. Oh sungguh Ibu, ia penata waktu
yang paling handal. Ibu adalah orang terhebat yang memang layak dimuliakan
berkali-kalilipat. Siapa pun tak akan mampu menggantikan posisinya.
Di suatu
siang, aku melihat Ibu membuat kue satu. Wajahnya kuyu, tatapannya sayu,
sungguh sejujurnya tubuhnya sudah seperti lotus yang layu, tapi Ibu tetap
memarut gula jawa putih, mencampurkannya dengan tepung beras ketan. Kue satu
dan kue kacang Ibu akan diberikan kepada anaknya. Ialah kakakku yang jauh di
pulau berbeda. Kami jarang bersua dalam hitungan tahun, kami seolah tidak
pernah berebut centong sayur di meja makan, kakakku amat jauh, ia jarang pulang
meski rindu Ibu sudah tak mampu dibendung.
Aku
disuruh Ibu membungkuskan kue kacang dan kue satunya, kumasukkan ke dalam
toples plastik yang persegi panjang, kutata rapi kemudian kubungkus dengan
kardus, kulapisi permukaan toples sebelum tertutup oleh lakban dengan koran
agar seimbang. Paket itu akan dikirim ke Kalimantan, kau bisa membayangkan
jarak yang perlu ditempuh menujunya? Kata orang awam, itu perbuatan percuma,
harga kuenya tak ternilai, bahkan riskan rusak jika ditimpa dengan paket-paket
lain di dalam truk JNE. Ibu menghabiskan delapan puluh ribu rupiah sebagai jasa
pengantar.
Aku sempat protes dengan perbuatan Ibu yang menurutku
sedikit kurang wajar. Bukankah di sana banyak kue serupa? Bagaimana jika tidak
dimakan? Bagaimana jika remuk dalam perjalanan? Lugunya, harga kue yang dikirim
lebih murah dari jasa mengirimnya. Apakah petugas JNE-nya tidak akan
mentertawakan Ibu?
“Banyak kue seperti ini di toko-toko sana. Kakakmu pasti
banyak uang untuk membelinya, tapi biarlah Ibu tetap mengirimnya, bukan dinilai
dari bentuk barangnya, tapi biarlah terekam dalam benak mereka bahwa Ibu ingat
kepada mereka. Apa yang Ibu buat, pun berhak mereka cicipi.”
Kalimat Ibu membuatku bungkam beribu bahasa, jiwaku yang
kerontang mendadak menjadi lembab dan basah. Aku haru dan rasanya ingin memeluk
Ibu. Sungguh cinta yang murni? Siapa yang sanggup membalasnya?
Apakah Ibumu masih hidup? Peluklah ia, ucap terima kasih karena telah
memberikan air susunya.
Ramadan 27 1440 H.
Magelang, 2019.
Lanjutkan dan terus bersemangat! Hidup bukan hanya tentang hari ini, tetapi ada hari lalu untuk dikenang juga hari di depan untuk berjuang!
BalasHapus