Hutang Lunas
“Biarkan aku yang
menemuimu, aku akan datang ke tempatmu! Jangan pernah pergi ke tempatku untuk
menemuiku.” Pesan
Whats-App masuk.
Seperti seorang kekasih yang dilanda rindu berbulan-bulan
namun tak segera dipertemukan. Begitulah
keinginanku yang ingin bertemu dengannya. Sosok yang membekas dalam
imajinasiku, seorang gadis muda dengan pikiran cerdas, dengan tatatapan lembut,
dengan senyum riang, dengan gerakan gesit, dan suara tegas yang disempurnakan
dengan langkah lincahnya. Di pikiranku, ia pendiam, sedamai bendungan danau di
musim kemarau, sesunyi malam yang tak berbintang. Ia anak Karawang, aku anak
Magelang.
![]() |
pixabay.com |
Janji itu telah diucap beberapa bulan lamanya, sebelum
Desember berakhir. Ia bahkan kupikir kata yang tak dapat diterjemahkan dengan
logika, kusimpan rapat di dalam kotak-kotak asing, tak ingin kubuka meski
terkadang aku membayangkan isinya yang akan menakjubkan. Aku takut berharap,
sebab harapan terletak pada jarak yang jauh. Aku lebih suka berpijak pada hal
pasti dan mengarunginya seumpama aliran sungai. Bagaimana dengan sederet kata yang disusun di atas layar dunia maya
tersebut? Haruskah aku abaikan?
Aku tak perlu mengenalkan tentang siapa yang kurindu,
pada dasarnya aku belum mengenalnya lebih dalam. Aku hanya mengetahui sosok
abstraknya dari dunia yang tak dapat kau sentuh. Ia terbang dalam khayalan dan
lamunan tulisanku. Tinggi tubuh, aroma dan rupa wajah serta karakter senyum di
bibirnya, aku belum pernah melihatnya secara langsung.
Meskipun begitu, ia orang yang kuletakkan di atas kursi
paling berharga. Sosok yang membuatku ingin kembali merangkaki alvabet saat
langkah jemari-jemariku tergelincir di dunia sesat. Alasannya sederhana, ia
kawan pertama diriku yang tidak mempunyai kecerdasan dan bakat dalam dunia
literasi ini menulis. Jika ia terlahir untuk menjadi penulis karena minatnya,
maka saat itu aku dilahirkan mejadi orang yang gemar merangkai kalimat fiksi,
sebab dijerat kesunyian panjang yang amat menyayat. Hingga aku menemukan keramaian
di pasar-pasar huruf, membagi cerita absurd
pada jejak-jejak cerita imajinatif, kemudian mendapatkannya di penghujung
kebodohan.
Dalam diamku, aku belajar darinya, bagaimana mengemas
kata yang baik. Tak perlu bermajas tinggi, tak perlu bermetafora indah, asalkan
letak dan susunannya tepat, maka itulah yang dapat disebut indah.
Ketahuilah Kawan, dahulu di zaman purba, aku sering
merangkai kata-kata ‘lebay’, orang
bilang ia adalah majas dan diksi yang indah, padahal aku hanya mengikuti alur
otakku karena tak paham merakit kalimat dengan baik. Saat itu yang kupikirkan hanyalah
bisa menulis agar penat di tempat pembaringan dan lelah bercengkrama dengan
rasa sakit yang menghajar tubuhku hilang. Aku bosan dengan hidup yang hanya
habis di dalam sebuah ruangan. Dunia luar kujamah dalam bayangan.
Saat itu, kau pernah
mendengar kisahku bukan?
Aku sukar merangkak, dalam arti melangkahkan kedua
kakiku. Sungguh, pernah suatu masa aku tak kuat berjalan lebih dari 20 m. Maka
aku bermimpi, aku ingin ke sana, aku ingin ke sini, aku ingin bertemu dia, aku
ingin bertemu mereka, aku ingin pergi jauh, aku ingin… dan aku ingin… HIDUP.
Ketika semuanya menjadi harapan, benarlah ia terasa jauh,
amat jauh! Seolah mimpi adalah hal yang paling sukar untuk diterjemahkan realita.
Jika ada orang bermimpi, terbayang
mereka sedang meraih hal-hal sulit yang jarang dijangkau oleh pikiran manusia.
Padahal, apa susahnya bermimpi melangkah? Itu normal, wajar, dan bukan hal
istimewa. Apa beratnya ke luar dari tempat tinggal? Sementara orang lain mampu
menanam jejak di penjuru dunia?
Aku berpikir, mereka bisa, kenapa aku tidak bisa?
Pada akhirnya aku memilih
berjuang, fokus dengan kehidupanku, menenggelamkan kenangan pada dunia literasi
yang saat itu sedang menjamur di akun mayaku, dan yang jelas, yang paling
membuat hati ini cidera, yang paling menyayat saat terkenang menyisahkan kata, ‘mengapa harus ia yang kutinggalkan,’
adalah ketika aku tak lagi bersua sapa dengannya di dunia maya. Ya! Ialah
seorang gadis yang belum kuketahui caranya mengembangkan bunga di bibirnya!
Aku ingin berjalan lancar, dan aku ingin bisa menulis,
karena dunia abstrak yang mengenalkanku pada cerita-cerita fiksi. Dan dua orang
di dunia ini, yang terbentengi jarak kaki ratusan kilo meter dari tempatku
berpijak, Farrah Muslimah, Yulia Sofyan, adalah seperempat bekalku setelah
kubagi dengan Ibu, adek-adek, dan almarhum ayahku, untuk meneruskan hidup.
Pernah suatu malam, oh
bukan! Lebih tepatnya beberapa malam yang beruntun selama berbulan-bulan, aku
merangkak tertatih-tatih demi mengumpulkan sebuah karya tangan, entah akan
dibaca atau hanya dilirik saja. Aku mengantongi semangat dari gadis itu, bahwa
aku ingin bisa merangkai kalimat-kalimat sederhana seperti tulisannya, seindah
cerita yang ia buat, pun demikian dengan redaksinya yang selalu rapi tanpa
kesalahan. Maka, teruslah aku berlatih, sampai ratusan halaman aku timbun,
meskipun pada akhirnya kurang berarti. Aku belajar berbulan-bulan, sampai detik
ini masih belajar merangkai kata-kata, dan hasilnya sama, aku tetap tidak tahu
bagaimana merangkai kalimat yang baik dan benar. Aku menulis hanya mengikuti
jiwa dan pikiranku.
Beruntung kesetianku menulis sejak lama kembali
mempertemukanku dengannya, kami bersapa mengarungi kenangan, kemudian berjalan
dengan langkah terombang-ambing pada ruang yang sama. Waktu telah bertambah
tua, kami seperti sosok yang baru bertemu jika tak ada masa lalu yang menjadi
pengimbang kisah kami. Pikiran tak semanis zaman purba dulu dalam berimajinasi, ada banyak tuntutan dalam kehidupan yang
lebih nyata, membuat kami berdua, tunggang-langgang mempertahankan kreativitas
dalam dunia literasi. Karya-karya banyak yang tak usai, cita-cita membangun
rumah untuk anak-anak muda yang ingin belajar menulis seolah hanya memiliki
pondasi tanpa tiang dan atap, namun entah apa yang membuat diri ini dan gadis
itu bertahan.
Ada hal yang menggelikan, ia menjadikanku alasan terus
menulis, pun sebaliknya dalam diamku selama bertahn-tahun yang lalu, sebelum
aku kehilangan jejak dan kembali menemukan peta hidupnya, aku telah lebih dulu
menjadikan ia sebagai salah satu alasanku tetap menulis.
29
Desember 2018
Di akhir tahun yang bagiku menyedihkan,
ditumpuki dengan berkas-berkas laporan tutup tahun oleh instansi tempatku bekerja,
membuat kepala ini serasa akan diletakkan sejenak di dalam lemari, kemudian
kukunci rapat-rapat agar ia tenang, mampu mendinginkan pikirannya dari hal-hal
yang membuatnya pening. Sayangnya aku tak pernah berhasil melakukannya meski sampai mati susah
payah berusaha. Tak akan pernah bisa, dan jika itu sunguh terjadi maka banyak
mata yang tidak rela dengan keadaanku.
Beruntung pada penghujung waktu 2018,
aku mendapatkan kado istimewa yang diembuskan melalui dunia maya. Hal yang
membuatku tak tenang beraktivitas, khawatir jikalau ada pesan masuk darinya
namun terlewat tak segera kubaca. Sampai-sampai ponselku selalu kuletakkan di bahu jendela, agar
jaringannya stabil, berhubung di tempat tinggalku yang baru sering susah
sinyal.
Beberapa jam lamanya, aku mendekam di
kamar, memasang telinga dengan tegak, barangkali ia berbunyi memohon segera
diusap layarnya. Aku sangat bimbang sebab pesan yang kutunggu tak kunjung
datang, aku khawatir jika ada yang dibatalkan, atau benar bahwa yang kuinginkan
puluhan bulan lamanya ini adalah sebuah harapan, bermakna realitas atau sekadar
khayalan belaka.
Jantungku nyaris saja terpental dari
tempat persembunyiannya, melihat layar ponselku bercahaya dan menampilkan pesan
emotion tangan yang dikatupkan dengan
makna permohonan maaf. Seketika itu juga aku berfirasat buruk. Pasti gagal! Ini
tidak mungkin jika sejauh itu ia berkorban hanya demi sosokku! Ini mustahil!
Pada akhirnya aku putus asa sebelum membaca apa yang tertulis dari seberang
sana. Aku menyibak tirai jendela, kutatap langit yang tidak bergitu cerah, awan
abu menggangtung tipis menutup matahari. Kuberanikan diri membaca pesan yang
disampaikannya. Aku harus menerima apa pun keputusan takdir.
***
Aku tak pernah menyangka, jika saat itu
aku akan pergi sendirian, melawan jarak ribuan meter, membagi waktu untuk orang
yang selama ini belum aku temui. Sebenarnya aku adalah orang gila, menjadikan
makhluk abstrak sebagai kakiku dalam melangkah selama ini, sampai aku tak
peduli dengan rasa lelah yang kuemban berhari-hari lamanya di masa libur yang
dipenuhi dengan pekerjaan lembur.
Kado itu membuat semuanya terasa ringan,
aku bahkan tak merasakan kantuk dalam perjalanan, demikian dengan pernapasanku
yang sering bermasalah jika kelelahan menyetir. Aku seperti sosok yang baru
saja dilamar oleh kekasih pujaan. Atau boleh juga dianalogikan sebagai
secangkir kopi yang menemukan gula sebagai kawan, pahit namun sebenarnya manis.
Dalam perjalananku menemuinya di sebuah
tempat, imajinasiku bergerak liar ke alam yang sangat jauh, aku mengenang
langkah yang seringkali tersendat-sendat, kakiku yang rapuh untuk berjalan,
paru-paru yang seringkali tersumbat, juga kesadaran yang jarang stabil kala itu.
Aku yang tahun-tahun kemarin menggigil
ketakutan saat berpapasan dengan mobil dan truk besar, jantungku kualahan
menormalkan detaknya mendengar klakson yang tak sabar ingin menyalib laju
kendaraanku, juga aku yang dahulu sempat trauma tak ingin menyetir sepeda motor
karena takut terkejut di tengah-tengah jalan. Mendadak, entah dengan kekuatan
apa, tanpa kusadari selama ini aku telah melakukan perjalanan berkilo-kilo
jauhnya dengan jantung yang stabil. Aku tak kaget lagi mendengarkan klakson,
aku tak perlu khawatir terengah-engah di pertengahan jalan. Aku telah mampu
mengatasi fisikku sendiri. Dan hal yang paling menyenangkan adalah aku pergi
tanpa pengawal untuk menemuinya. Aku tak lagi rebah di kasur seperti saat
pertama kali kami berdua dipertemukan di dunia maya. Ini nyata, dan aku berdiri
sendiri.
Menjadi mimpiku kala itu sanggup berjalan
dan bertemu dengannya. Kini, apa yang disebut mimpi itu terjadi! Oh Tuhan! Aku selalu bermimpi ingin bisa
berjalan sangat lama, selalu berharap bisa bernapas bebas tanpa beban. Dan
ketahuilah rupanya aku saat itu berhasil, selama itu aku berjuang tanpa
kesadaran yang kusengaja. Seseorang yang berada dalam titik rendah akan lebih
mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, juga lebih mudah mencintai
hal-hal sederhana. Begitulah kenyataannya yang terjadi padaku, siapa sangka aku
yang semula buta tulis, bahkan bisa dikatakan pula buta baca, menjadi sosok
yang giat belajar hanya karena IRI dengan buah tangannya? Aku selalu protes
pada diriku, ia yang masih muda mampu merangkai kalimat indah yang mudah
dipahami banyak orang, mengapa diriku kesusahan? Padahal aku lebih tua darinya.
Betapa bodohnya aku saat itu! ‘Aku ingin
menulis seperti dirinya.’
Jalanan aspal yang kulintasi sepi,
mungkin takdir sedang mendukung pertemuanku dengannya, namun kurang lebih dua
kilo meter sebelum tiba di lokasi yang ditentukan, aku terjebak macet. Kami
berjanji akan bertemu di Candi Borobudur Magelang. Aku mencari jalan alternatif
yang memudahkan laju kendaraanku, menerobos jalan tikus, sementara jika di
jalan aspal menyalib sembarang mobil, termasuk bus atau pun truk. Tak ada takut
akan terjatuh apalagi kecelakaan, aku benar-benar nekat, bahkan melupakan STNK,
KTP, juga SIM, ah masalah SIM aku
belum memilikinya, namun sering keluar kota sendirian, boleh kau kata aku gila.
` Ke
Candi Borobudur sendirian merupakan pengalaman pertamaku, biasanya diantar atau
minta antar siapa saja. Jalanan menujunya sangat ramai dan dipenuhi dengan
kendaraan pribadi dari luar kota, apalagi jika musim-musim liburan. Jalan tidak macet lima meter adalah
keberuntungan, dikarenakan Candi Borobudur dahulu pernah menjadi salah satu
Tujuh Keajaiban Dunia, turis asing sering membuat jejak, dan jejak itu akan
ditambahi dirinya.
Aku dikenal orang tak pandai mencari
sebuah alamat juga sebaliknya jarang benar dalam menginformasikan sebuah
alamat. Kawan dekatku sering marah-marah
karena ketidakpahamanku dengan tempat yang akan kutuju. Ajaibnya, aku tak
tersesat kala itu! Entah apa yang membuatku seperti itu, semangat dari rindu
abstrak yang akan diobati, atau kebetulan alam sedang mendukung perjalananku.
Mobil-mobil antre masuk ke lokasi
parkir, kendaraan sepeda motor berderet-deret di tempat parkir pingiran jalan
masuk ke lokasi Candi Borobudur. Aku langsung menghentikan sepeda motorku di
tempat parkir sekenanya, kumasukkan ke dalam garasi, menerima karcis parkirnya,
langsung pergi tanpa mengingat-ingat lokasi parkirnya terlebih dahulu.
Pikiranku sudah terbuang tinggi pada wajah Farrah, aku tak fokus dengan apa
pun, bahkan langkahku menyebrangi jalan reflek, tak toleh kanan atau pun kiri, klakson berdenging dan aku abai.
Aku langsung menuju lokasi pembelian
tiket domestik, sesekali kupoles layar ponselku, menanyakan keberadaannya, ia
tak kunjung menjawab, aku menelpon, sekali tak diangkat, kucoba dua kali. Lalu
lalang manusia asing dan dalam negeri berkeliaran hilir mudik, sempat aku
menginjak kaki orang, ia menyeringai, buru-buru aku meminta maaf. Pandanganku
kuedarkan ke seluruh penjuru arah mata angin, mengharapkan sosok yang kucari
segera kutemukan.
Akhirnya panggilanku terangkat,
jantungku serasa berdebar, mimpi itu benar-benar nyata, “Aku baru saja salat,
sekarang menunggu saudara-saudaraku yang masih salat di masjid, Kak!”
beritanya.
Napasku berembus lega. Aku memberitahukan
keberadanku, di loket pembelian Tiket Domestik. Panggilan terputus, akhirnya
aku duduk menunggunya.
Mata ini terus memerhatikan hiruk-pikuk jalanan, aku
ingin diriku yang menemukannya, bukan ia yang menemukan diriku lebih dulu.
Kuperhatikan story whatsapp-nya, ia
mengenakan jilbab abu dan baju kuning, maka seluruh pengunjung Candi Borobudur
yang memakai baju kuning kuperhatikan baik-baik, dari ujung kaki sampai ujung
kepala. Aku menemukan satu mangsa. Ia tinggi, kulitnya sangat putih,
pandangannya dibungkus lensa kaca mata. Kupikir itu bukan dirinya, setahuku ia
jarang upload foto menggunakan kaca
mata. Aku salah orang, pasti bukan dirinya. Ada lagi orang yang mengenakan kaos
kuning, ia tak berjilbab, tak menggunakan kaca mata, memakai celana jins ketat
dengan sepatu pantopel, kuyakin itu pun bukan dirinya, aku tidak percaya jika Farrah
mengurai rambutnya. Setahuku ia sering mengenakan jilbab tipis.
“Kak, sebentar ya, aku antri dulu, aku sudah melihatmu.” Pesan
baru datang.
Aku sedikit kecewa karena gagal
menemukan dirinya lebih awal. Ia mengantre membeli tiket. Benar seperti yang
kulihat di foto story WA-nya, Ia
memakai jilbab abu-abu dan baju kuning, dipadukan dengan celana jins hitam. Aku
sempat tersenyum tipis melihat ranselnya yang dibungkus mantel tas hujannya,
awan Cirrus dan Altocumulus berarak memang, namun tidak mendatangkan medung apalagi
hujan.
Dua sepupunya ikut serta, satu bibinya
seolah menjadi pengawal perjalanan. Mereka berempat duduk berjam-jam di kereta
api, menikmati pemandangan hijau dari hutan dan sawah yang dibelah rel kereta
api demi singgah ke kota asing ini. Memangkah mereka merencakananya? Atau ini
hanya keinginan Farrah untuk pergi ke Magelang?
“Sebenarnya aku yang ingin ke Candi,
tujuan saudara-saudaraku hanya ke Jogja saja,” terus terang Farrah.
Beberapa detik aku sempat cangung, namun
lambat laun kami berdua mengobrol apa saja, sekenanya di otak.
Sebelum naik ke candi mata kami
dimanjakan oleh taman laba-laba. Laba-aba yang terbuat dari sterofom kemudian
dicat kuning itu disebar di atas
permukaan tanaman penghias jalan. Terkadang
kami di barisan pertama, kadang pula kami di belakang punggung
saudara-saudaranya. Aku belum sempat menanyakan nama mereka, dengan alasan
klasik, malu. Sesekali mereka berpose untuk mengabadikan momen. Aku melenguh
panjang menatap tangga yang tinggi sebelum tiba ke Candi Borobudur. Udara
panas, peluh pengunjung bercucuran, peluhku apalagi. Farrah mengkhawatirkan
bedaknya yang luntur. Lantas aku menggelengkan kepala. Dalam imajinasiku
sebelum bertemu dengannya, kupikir Farrah bukan orang yang suka dengan
kosmetik, rupanya aku salah, bibirnya dilapisi lipstik merah, wajahnya ditaburi
bedak, beberapa jerawat sedikit menonjol di permukaan kulitnya, begitupun ia
tetap cantik dan ia lebih tinggi dariku.
Kami berpegangan tangan saat mendaki
tangga dan naik ke Candi Borobudur, saling bantu menarik tubuh, atau lebih
tepatnya aku yang menyandarkan sedikit beban tubuhku kepadanya. Hari itu
seharusnya melelahkan, tapi aku tak merasakannya.
“Kemarin habis sakit ya, Kak? Sesak?”
tanyanya.
“Tidak apa-apa.”
Itu adalah kalimat yang paling tidak
kusukai. Siapa pun yang menanyakannya. Ah,
tapi terkadang aku harus berterus terang jika ada tanggungjawab yang terkendala
karenanya.
***
Tibalah kami di puncak candi, beberapa
petugas keamanan candi berjaga, mata mereka was-was jika-jika ada pengunjung
yang menduduki tubuh stupa atau badan candi. Beruntung hari itu tidak begitu
ramai, meskipun Farrah sempat mengeluh mengapa tempatnya sangat ramai. Dulu aku
pernah datang di hari Raya Waisak, ramainya tak tanggung-tanggung, seolah-olah
setiap inchi tubuh candi dikerubungi dengan semut, berjalan menuruni tangga pun
harus mengantre beberapa menit, atau jika tidak ancamannya akan terinjak kaki
turis dan terdesak pengunjung yang berbadan gemuk.
Yang mengamati relief candi lebih
sedikit, kebanyakan mereka memanfaatkan pesona cantik alam sekitanya untuk
mengabadikan momen, ketimbang menelusuri sejarah berdirinya Candi Borobudur.
Bahkan ketika speker Operator berdengung nyaring memberitahukan akan ada pemutara
film tentang Candi Borobudur, tak kudengar bisikan orang-orang yang tertarik
menyaksikannya. Mereka lebih asyik bergaya di depan ponsel canggih
masing-masing, tak jauh berbeda dengan Farrah dan saudara-saudaranya, aku
bahkan sempat menjadi fotografer untuk mereka. Kutafsir mereka sedikit sungkan
dengan keberadaanku, beberapa menit aku memutuskan sedikit menjauh dari mereka
agar mereka puas selfie dengan gaya
mereka masing-masing.
Farrah sempat mengajakku foto, tapi aku
menolak, aku bukan orang yang suka dengan foto diri sendiri, aku lebih tertarik
memfoto alam, atau tragedi-tragedi pinggiran jalan. Yang kuperhatikan bukan
sosok tubuh manusia, melainkan lebih dari itu. Jika pun berkenan difoto, maka
hasil karyaku yang kugendong di tas punggungku, bukan wajahku.
Di dunia ini tidak ada yang abadi,
seperti pertemuan kami berdua yang dipisahkan oleh jarak dan waktu. Mereka
mengeluh panas dan haus, bertanya-tanya mengapa tak ada yang menjual minuman di
lokasi candi, menyesal karena tak membawa minum sebelum naik ke candi. Aku
menawarkan mereka semua untuk mampir ke rumahku yang berjarak kurang lebih
30 menit dari sana, sayangnya mereka menolak,
padahal aku sampai memohon. Sebenarnya mereka hampir menerima tawaranku,
sayangnya Sopir Grab sudah mereka boking dari awal sampai akhir. Risikonya
biaya akan bertambah jika jarak semakin jauh. Aku sempat ngotot dan sangat memohon kepada bibinya Farrah, namun hasilnya
tetap nihil. Lain dengan Farrah yang mendadak berkata, “bagaimana jika aku saja
yang ke sana, kalian di sini, nanti aku ke Jogjanya naik Grab sendiri.”
Saudara-saudaranya memasang wajah tidak
setuju, dengan kalimat Bahasa Sunda yang belum kumengerti, begitupun dengan
bibinya, ia sempat protes dengan Bahasa Sunda dan logat mereka yang khas, aku
tak tahu apa kalimatnya tapi aku memahami maknanya, ‘kau yang mengajak kami ke sini, masak kami akan ditinggal pergi?’
akhirnya aku mengalah dan tak melanjutkan permohonan proposalku untuk mengajak
mereka main ke tempatku. Sebenarnya aku hanya merasa iba karena mereka haus dan
kepanasan.
Matahari belum tenggelam, tapi kami
sudah turun dari badan candi. Farrah dan saudaranya sempat memborong beberapa
kaos dan baju untuk oleh-oleh orang rumah.
Aku dan Farrah berpisah di pintu keluar
Candi Borobudur.
Kami tak sempat melambaikan tangan,
Farrah dan saudaranya buru-buru menghampiri sopir Grabnya, mereka telah
terlambat satu jam lebih dari perjanjian.
Aku sibuk mencari lokasi parkir sepeda
motorku, penyakit lupaku kambuh, bukan hanya itu saja, kakiku mendadak susah
kuangkat, linu dan terasa sangat sakit, itu pertanda aku sudah sangat
kelelahan, aku sempat membungkukkan tubuh, menumpukan tanganku di lutut,
menetralisir detak jantung dan pandanganku, kepalaku terasa berat, sementara
aku sendirian. Apa pun yang terjadi aku bangga dan bahagia karena bisa bertemu
dengan sahabat literasiku.
Dalam perjalanan pulang aku salah belok,
tersesatlah sudah, jalannya berliku dan aku tak tahu arah. Rasanya ingin
menangis dan meminta jemput kekasihku, tapi aku tak mau merepotkannya yang
sudah menungguku di rumah.
Ah,
tak mengapa, setidaknya semuanya diawali dengan hal yang indah.
Aku ingin mengucapkan sebuah kalimat
dengan langsung kepada Farrah, sayangnya
aku lupa, biarlah ia abadi di catatan ini.
“Dek,
hutangmu sudah lunas!”
Janjimu yang ingin mendatangiku
kujadikan sebagai hutang selama ini, dan kau telah melunasinya.
Magelang, Akhir Desember 2018.
Komentar
Posting Komentar