Kumpul-kumpul

 

Malam itu, udara dingin dibawa pergi sekelompok kunang-kunang, suasana penduduk menjadi senyap, seperti bayi mungil lelap. Pemilu usai, tasyakuran Al-Barjanji tinggal mengepakkan sayap lelah. Waktu mendengkur paling nikmat, menyadari esok libur pendek. Tubuh harus lekas direbahkan ke pembaringan. Halaman masjid hening, menyisakan jejak-jejak langkah seusai adzan isyak tadi. Waktu berhenti pada titik delapan, aktivitas warga telah lenyap. Mungkin semuanya bergurau dengan letih di bilik rumah masing-masing, mengontrol remote televisi, mengadilkan chanel dengan keluarga masing-masing. Remaja yang biasanya nongkrong di serambi masjid tak menampilkan hidung-hidung peseknya.

pixabay.com

Nyiur angin mendesis pelan, mengiringi daun-daun bambu berguguran dalam gelap. Aku menutup pintu rumah, tak mengizinkan gelap mengintai waktuku bersandar di bahu bantal. Kekasih izin pergi ke rumah Rozikin, katanya ada undangan rapat pleno remaja, pembubaran panitia pengajian serta diskusi mengenai kelangsungan habitat remaja Paren. Aku mengiyakan, ia sempat mengajak namun aku menolak. Kantukku sudah diambang batas kewajaran, aku ingin segera tidur jika tak ada hal darurat.

           Pada akhirnya, takdir entah di mana muaranya, menyingkap lensaku untuk memerhatikan bola mata mereka, remaja-remaja tanggung, berperawakan kurus-kurus, didominasi tampan-tampan, hanya ada enam sosok berwajah cantik termasuk diriku. Mereka menyandarkan bahu di dinding-dinding pucat, lampu neon menyiram wajah-wajah layu seharian beraktivitas, sebagian mendulang rupiah, sebagian lagi melelapkan pikiran di meja-meja sekolah.

Di antara puluhan pemuda, segelintir yang mendengarkan ucapan Zaenal, ketua remaja, pengayom mereka, penggiring langkah dan pembimbing yang diharapkan contoh kebajikannya. Ia sederhana, terlahir di kampung, akal dan pikirannya utuh diabdikan kepada kegiatan-kegiatan rohani. 


Malam itu, di bawah remang sinar rembulan yang terbatas atap genting rumah Rozikin, ia buka salam, ucap terima kasih atas kerja sama dalam acara tasyakuran Al-Barjanji yang berjalan sukses, akhirnya pinta maaf jika selama memimpin belum memberikan bimbingan optimal, ia sarankan untuk mengganti sosok pemimpin, ungkapnya di periode ini janganlah amanah itu ia pikul, sebab ada amanah lain yang baru saja ia emban.

Remaja yang mendengarkan menolak, mereka ingin Zaenal melanjutkan jabatan, Rozikin memprovokatori yang lain untuk menyorakkan kelangsungan jabatan Zaenal. Aku, hanya mendengar, sama seperti gadis yang lain.

Ada yang diam saja, mengalurkan pikiran ke dunia lain, dunia tak nyata, dunia senyap penuh dengan keheningan, namun teranggap ramai, mereka-mereka sibuk memoles-moles badan ponsel, memberikan pesan yang entah tertuju pada entah di seberang sana, entah di seberang gunung, dan entah di seberang lautan. Mereka khusyuk tak mengindahkan obrolan yang sedang berlangsung.

            Bukti sosial tertanam di dada remaja Paren adalah sebuah kerelaan menyisihkan sedikit rizkinya ketika tetangga ada yang sakit, mereka akan berbondong-bondong menjenguk dengan membawa bingkisan buah tangan bisa juga sebuah amplop berisi amal dan kebaikan. Bukan hanya itu saja, ketika ada hajatan nikah salah satu anggota remaja, mereka patungan (iuran) uang sejumlah yang ditentukan untuk meminang kado sebagai hadiah pelepas lajang.

Mereka bisa dikatakan kompak dan senantiasa berusaha agar selaras dalam memutuskan sebuah tindakan. Jika pun ada yang menunggak, seperti yang tersebut oleh bibir Rozikin malam itu, ketika dua tangannya membuka kitab saksi iuran anggota selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, lantas ada yang belum membayar, mereka sepakat untuk memakluminya. Mungkin belum riskinya belum cukup dibagi ke orang lain, mungkin masih sekolah, mungkin sedang nganggur, mungkin dan kemungkinan lainnya. Satu lagi yang indah, mereka tak membebankan anak-anak sekolah untuk iuran sesuai dengan jumlah yang ditentukan, bagi yang masih duduk di bangku madrasah, semuanya boleh menyumbang seikhlasnya saja, sesuai kadar kemampuan, jangan sampai merengek paksa pada orang tua, itu akan berakibat menyedihkan dan menciptakan sebuah argumen pemaksaan. Pemaksaan bukan karakter remaja Paren, mereka selalu mengutamakan keharmonisan.

Pada detik pertengahan, Zaenal meminta usulan konstruktif. Sebelumnya ia sempat menyayangkan jika sedikit remaja perempuan yang ikut aktif dalam kegiatan remaja, apalagi yang sudah menikah tak berjejak rimbanya. Kegiatan rohani seperti Al-Barjanji bagi kaum hawa tak terdengar denyut nadinya. Ketika kerja bakti pun tak tampak satu pun perempuan yang ikut andil dalam membersihkan kampung atau membantu memasak di dapur, menyiapkan minuman. Ke manakah perginya perempuan-perempuan Paren? Jika dibahas sibuk kuliah, sedikit yang sekolah tinggi bisa dihitung jari dan itu pun tak sampai lebih lima jari. Perempuan-perempuan Paren bertutur lembut dan sedikit pemalu, sebagian mengabdikan diri di pesantren yang dimaklumi jika tidak ikut kegiatan remaja, sebagian bekerja ikut orang asing, pulang sore hari, libur di hari minggu jika tidak terjebak lembur, dan lebih banyak yang merantau ke rumah kekasih (baca: suami). Kesimpulannya perempuan muda di Paren mendekati kata punah.

Zaenal menekankan, supaya perempuan ke depannya aktif dalam kegiatan remaja entah berbentuk pengajian kecil atau pun kerja bakti. Selanjutnya ia memfilter dua usulan paling menarik.

Temannya Basar, yang bertubuh kurus, gemar bermain gadged mengajukan proposal, “Pasang wifi!”

Tiba-tiba tanpa ada angin yang menggiring, tanpa merpati penyampai surat penting, tanpa basa-basi ucap salam maupun ungkap identitas, suara itu menyelundup masuk ke gendang-gendang telinga. Anak-anak yang sedang bermain ponsel mendadak ikut bersuara, mereka menyepakati. Zaenal, Rozikin dan pemuka remaja yang sudah dewasa lainnya menimang-nimang usulan, antara mengiyakan atau menolaknya, jika pun menolak harus ada alasan akurat, jika pun diterima, harus memberikan dampak yang baik bagi kehidupan.

“Untuk apa?” Mereka-mereka yang sudah dewasa mengusut pertanggung jawaban, “Jika untuk hal baik, maka akan kami realisasikan, jika tidak? Haruskah ada?”

“Pertimbangannya, mungkin bisa digunakan untuk anak-anak sekolah yang membutuhkan materi pembelajaran dari internet, tapi apakah anak-anak siap menggunakannya? Khawatirnya jika belum siap, selain menjadi penyibuk chatting di media sosial. nanti disalahgunakan untuk membuka situs yang bukan-bukan dan kecanduan game online,

Pengusulnya bungkam. Aku sepakat dengan kalimat yang baru saja diutarakan, dari segi postif, akan lebih banyak negatifnya jika dipergunakan anak-anak remaja yang belum memiliki banyak tanggung jawab dunia pekerjaan atau pun bisnis online selain belajar dan belajar. Lagi pula mereka sudah terbiasa mencari materi di warnet-warnet. Akses wifi akan berdampak buruk bagi kelangsungan rutinitas ngaji mereka, belum dipasang wifi saja, sebagian dari mereka sibuk berpacaran dengan ponsel, rela lembur demi membalas chat, kebiasaan nongkrong di Madrsasah Islam Paren, menggoyang-goyangkan ponsel, berharap signal tertampung penuh. Ingat, sebagian kecil saja, tidak semua remaja Paren bertindak bodoh seperti itu.

“Usulan ditarik, tidak jadi usul.” Sang bocah menggeliat malu. Orang-orang dewasa terkekeh.

“Bagaimana jika kita adakan rekreasi, jalan-jalan untuk mempererat hubungan persaudaraan antar remaja?”

Usulan pertama dibubarkan, palu yang terketuk mengatakan tidak untuk pasang wifi. Lantas rencana rekreasi. Akan ada banyak  hal yang diperhitungkan, seperti biaya, waktu luang, dan kesediaan. Apakah anak-anak mau? Sebagian mengiyakan, setuju tanpa musyawarah mufakat, ikut-ikut saja, sebagian diam, tak menyetujui pun tak menolak.

           Detik-detik pertemuan terakhir, semuanya pulang membawa angan-angan yang tak tersampaikan, mereka membungkam suara, mendekap harapan erat-erat. Setiap kepala selalu berpikir untuk kemajuan dan kemajuan, namun mereka masih bimbang dalam menentukan arah, entah dari mana akan memulai, akan bagaimana, akan seperti apa, khawatir pula dengan momok masalah yang akan menerjal.

Mereka bukannya tidak berani mengambil keputusan berat, hanya menyelaraskan kemampuan setiap anggota, tidak memaksakan kegiatan besar, menyicil pengajian-pengajian mungil, yang penting berjalan. Mereka hanya ingin hidup dalam kekompakan, dan sejalan dalam pengabdian kepada orang-orang tua, semaksimal mungkin membantu kerja bakti, ketika seorang warga mempunyai hajat mendirikan rumah, diusahakan tidak alfa dan terlambat ketika orang-orang berpeluh, setidaknya mereka pun harus merasakan lelah yang sama.

           Aku yang semula tak bergitu tertarik dengan kumpul remaja malam itu, memasaksakan diri beranjak dari rumah, tak enak hati dengan Basar yang  diutus Rozikin untuk memanggilku (baca: menyuruhku hadir), aku merekam setiap gelagat dan tatapan mata-mata mereka yang bimbang, ya bimbang dalam memutuskan sebuah mimpi di masa depan.

Acara kumpul ini harus dilanjutkan, aku sangat yakin, banyak gagasan remaja yang belum dimuntahkan, ada keinginan-keinginan terpendam yang layak diwujudkan. Seperti kisah pada suatu malam-malam sunyi, ketika remaja sedang sibuk sendiri-sendiri, aku, Rozikin, Fani dan kekasihku mengadakan diskusi mengenai dusun Paren. Kami ingin memajukan dusun, dalam arti bukan mengejek bahwa dusun kami tertinggal dan terbelakang meski terletak di perbatasan. Namun, kami ingin dusun kami disorot, lebih diperhatikan, lebih dikenang, dan tersimpan rapat-rapat di benak-benak pengunjung. Kami tak harap tamu ucap salam pergi tinggalkan pengabaian, kami ingin mereka-mereka mendapat sebuah memori indah untuk bekal cucu-cucu anak adam.

“Apa yang harus kita lakukan?”

Semuanya, termasuk diriku buntu dalam pikiran masing-masing.

“Kadang aku berpikir, ingin agar anak-anak di dusun ini membaca buku. Tapi entah dari mana akan memulai, aku ingin ada seseorang yang mengarahkan anak-anak belajar dan bermain, supaya mereka tetap dalam ranah kekanak-kanakan mereka, tidak seperti anak-anak sekarang yang sudah terkontaminasi dengan ponsel dan televisi, mereka masih dini, tapi mereka lebih mengenal pacaran dari pada orang dewasa.” Ungkap Rozikin.

Persoalannya bukan tentang tidak bisa, melainkan siapa yang bersedia? Siapa yang banyak waktu untuk membimbing mereka? Ketika orang-orang dewasa termasuk diriku sibuk dengan dunia luar? Apakah sejarah akan mencatat kami sebagai pemalas?

Apakah semua itu akan menjadi angan-angan? Hanya soal waktu! Kataku! Kita membutuhkan kesadaran anak-anak muda yang belum bekerja. Mereka dululah yang perlu dibina. Jika sudah berhasil, biarlah mereka yang menemani anak-anak bermain.

Masalahnya, ke manakah anak-anak remaja Paren? Ini sekadar dusun dengan mimpi-mimpi tinggi yang tak berpenghuni. Kukatakan tak berpenghuni, sebab mimpi kami tak seimbang dengan kuantitas penduduk.

Entah, apa pun yang terjadi, kami akan selalu mengikatkan tangan dalam satu jabat erat-erat, tidak terpisah.

Kawan, doakan kami selalu hidup bersahaja dalam damai dan tawa.

Magelang, 28 Mei 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis