Lelaki yang Selalu Menangis
Aku perempuan, aku pernah menangis pada sudut remang malam, ada luka yang mengendap di dada, ada perhatian yang tak kudapatkan, itulah alasan air mata melurik di pipi, terpaksa bermuara di permukaan dagu yang tak berbendung, ia menjadi sia-sia. Bagaimana jika kali ini yang menghancurkan sepi malam dan mengganggu mimpi-mimpi bayi adam adalah seorang lelaki? Sakitnya lebih dari pada ditinggalkan kekasih menikah dengan orang lain. Perasaannya mengusung lara terkejam dari ketidakmengertian manusia kepada permasalahan. Andai saja Tuhan menciptakan kaca yang mampu membaca isi hati dan pikiran manusia, maka semuanya tak akan saling mengeja dalam ada-ada. Bibir pandai mendeklarasikan kalimat-kalimat luka di sepanjang jalanan senja dan ketika fajar pertama kali terbit, mereka menerbangkan berita-berita pilu dari air mata lelaki yang menjerit-jerit setiap waktu.
Lelaki
itu menangis pada malam yang panjang, terang pun tak pernah alfa meronta-ronta.
Kau akan berasumsi ia terkena penyakit gila stadium akhir, tidak! Ia tidak gila
karena tidak pernah sekali pun tertawa sendirian, ia sempurna menangis
meluapkan emosi-emosi yang mengendap di dada. Waktu dianggap telah menganak
tirikannya, muda kata detik, namun ia terlara-lara, tidak bisa menikmati
secangkir kopi dalam genang gurau bersama kawan-kawan di malam sabtu. Jangankan
malam sabtu, malam-malam biasa, ia selalu begitu, menangis dan terus menangis.
Bukankah itu tak adil? Kawannya telah menimang buah hati, ada pun yang
bergerilya menjelajahi kota-kota asing, bahkan sebagian terkabar telah menabung
untuk mendirikan rumah bersama kekasih, ia – ia mendekap di ruang persegi
empat, berteman bantal guling dan ketidakpastian.
Kau tak
akan pernah mampu menerjemahkan setiap bulir yang mengalir, ia menatap fana
kegelapan, mencengkeram angan-angan. Adakah luka yang lebih pahit dari
kepergian seorang kekasih? Sementara hati masih menyimpan wajah dan menaruh
perasaan sucinya lekat-lekat? Adakah yang lebih sakit dari tangan yang tak
mampu berjabat karena rindu berjarak? Adakah lagi yang lebih menyiksa dari
kepergian kedua orangtua ke tanah keabadian? Mungkinkah malaikat mengerti
penderitaan lelaki itu?
Suara
tangisnya menjelma penderitaan yang tak habis-habis dari kening orang satu ke
kening yang lain, rintihnya mengetuk dinding-dinding rumah warga, meletakkan
sebuah aroma pedih yang meratapi bening-bening orang tua, ia bukan pengganggu,
namun tangisnya membuat mata-mata tua tak nyenyak menjemput tabir impian, meski
lelah telah menyandang di pundak-pundak pahlawan keluarga, manusia di sekitar
tak mampu membiarkan, namun mereka pun tidak tahu dengan cara apa akan mengusap
air mata. Apakah pelukan saja cukup? Bagaimana caranya memeluk seorang lelaki
yang tidak patah hati?
Kau tahu? Ia tidak sedang patah hati. Kali itu ia tidak
tertarik dengan senyum gadis bergingsul, ia juga ogah mendengarkan suara manis
seorang bidadari, ia tidak terpikat oleh cinta-cinta remaja yang kisahnya
berserak-serak dari bibir lelaki muda, ia tidak mampu membayangkan kisah manis
sepasang kekasih yang baru saja diresmikan oleh negara. Ia hanya ingin keluar,
mengajak langkahnya melihat beningnya embun pagi, menikmati gigil desisan
angin, mengejar langkah burung-burung prenjak ketika senja mungkur, ia hendak
menendang bola di tanah lapang jika diizinkan. Sederhana bukan? Mengapa takdir
belum juga mengerti?
Tubuhnya
meringkih, kurus dan mengering. Bibirnya kelu mengumpulkan keluh. Ia sibuk
menangis, mememecahkan riak-riak hening, mengisap seluruh tenaganya erat-erat,
tangisnya membuat ia lupa menerjemahkan pencernaan lapar, ia pun tak peduli
dengan tenggorokannya yang dihajar musim kemarau. Alam merekamnya menjadi
makhluk paling menyedihkan sepanjang masa. Ia yang bersandar di dinding kayu,
melamunkan angan bersama kawan-kawan di penghujung zaman. Kadang, angin
mendesiskan huruf epitaf termanis di atas sebuah nisan, ia pernah mengulur
keputus asaannya, meletakkan pada bentangan kematian. Melalui rintikan hujan ia
memohon, cabut kerugian-kerugian yang telah mengkristal di relung jiwa, sayang
doanya hanya basah kuyub dibilas hujan. Tuhan butuh waktu memberi jawaban.
Petrikor
menguar, menusuk hidungnya yang merah ranum, beningnya berkaca-kaca, ia
membelai kaca jendela dengan pandangan nanar. Para pemuda kampung sedang
berbondong-bondong meringkas jarak menuju tempat sembahyang, ayat Tuhan
didendangkan, ia tidak tuli, ia hendak menyeimbangkan langkah dengan yang lain,
sayang ia tidak bisa. Ia marah pada waktu, berteriak, meronta tidak butuh
pertolongan, hanya ingin keluar sejenak, menghirup udara segar. Kembali air
matanya membanjir. Orang-orang yang berdzikir di dalam masjid tak tenang,
suaranya mengusik dan membenamkan kekhusukan, mereka akan merinding dengan
tetes-tetes embun iba, oksigen terhirup sesak, seolah ada debu-debu dari bibir
lelaki yang berhamburan di ambang udara. Debu kehampaan.
Aku
pernah melintas halaman rumahnya, ketika itu embun telah mengering, dedaunan
menampung wajah rembulan, pohon kelapamenghitam, ia tetiba menjadi sosok
mengerikan bertubuh tinggi kekar, aliran sungai di pinggiran persawahan
menderas, bunyinya terdengar sampai telinga bilik-bilik kayu, ketika itu aku
tatap gumintang yang berhamburan di langit ungtuk menghindari rasa ngeri yang
tak tertahankan, suara tangis itu amat menyayat hingga membuat batin serasa
dicabik-cabik. Aku bukan hanya meninggalkan jejak iba, aku tidak sanggup
mendengar ratapannya. Aku merasa hina karena membiarkan, namun aku perempuan,
ia lelaki dan kami tak pernah satu dalam darah. Ia telah jatuh di dalam
kesunyian berbulan-bulan. Jika ditampung ember, air matanya telah
berliter-liter.
Tetangga telah
menggalang rupiah untuk mengusap peluh-peluh yang tercecer pada malam-malam
berkabung, namun tak ada hasil memuaskan, ia bukannya sedikit mendiam, justru
menambah erangan. Sungguh siapa pun tak akan pernah sanggup membayangkan
luka-luka yang terpenjara di dadanya.
Lelaki
itu Ndori. kelak kau akan mengerti penyebab dirinya selalu meneteskan embun di
pipi.
Magelang, beberapa hari di September 2019.
Komentar
Posting Komentar