Budiman (Berbudi dan Beriman)
Para pahlawan selalu mengajarkan tentang perjuangan,
nenek moyang terdahulu pun meninggalkan sejarah tentang dasar-dasar ketekunan
sebuah perjuangan. Fokus pada satu titk
seringkali digembor-gemborkan supaya menjadi orang yang mampu memberikan
pengaruh positif kepada khalayak umum. ‘Jangan mudah terprovokasi’, dosen-dosen
di mimbar kampus berdalih, meskipun yang mendengar hanya memasang telinga tak
berlubang. Kalimat orangtua memiliki magic
dan bukti di masa depan jika dipraktikkan dan dijadikan sebagai bekal
kehidupan.
![]() |
pixabay.com |
Ketika berjuang kita akan menjumpai rintangan yang tak
sebesar kerikil saja, bisa jadi sebesar batu yang dimuntahkan dari letusan
gunung merapi, pun bisa sangat mungil namun sebanyak pasir-pasir di pantai,
ketika kita menelusuri lebih dalam, milyaran titik pasir di pantai
menyimpan nilai estetik juga mengandung
manfaat, selain digunakan sebagai hiburan juga sering digunakan untuk mandi
orang-orang, dengan tujuan menyehatkan badan. Menakjubkan bukan? Pada episode
selanjutnya pasir-pasir dijadikan sebagai alat lukis dipadukan dengan
warna-warna di muka bumi, bisa juga
sebagai tempat membuang inspirasi bocah-bocah tentang negeri dongeng, mereka
lantas menciptakan istana-istana, dan masih banyak lagi.
Hal buruk yang dipenuhi dengan kepahitan biasanya memiliki makna terdalam mengenai
sesuatu yang manis, yang tak dapat dilupakan, juga sulit ditinggalkan zaman. Ia akan diungkit-ungkit
setiap waktu meski tahun telah menjadi masa lalu walaupun lembaran baru telah
terbuka lebar-lebar. Hal pahit tersebut tetap akan mendapatkan tempat luas.
Itulah yang
terjadi pada seorang lelaki, terlihat dalam rekaman kamera dusun Paren, tentang
seorang lelaki yang belum berumur senja, gemar dengan liga sepakbola, dan hobi
olahraga.
Ia potret dari ketekunan menjalani hidup. Rekaman jejak
hidupnya mengabarkan, dahulu ia pernah mengabdi di pabrik konveksi Semarang.
Hidupnya dihabiskan dengan membelai mesin-mesin jahit, lalu pindah mencari pengalaman baru di Gunung
Pati, tak berhenti di situ saja, ia masih mengitari mesin jahit di Yogyakarta
meskipun pada akhirnya banting setir, resign
dari pabrik-pabrik konveksi.
Saya berasumsi, ia lelah sebelum masa panen tiba, dalam arti lelah sebelum keberhasilan
menimbun uang tercipta. Namun, ada juga yang menyimpulkan bahwa bekerja bukan
hanya sekadar menimbun rupiah-rupiah saja. Bekerja bagi kebanyakan orang
berakal merupakan salah satu wahana tempat pembelajaran, mencari ilmu ketika
sudah dirasa cukup, kantongi dan bawa pergi berlari sejauh mungkin,
meninggalkan masa lalu menjadi babu, menghapus rekaman presdir-presdir yang tak
tersenyum ramah, kemudian pulang menciptakan peluang usaha secara mandiri,
menekuni ilmu dari perantauan untuk mendapatkan hal baru.
Budiman, ya nama
yang diberikan oleh kedua orangtua dengan harapan sanggup menjadi orang berbudi
baik dan beriman, ialah lelaki berjasa yang berhasil membangun perekonomian
mikro di Dusun Paren dari bakatnya menjadi tukang jahit.
Sejujurnya, ia bukan orang Magelang, ia lahir di Kota
Pemalang, berjarak puluhan kilometer
dari Magelang, jika dihitung dengan penggaris cm, maka jauhnya tak kalang
pandang.
Semula mengabdikan
usia mudanya di pabrik konveksi
Semarang, kemudian dipertemukan dengan
jodohnya, orang Magelang, Puji. Mereka
mencetak buku nikah berdua, kemudian merumuskan hidup baru dengan mesin jahit
di rumah orangtua dengan modal satu
mesin jahit.
Budiman bekerjasama dengan teman-teman pabriknya yang
dulu tinggal seatap di Semarang atau Yogyakarta dan juga Gunung Pati, mereka terkoneksi dengan jaringan internet
berbantu pulsa. Jika salah satu teman
mendapatkan orderan yang didesak waktu deadline, maka mereka saling bantu
bahu-membahu agar pekerjaan cepat kelar, setelahnya hasil dibagi sama rata.
Begitu terus-menerus, sampai ia mendapatkan langganan lantas namanya mulai dikenal ke berbagai daerah di
luar kota.
Namun sebelum menginjakkan kaki di tingkatan tersebut,
Budiman pernah mengalami hal berat yang sangat melelahkan. Ia menghabiskan
ribuan jarak dari kota satu ke kota lainnya demi mengantarkan orderan, sebelum
bekerjasama dengan Kantor Pos dan perusahaan
pengiriman barang. Kadang sebelum ayam-ayam berkokok, Budiman telah melesat jauh menuju
Yogyakarta, mengantarkan pesanan kaos
kepada pengorder, langsung kembali pulang, jika pun Tuhan menakdirkan ia
beristirahat, maka hanya menyesap segelas teh hangat.
Ia berjalan di
bawah terika matahari yang membakar tubuhnya hingga hitam legam, meninggalkan istri dan anak di
rumah, demi mencari nafkah. Terkadang hujan
ikut menjadi saksi perjuangannya sehari-hari.
Sebab ketekunannya tersebut saat ini, usahanya diberi
nama Batavia Convection’s dan mampu membantu mengurangi beban hidup beberapa
warga Paren, usahanya yang membuahkan hasil memberikan kesempatan kepada siapa
saja yang mau membantunya.
Budiman tak
mengekang para karyawannya untuk menetap lama di lahan jahitnya, ia membiarkan
jika mereka ingin bekerja beberapa hari atau beberapa minggu saja. Selain itu,
ia pun memberikan libur pada hari minggu. Di hari itulah, Budiman menyempatkan
diri bersenang-senang dengan istri dan anak-anaknya.
Saya belajar banyak hal darinya, selain tentang
ketekunannya dalam bekerja hingga mampu meminang beberapa mesin jahit kemudian
mempekerjakan beberapa karyawan, ia merupakan figur pendiam tak banyak bicara
di kalangan masyarakat.
Begitulah seharusnya manusia berbuat, tidak berbicara
banyak hal tak penting, kecuali kalimat persuasif pengajak kebajikan.
Di mata Puji yang
saya panggil Mbak Puji, istrinya, ia
merupakan lelaki tertampan yang pernah diciptakan Tuhan di muka bumi ini, tak
ada yang mampu menandingi ketampanannya, namun di mata saya secara garis jujur
dari kaca mata umum, Budiman bukan lelaki yang berparas tampan, ia sederhana, lekuk
garis wajahnya dapat dikatakan sebagai lelaki desa, tak ada gurat-gurat
perkotaan. Saya bicara apa adanya secara natural tak dibumbui dengan pujian,
namun lebih dalam lagi, sebenarnya bukan itu yang patut disorot.
Budiman adalah lelaki yang rutin melaksanakan puasa senin
dan kamis, salat dhuha jarang alfa
disempurnakan dengan tahajudnya. Ia bangun pagi buta kemudian salat jamaah di
masjid Paren. Setelahnya tak leha-leha
dengan serutupan kopi panas di ruang
depan, ia dan Mbak Puji lari pagi mengikuti jalan irigasi sawah Kali Loning
menuju Ngaglik, menanjaki jalanan Gunung Salam kemudian jika keringat sudah
membutir di kening dan matahari mulai menampakkan senyumnya ragu-ragu, mereka kembali pulang menghadap mesin-mesin
jahit.
Itulah kegiatan sehari-harinya, untuk Mbak Puji diselingi
dengan menyapu dan mencuci sementara untuk Budiman menonton pertandingan
sepak bola jika ada jadwal di televisi.
Ia saya juluki sebagai orang lugu karena
menempel jadwal pertandingan liga sepak
bola di dinding rumah saya yang terletak di sebelah jalan umum. Sungguh menggelikan.
Anda pasti akan
tertawa jika hanya membayangkannya, namun jika melihanya langsung, Anda akan
tersenyum dan menaruh hormat kepadanya, sebab Budiman orang yang berkarisma,
layak untuk disegani, tak banyak ulah dan
selalu berbudi pekerti baik, sopan dalam bertutur, santun dalam
bersikap di muka umum.
Ia figur yang seharunya mampu dijadikan contoh, tekun beribadah, dermawan, tekun bekerja dan
rajin olahraga serta tak pernah telat
berjamaah di masjid terdekat. Bahkan, konon ketika masih menjadi karyawan
pabrik, ia pun salat berjamaah di sekitar pabrik, sering menuntun langkah
kakinya untuk menyinggahi rumah Allah. Menakjubkan bukan?
Jika Anda berkenan mengenalnya lebih lanjut, singgahlah
ke dusun ini, segelas teh manis dan camilan akan disuguhkan olehnya untuk Anda,
khusus untuk Anda.
Komentar
Posting Komentar