Hutang Lunas

 

“Biarkan aku yang menemuimu, aku akan datang ke tempatmu! Jangan pernah pergi ke tempatku untuk menemuiku.” Pesan Whats-App masuk.

Seperti seorang kekasih yang dilanda rindu berbulan-bulan namun tak segera dipertemukan.  Begitulah keinginanku yang ingin bertemu dengannya. Sosok yang membekas dalam imajinasiku, seorang gadis muda dengan pikiran cerdas, dengan tatatapan lembut, dengan senyum riang, dengan gerakan gesit, dan suara tegas yang disempurnakan dengan langkah lincahnya. Di pikiranku, ia pendiam, sedamai bendungan danau di musim kemarau, sesunyi malam yang tak berbintang. Ia anak Karawang, aku anak Magelang.

pixabay.com

Janji itu telah diucap beberapa bulan lamanya, sebelum Desember berakhir. Ia bahkan kupikir kata yang tak dapat diterjemahkan dengan logika, kusimpan rapat di dalam kotak-kotak asing, tak ingin kubuka meski terkadang aku membayangkan isinya yang akan menakjubkan. Aku takut berharap, sebab harapan terletak pada jarak yang jauh. Aku lebih suka berpijak pada hal pasti dan mengarunginya seumpama aliran sungai. Bagaimana dengan sederet kata yang disusun di atas layar dunia maya tersebut? Haruskah aku abaikan?

Aku tak perlu mengenalkan tentang siapa yang kurindu, pada dasarnya aku belum mengenalnya lebih dalam. Aku hanya mengetahui sosok abstraknya dari dunia yang tak dapat kau sentuh. Ia terbang dalam khayalan dan lamunan tulisanku. Tinggi tubuh, aroma dan rupa wajah serta karakter senyum di bibirnya, aku belum pernah melihatnya secara langsung.

Meskipun begitu, ia orang yang kuletakkan di atas kursi paling berharga. Sosok yang membuatku ingin kembali merangkaki alvabet saat langkah jemari-jemariku tergelincir di dunia sesat. Alasannya sederhana, ia kawan pertama diriku yang tidak mempunyai kecerdasan dan bakat dalam dunia literasi ini menulis. Jika ia terlahir untuk menjadi penulis karena minatnya, maka saat itu aku dilahirkan mejadi orang yang gemar merangkai kalimat fiksi, sebab dijerat kesunyian panjang yang amat menyayat. Hingga aku menemukan keramaian di pasar-pasar huruf, membagi cerita absurd pada jejak-jejak cerita imajinatif, kemudian mendapatkannya di penghujung kebodohan.

Dalam diamku, aku belajar darinya, bagaimana mengemas kata yang baik. Tak perlu bermajas tinggi, tak perlu bermetafora indah, asalkan letak dan susunannya tepat, maka itulah yang dapat disebut indah.

Ketahuilah Kawan, dahulu di zaman purba, aku sering merangkai kata-kata ‘lebay’, orang bilang ia adalah majas dan diksi yang indah, padahal aku hanya mengikuti alur otakku karena tak paham merakit kalimat dengan baik. Saat itu yang kupikirkan hanyalah bisa menulis agar penat di tempat pembaringan dan lelah bercengkrama dengan rasa sakit yang menghajar tubuhku hilang. Aku bosan dengan hidup yang hanya habis di dalam sebuah ruangan. Dunia luar kujamah dalam bayangan.

Saat itu, kau pernah mendengar kisahku bukan?

Aku sukar merangkak, dalam arti melangkahkan kedua kakiku. Sungguh, pernah suatu masa aku tak kuat berjalan lebih dari 20 m. Maka aku bermimpi, aku ingin ke sana, aku ingin ke sini, aku ingin bertemu dia, aku ingin bertemu mereka, aku ingin pergi jauh, aku ingin… dan aku ingin… HIDUP.

Ketika semuanya menjadi harapan, benarlah ia terasa jauh, amat jauh! Seolah mimpi adalah hal yang paling sukar untuk diterjemahkan realita. Jika ada orang bermimpi,  terbayang mereka sedang meraih hal-hal sulit yang jarang dijangkau oleh pikiran manusia. Padahal, apa susahnya bermimpi melangkah? Itu normal, wajar, dan bukan hal istimewa. Apa beratnya ke luar dari tempat tinggal? Sementara orang lain mampu menanam jejak di penjuru dunia?

Aku berpikir, mereka bisa, kenapa aku tidak bisa?
              Pada akhirnya aku memilih berjuang, fokus dengan kehidupanku, menenggelamkan kenangan pada dunia literasi yang saat itu sedang menjamur di akun mayaku, dan yang jelas, yang paling membuat hati ini cidera, yang paling menyayat saat terkenang menyisahkan kata, ‘mengapa harus ia yang kutinggalkan,’ adalah ketika aku tak lagi bersua sapa dengannya di dunia maya. Ya! Ialah seorang gadis yang belum kuketahui caranya mengembangkan bunga di bibirnya!

Aku ingin berjalan lancar, dan aku ingin bisa menulis, karena dunia abstrak yang mengenalkanku pada cerita-cerita fiksi. Dan dua orang di dunia ini, yang terbentengi jarak kaki ratusan kilo meter dari tempatku berpijak, Farrah Muslimah, Yulia Sofyan, adalah seperempat bekalku setelah kubagi dengan Ibu, adek-adek, dan almarhum ayahku, untuk  meneruskan hidup.

Pernah suatu malam, oh bukan! Lebih tepatnya beberapa malam yang beruntun selama berbulan-bulan, aku merangkak tertatih-tatih demi mengumpulkan sebuah karya tangan, entah akan dibaca atau hanya dilirik saja. Aku mengantongi semangat dari gadis itu, bahwa aku ingin bisa merangkai kalimat-kalimat sederhana seperti tulisannya, seindah cerita yang ia buat, pun demikian dengan redaksinya yang selalu rapi tanpa kesalahan. Maka, teruslah aku berlatih, sampai ratusan halaman aku timbun, meskipun pada akhirnya kurang berarti. Aku belajar berbulan-bulan, sampai detik ini masih belajar merangkai kata-kata, dan hasilnya sama, aku tetap tidak tahu bagaimana merangkai kalimat yang baik dan benar. Aku menulis hanya mengikuti jiwa dan pikiranku.

Beruntung kesetianku menulis sejak lama kembali mempertemukanku dengannya, kami bersapa mengarungi kenangan, kemudian berjalan dengan langkah terombang-ambing pada ruang yang sama. Waktu telah bertambah tua, kami seperti sosok yang baru bertemu jika tak ada masa lalu yang menjadi pengimbang kisah kami. Pikiran tak semanis zaman purba dulu dalam berimajinasi,  ada banyak tuntutan dalam kehidupan yang lebih nyata, membuat kami berdua, tunggang-langgang mempertahankan kreativitas dalam dunia literasi. Karya-karya banyak yang tak usai, cita-cita membangun rumah untuk anak-anak muda yang ingin belajar menulis seolah hanya memiliki pondasi tanpa tiang dan atap, namun entah apa yang membuat diri ini dan gadis itu bertahan.

Ada hal yang menggelikan, ia menjadikanku alasan terus menulis, pun sebaliknya dalam diamku selama bertahn-tahun yang lalu, sebelum aku kehilangan jejak dan kembali menemukan peta hidupnya, aku telah lebih dulu menjadikan ia sebagai salah satu alasanku tetap menulis.

29 Desember 2018

Di akhir tahun yang bagiku menyedihkan, ditumpuki dengan berkas-berkas laporan tutup tahun oleh instansi tempatku bekerja, membuat kepala ini serasa akan diletakkan sejenak di dalam lemari, kemudian kukunci rapat-rapat agar ia tenang, mampu mendinginkan pikirannya dari hal-hal yang membuatnya pening. Sayangnya aku tak pernah  berhasil melakukannya meski sampai mati susah payah berusaha. Tak akan pernah bisa, dan jika itu sunguh terjadi maka banyak mata yang tidak rela dengan keadaanku.

Beruntung pada penghujung waktu 2018, aku mendapatkan kado istimewa yang diembuskan melalui dunia maya. Hal yang membuatku tak tenang beraktivitas, khawatir jikalau ada pesan masuk darinya namun terlewat tak segera kubaca. Sampai-sampai ponselku  selalu kuletakkan di bahu jendela, agar jaringannya stabil, berhubung di tempat tinggalku yang baru sering susah sinyal.

Beberapa jam lamanya, aku mendekam di kamar, memasang telinga dengan tegak, barangkali ia berbunyi memohon segera diusap layarnya. Aku sangat bimbang sebab pesan yang kutunggu tak kunjung datang, aku khawatir jika ada yang dibatalkan, atau benar bahwa yang kuinginkan puluhan bulan lamanya ini adalah sebuah harapan, bermakna realitas atau sekadar khayalan belaka.

Jantungku nyaris saja terpental dari tempat persembunyiannya, melihat layar ponselku bercahaya dan menampilkan pesan emotion tangan yang dikatupkan dengan makna permohonan maaf. Seketika itu juga aku berfirasat buruk. Pasti gagal! Ini tidak mungkin jika sejauh itu ia berkorban hanya demi sosokku! Ini mustahil! Pada akhirnya aku putus asa sebelum membaca apa yang tertulis dari seberang sana. Aku menyibak tirai jendela, kutatap langit yang tidak bergitu cerah, awan abu menggangtung tipis menutup matahari. Kuberanikan diri membaca pesan yang disampaikannya. Aku harus menerima apa pun keputusan takdir.

***

Aku tak pernah menyangka, jika saat itu aku akan pergi sendirian, melawan jarak ribuan meter, membagi waktu untuk orang yang selama ini belum aku temui. Sebenarnya aku adalah orang gila, menjadikan makhluk abstrak sebagai kakiku dalam melangkah selama ini, sampai aku tak peduli dengan rasa lelah yang kuemban berhari-hari lamanya di masa libur yang dipenuhi dengan pekerjaan lembur.

Kado itu membuat semuanya terasa ringan, aku bahkan tak merasakan kantuk dalam perjalanan, demikian dengan pernapasanku yang sering bermasalah jika kelelahan menyetir. Aku seperti sosok yang baru saja dilamar oleh kekasih pujaan. Atau boleh juga dianalogikan sebagai secangkir kopi yang menemukan gula sebagai kawan, pahit namun sebenarnya manis.

Dalam perjalananku menemuinya di sebuah tempat, imajinasiku bergerak liar ke alam yang sangat jauh, aku mengenang langkah yang seringkali tersendat-sendat, kakiku yang rapuh untuk berjalan, paru-paru yang seringkali tersumbat, juga kesadaran yang jarang stabil kala itu.  Aku yang tahun-tahun kemarin menggigil ketakutan saat berpapasan dengan mobil dan truk besar, jantungku kualahan menormalkan detaknya mendengar klakson yang tak sabar ingin menyalib laju kendaraanku, juga aku yang dahulu sempat trauma tak ingin menyetir sepeda motor karena takut terkejut di tengah-tengah jalan. Mendadak, entah dengan kekuatan apa, tanpa kusadari selama ini aku telah melakukan perjalanan berkilo-kilo jauhnya dengan jantung yang stabil. Aku tak kaget lagi mendengarkan klakson, aku tak perlu khawatir terengah-engah di pertengahan jalan. Aku telah mampu mengatasi fisikku sendiri. Dan hal yang paling menyenangkan adalah aku pergi tanpa pengawal untuk menemuinya. Aku tak lagi rebah di kasur seperti saat pertama kali kami berdua dipertemukan di dunia maya. Ini nyata, dan aku berdiri sendiri.

Menjadi mimpiku kala itu sanggup berjalan dan bertemu dengannya. Kini, apa yang disebut mimpi itu terjadi! Oh Tuhan! Aku selalu bermimpi ingin bisa berjalan sangat lama, selalu berharap bisa bernapas bebas tanpa beban. Dan ketahuilah rupanya aku saat itu berhasil, selama itu aku berjuang tanpa kesadaran yang kusengaja. Seseorang yang berada dalam titik rendah akan lebih mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, juga lebih mudah mencintai hal-hal sederhana. Begitulah kenyataannya yang terjadi padaku, siapa sangka aku yang semula buta tulis, bahkan bisa dikatakan pula buta baca, menjadi sosok yang giat belajar hanya karena IRI dengan buah tangannya? Aku selalu protes pada diriku, ia yang masih muda mampu merangkai kalimat indah yang mudah dipahami banyak orang, mengapa diriku kesusahan? Padahal aku lebih tua darinya. Betapa bodohnya aku saat itu! ‘Aku ingin menulis seperti dirinya.’

Jalanan aspal yang kulintasi sepi, mungkin takdir sedang mendukung pertemuanku dengannya, namun kurang lebih dua kilo meter sebelum tiba di lokasi yang ditentukan, aku terjebak macet. Kami berjanji akan bertemu di Candi Borobudur Magelang. Aku mencari jalan alternatif yang memudahkan laju kendaraanku, menerobos jalan tikus, sementara jika di jalan aspal menyalib sembarang mobil, termasuk bus atau pun truk. Tak ada takut akan terjatuh apalagi kecelakaan, aku benar-benar nekat, bahkan melupakan STNK, KTP, juga SIM, ah masalah SIM aku belum memilikinya, namun sering keluar kota sendirian, boleh kau kata aku gila.

` Ke Candi Borobudur sendirian merupakan pengalaman pertamaku, biasanya diantar atau minta antar siapa saja. Jalanan menujunya sangat ramai dan dipenuhi dengan kendaraan pribadi dari luar kota, apalagi jika musim-musim  liburan. Jalan tidak macet lima meter adalah keberuntungan, dikarenakan Candi Borobudur dahulu pernah menjadi salah satu Tujuh Keajaiban Dunia, turis asing sering membuat jejak, dan jejak itu akan ditambahi dirinya.

Aku dikenal orang tak pandai mencari sebuah alamat juga sebaliknya jarang benar dalam menginformasikan sebuah alamat. Kawan dekatku sering  marah-marah karena ketidakpahamanku dengan tempat yang akan kutuju. Ajaibnya, aku tak tersesat kala itu! Entah apa yang membuatku seperti itu, semangat dari rindu abstrak yang akan diobati, atau kebetulan alam sedang mendukung perjalananku.

Mobil-mobil antre masuk ke lokasi parkir, kendaraan sepeda motor berderet-deret di tempat parkir pingiran jalan masuk ke lokasi Candi Borobudur. Aku langsung menghentikan sepeda motorku di tempat parkir sekenanya, kumasukkan ke dalam garasi, menerima karcis parkirnya, langsung pergi tanpa mengingat-ingat lokasi parkirnya terlebih dahulu. Pikiranku sudah terbuang tinggi pada wajah Farrah, aku tak fokus dengan apa pun, bahkan langkahku menyebrangi jalan reflek, tak toleh kanan atau pun kiri, klakson berdenging dan aku abai.

Aku langsung menuju lokasi pembelian tiket domestik, sesekali kupoles layar ponselku, menanyakan keberadaannya, ia tak kunjung menjawab, aku menelpon, sekali tak diangkat, kucoba dua kali. Lalu lalang manusia asing dan dalam negeri berkeliaran hilir mudik, sempat aku menginjak kaki orang, ia menyeringai, buru-buru aku meminta maaf. Pandanganku kuedarkan ke seluruh penjuru arah mata angin, mengharapkan sosok yang kucari segera kutemukan.

Akhirnya panggilanku terangkat, jantungku serasa berdebar, mimpi itu benar-benar nyata, “Aku baru saja salat, sekarang menunggu saudara-saudaraku yang masih salat di masjid, Kak!” beritanya.

Napasku berembus lega. Aku memberitahukan keberadanku, di loket pembelian Tiket Domestik. Panggilan terputus, akhirnya aku duduk menunggunya.

Mata ini  terus memerhatikan hiruk-pikuk jalanan, aku ingin diriku yang menemukannya, bukan ia yang menemukan diriku lebih dulu. Kuperhatikan story whatsapp-nya, ia mengenakan jilbab abu dan baju kuning, maka seluruh pengunjung Candi Borobudur yang memakai baju kuning kuperhatikan baik-baik, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku menemukan satu mangsa. Ia tinggi, kulitnya sangat putih, pandangannya dibungkus lensa kaca mata. Kupikir itu bukan dirinya, setahuku ia jarang upload foto menggunakan kaca mata. Aku salah orang, pasti bukan dirinya. Ada lagi orang yang mengenakan kaos kuning, ia tak berjilbab, tak menggunakan kaca mata, memakai celana jins ketat dengan sepatu pantopel, kuyakin itu pun bukan dirinya, aku tidak percaya jika Farrah mengurai rambutnya. Setahuku ia sering mengenakan jilbab tipis.

“Kak, sebentar ya, aku antri dulu, aku sudah melihatmu.” Pesan baru datang.

Aku sedikit kecewa karena gagal menemukan dirinya lebih awal. Ia mengantre membeli tiket. Benar seperti yang kulihat di foto story WA-nya, Ia memakai jilbab abu-abu dan baju kuning, dipadukan dengan celana jins hitam. Aku sempat tersenyum tipis melihat ranselnya yang dibungkus mantel tas hujannya, awan Cirrus dan Altocumulus berarak memang, namun tidak mendatangkan medung apalagi hujan.

Dua sepupunya ikut serta, satu bibinya seolah menjadi pengawal perjalanan. Mereka berempat duduk berjam-jam di kereta api, menikmati pemandangan hijau dari hutan dan sawah yang dibelah rel kereta api demi singgah ke kota asing ini. Memangkah mereka merencakananya? Atau ini hanya keinginan Farrah untuk pergi ke Magelang?

“Sebenarnya aku yang ingin ke Candi, tujuan saudara-saudaraku hanya ke Jogja saja,” terus terang Farrah.

Beberapa detik aku sempat cangung, namun lambat laun kami berdua mengobrol apa saja, sekenanya di otak.

Sebelum naik ke candi mata kami dimanjakan oleh taman laba-laba.  Laba-aba yang terbuat dari sterofom kemudian dicat kuning  itu disebar di atas permukaan tanaman penghias jalan.  Terkadang kami di barisan pertama, kadang pula kami di belakang punggung saudara-saudaranya. Aku belum sempat menanyakan nama mereka, dengan alasan klasik, malu. Sesekali mereka berpose untuk mengabadikan momen. Aku melenguh panjang menatap tangga yang tinggi sebelum tiba ke Candi Borobudur. Udara panas, peluh pengunjung bercucuran, peluhku apalagi. Farrah mengkhawatirkan bedaknya yang luntur. Lantas aku menggelengkan kepala. Dalam imajinasiku sebelum bertemu dengannya, kupikir Farrah bukan orang yang suka dengan kosmetik, rupanya aku salah, bibirnya dilapisi lipstik merah, wajahnya ditaburi bedak, beberapa jerawat sedikit menonjol di permukaan kulitnya, begitupun ia tetap cantik dan ia lebih tinggi dariku.

Kami berpegangan tangan saat mendaki tangga dan naik ke Candi Borobudur, saling bantu menarik tubuh, atau lebih tepatnya aku yang menyandarkan sedikit beban tubuhku kepadanya. Hari itu seharusnya melelahkan, tapi aku tak merasakannya.

“Kemarin habis sakit ya, Kak? Sesak?” tanyanya.

“Tidak apa-apa.”

Itu adalah kalimat yang paling tidak kusukai. Siapa pun yang menanyakannya. Ah, tapi terkadang aku harus berterus terang jika ada tanggungjawab yang terkendala karenanya.

***

 

Tibalah kami di puncak candi, beberapa petugas keamanan candi berjaga, mata mereka was-was jika-jika ada pengunjung yang menduduki tubuh stupa atau badan candi. Beruntung hari itu tidak begitu ramai, meskipun Farrah sempat mengeluh mengapa tempatnya sangat ramai. Dulu aku pernah datang di hari Raya Waisak, ramainya tak tanggung-tanggung, seolah-olah setiap inchi tubuh candi dikerubungi dengan semut, berjalan menuruni tangga pun harus mengantre beberapa menit, atau jika tidak ancamannya akan terinjak kaki turis dan terdesak pengunjung yang berbadan gemuk.

Yang mengamati relief candi lebih sedikit, kebanyakan mereka memanfaatkan pesona cantik alam sekitanya untuk mengabadikan momen, ketimbang menelusuri sejarah berdirinya Candi Borobudur. Bahkan ketika speker Operator berdengung nyaring memberitahukan akan ada pemutara film tentang Candi Borobudur, tak kudengar bisikan orang-orang yang tertarik menyaksikannya. Mereka lebih asyik bergaya di depan ponsel canggih masing-masing, tak jauh berbeda dengan Farrah dan saudara-saudaranya, aku bahkan sempat menjadi fotografer untuk mereka. Kutafsir mereka sedikit sungkan dengan keberadaanku, beberapa menit aku memutuskan sedikit menjauh dari mereka agar mereka puas selfie dengan gaya mereka masing-masing.

Farrah sempat mengajakku foto, tapi aku menolak, aku bukan orang yang suka dengan foto diri sendiri, aku lebih tertarik memfoto alam, atau tragedi-tragedi pinggiran jalan. Yang kuperhatikan bukan sosok tubuh manusia, melainkan lebih dari itu. Jika pun berkenan difoto, maka hasil karyaku yang kugendong di tas punggungku, bukan wajahku.

Di dunia ini tidak ada yang abadi, seperti pertemuan kami berdua yang dipisahkan oleh jarak dan waktu. Mereka mengeluh panas dan haus, bertanya-tanya mengapa tak ada yang menjual minuman di lokasi candi, menyesal karena tak membawa minum sebelum naik ke candi. Aku menawarkan mereka semua untuk mampir ke rumahku yang berjarak kurang lebih 30  menit dari sana, sayangnya mereka menolak, padahal aku sampai memohon. Sebenarnya mereka hampir menerima tawaranku, sayangnya Sopir Grab sudah mereka boking dari awal sampai akhir. Risikonya biaya akan bertambah jika jarak semakin jauh. Aku sempat ngotot dan sangat memohon kepada bibinya Farrah, namun hasilnya tetap nihil. Lain dengan Farrah yang mendadak berkata, “bagaimana jika aku saja yang ke sana, kalian di sini, nanti aku ke Jogjanya naik Grab sendiri.”

Saudara-saudaranya memasang wajah tidak setuju, dengan kalimat Bahasa Sunda yang belum kumengerti, begitupun dengan bibinya, ia sempat protes dengan Bahasa Sunda dan logat mereka yang khas, aku tak tahu apa kalimatnya tapi aku memahami maknanya, ‘kau yang mengajak kami ke sini, masak kami akan ditinggal pergi?’ akhirnya aku mengalah dan tak melanjutkan permohonan proposalku untuk mengajak mereka main ke tempatku. Sebenarnya aku hanya merasa iba karena mereka haus dan kepanasan.

Matahari belum tenggelam, tapi kami sudah turun dari badan candi. Farrah dan saudaranya sempat memborong beberapa kaos dan baju untuk oleh-oleh orang rumah.

Aku dan Farrah berpisah di pintu keluar Candi Borobudur.

Kami tak sempat melambaikan tangan, Farrah dan saudaranya buru-buru menghampiri sopir Grabnya, mereka telah terlambat satu jam lebih dari perjanjian.

Aku sibuk mencari lokasi parkir sepeda motorku, penyakit lupaku kambuh, bukan hanya itu saja, kakiku mendadak susah kuangkat, linu dan terasa sangat sakit, itu pertanda aku sudah sangat kelelahan, aku sempat membungkukkan tubuh, menumpukan tanganku di lutut, menetralisir detak jantung dan pandanganku, kepalaku terasa berat, sementara aku sendirian. Apa pun yang terjadi aku bangga dan bahagia karena bisa bertemu dengan sahabat literasiku.

Dalam perjalanan pulang aku salah belok, tersesatlah sudah, jalannya berliku dan aku tak tahu arah. Rasanya ingin menangis dan meminta jemput kekasihku, tapi aku tak mau merepotkannya yang sudah menungguku di rumah.

Ah, tak mengapa, setidaknya semuanya diawali dengan hal yang indah.

Aku ingin mengucapkan sebuah kalimat dengan langsung kepada Farrah,  sayangnya aku lupa, biarlah ia abadi di catatan ini.

“Dek, hutangmu sudah lunas!”

Janjimu yang ingin mendatangiku kujadikan sebagai hutang selama ini, dan kau telah melunasinya.

Magelang, Akhir Desember 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis