Lapak-lapak Paren
Maret 2019, aroma tanah bercampur reruntuhan air hujan
masih menguar ke lubang-lubang hidung, pagi dan petang tak pernah memiliki
perbedaan, kedua-duanya dipenuhi kabut. Mendung dan ribuan titik-titik embun di
pegunungan menjadi kawan akrab masyarakat. Gigil sebelum fajar mengintip
menjadi penyempurna mata mengatup. Tidak hanya bocah, tapi orangtua pun enggan
bangkit menyingkap selimut.
Pagi ini saya menyaksikan hawa asing yang menyelinap di
halaman masjid, pedagang sayur keliling datang terlambat, ibu-ibu yang biasanya
berebut sayur tak terdengar kasak-kusuk suaranya. Anak-anak sekolah dasar yang
melintas hanya ada satu, barangkali yang lain masih bersembunyi di balik
selimut atau justru antre kamar mandi. Sementara Batavia Convection’s belum disesaki para penjahit.
Hening, mendung membuat suasana dusun berkabung.
Kucing-kucing meringkuk kedinginan di sisi tungku, atau di sela-sela bilik
rumah. Ayam lelah membangunkan aktivitas warga. Sebagian telah menyandang
cangkul ke ladang, ibu-ibu menumbuk singkong, sementara lidi-lidi masih ragu
menampilkan aktrasinya, halaman rumah dipenuhi dedaunan kering yang dibawa
angin dari pegunungan. Saya
sempat berasumsi dusun ini akan dilanda sepi beberapa waktu, rupanya saya
salah. Di beberapa sudut-sudut, ibu-ibu setengah renta berbaris antre menunggu
giliran.
Ibu-ibu,
selanjutnya kita sebut Emak-emak agar
ramah di telinga Anda, sedang berbelanja di beberapa titik warung, pedagang
sayur keliling terlambat datang, mereka mencari solusi dengan membeli dagangan
lokal. Sayuran yang diangkut dari pasar oleh pemilik warung, menjadi bahan
rebutan Emak-emak, kebanyakan yang
dijual adalah sawi, kacang, bayam, kobis, terong, dan mbayung (daun kacang panjang), ditinjau dari harganya yang murah,
tak ada yang lebih menarik perhatian selain sayuran-sayuran tersebut. Sebab
jika mahal, tak seorang pun berkeinginan untuk meminang. Mayoritas warung
menyediakan sayuran dengan jenis dan harga yang sama, jika pun selisih tak
lebih dari angka 500 rupiah, itu pun jarang. Pedagang warung kelontong di Paren tak mengambil banyak keuntungan, mereka
sadar taraf penghasilan penduduk belum sepadan dengan pegawai-pegawai luar
kota.
![]() |
pixabay.com |
Saya berasumsi, di
meja makan orang-orang Paren menu sayur yang dihidangkan semuanya sama, jika
pun berbeda maka hanya pengolahannya saja, bukankah mereka warga yang kompak?
Bagaimana dengan penduduk di desa Anda?
Uniknya, lauk yang disediakan pun jarang ada ikan segar, warung menjual
ikan asin dengan kualitas rendah, dalam arti harganya dicari yang paling
minimum.
Jika pun ada yang menjual buah, tak ada yang mengecer
anggur, markisah, durian, nanas, manggis, dan buah-buah mahal lainnya, buah
yang diedarkan adalah buah-buah murah, jeruk, salak, mentimun, apel
mungil-mungil, bukan apel merah, dan rambutan serta duku pada musimnya. Ironi,
namun hal itu menjadi salah satu latar belakang terlahirnya anak-anak yang
tumbuh sederhana dan mau menerima apa adanya. Tidak banyak protes dengan
celoteh-celoteh mengerikan, sabar dan berusaha menghargai setiap butiran beras
yang ada di meja makan masing-masing, karena tak ada yang mampu membayar jerih
payah perjuangan kedua orangtua dalam mencari kecukupan.
Ada empat
warung kelontong bersejarah, yaitu
warung-warung yang telah memiliki ciri khas dan identitasnya sendiri-sendiri,
telah berdiri dalam kurun waktu cukup lama, salah satunya milik Mbok Kopip, seorang wanita paruh baya
dengan senyum khas yang akan menampilkan deretan giginya, bertubuh tak langsing
alias gempal, rona wajahnya orang kampung tulen,
memiliki suara merdu dan lembut hingga apa yang dikeluarkannya selalu dapat
memberi pengaruh pada pembeli, dengan kata lain, Mbok Kopip memiliki karakter berbeda dengan pedagang kelontong
lainnya, ia orang yang bersemangat, geraknya saat melayani pembeli kalem.
Ciri khasnya, pembeli akan diajak berkomunikasi apa saja, melalui sudut
pandang pribadinya. Ia pengemas cerita apik
di waktu pagi, siang dan malam hari, meski terkadang yang dibicarakan adalah
salah satu pembelinya.
Kedua warungnya Mbak
Sofi, sama-sama bertubuh gempal, sering mengikat rambut sebahunya, hobi
memakai baju longgar, gerak-gerik tubuhnya saat melayani pedagang lebih lembut
dari Mbok Kopip, frekuensi nada
bicaranya tak terlalu berbeda, senyumnya sedikit tipis, mengenai pelayanan pada
pembeli sebenarnya sama-sama memuaskan, meskipun terkadang harus menunggu
sedikit lama karena ia sedang memasak di dapur. Perbedaan signifikannya, Mbak Sofi sering menjual gorengan, lotek, jenang, bubur, dan apa
saja yang bisa diolah dengan harga miring, sementara Mbok Kopip tidak, jika pun ada, itu tak sesering Mbak Sofi.
Selanjutnya, Mbok
Soli, Emak-emak yang satu ini
cekatan, langkahnya selalu tampak terburu-buru meskipun pada dasarnya ia tidak
terburu-buru, hanya tak ingin pembelinya menunggu terlalu lama, ia sering
menutup rambutnya dengan jilbab seadanya, kadang sapu tangan diikat sekenanya,
suaranya lembut namun iramanya cepat, bahasa yang diucap halus. Warungnya lebih
lengkap, selain jenis sayuran, beras, minyak goreng, buah, jajanan lima
ratusan, rokok, bensin, dan sabun-sabun, ada juga alat dapur panci serta wajan.
Bisa dikatakan pusat terlengkap lapak
ekonomi yang ada di Paren. Keunggulan dari warung Mbok Soli adalah, ia menyediakan bel, pembeli pun tak perlu
memanggil dengan suara lantang penguras otot-otot leher. Bagi orang-orang tidak
sabaran dan tidak suka berteriak-teriak seperti saya, warung Mbok Soli merupakan tempat belanja
idaman.
Pagi ini, Emak-emak
telah berbaris rapi di depan warung Mbok
Soli, saya menyela di tengah-tengah, menengok ke kanan dan ke kiri, sedikit
heran dengan ketiga Emak-emak tetangga saya yang tak kunjung memencet bel,
lantas salah satu dari mereka masuk melewati pintu depan.
“Mbok Solinya belum ke
luar?” saya berbasa-basi.
“Iya, Mbak.
Belnya mati.”
Ealah, jika sudah seperti
ini masalahnya, warung Mbak Soli tak
memiliki perbedaan menonjol. Jangan khawatir, bel yang mati akan segera
diperbaiki.
Ada lagi, warungnya para bocah-bocah, pembelinya lebih
sering anak-anak TPQ dan remaja lelaki Paren, tempatnya agak menengah, sedikit
jauh dari jalan utama, pemiliknya masih muda, ia pekerja keras, sering mencoba
usaha-usaha dagang, pernah jualan ayam geprek, jadi juragan sayur, penjual lentheng merangkap menjadi pedagang
satai. Saya dan penduduk di sini memanggilnya Mas Imam. Lelaki beranak satu ini tak terlalu banyak bicara, ia
mengeluarkan kalimat secukupnya, tidak boros dan jarang bertele-tele, jika pun bercanda sewajarnya saja. Warung ini menjual
aneka pop ice siap saji dan jus murah
yang tidak ada di warung lain.
Keempat warung tersebut sama-sama menjual sayuran dan
makanan ringan, perbedaan lainnya, di Mbok Kopip, Mbok Soli, dan Mas Imam ada
bensin, Mbok Sofi tidak. Di Mbok Kopip, Mas Imam, Mbok Sofi ada Gas LPG, di
Mbok Soli tidak ada. Semuanya ada kurang lebihnya, seperti sikap manusia, tak
ada yang sempurna karena Allah menginginkan manusia saling bahu-membahu dan
berinteraksi dalam menjalani sebuah kehidupan.
Ada pun warung yang baru seumur jagung, miliknya Mbak Jumini, warung ini tidak
menyediakan sayuran, lebih fokus ke jajanan anak-anak dan gorengan.
Warung mereka merupakan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, warga tidak perlu
jauh-jauh melangkahkan kakinya menuju pasar untuk belanja kebutuhan
sehari-hari, sementara penjualnya mendapatkan keuntungan.
Hening yang diciptakan mendung pada musim penghujan tak
akan menjadi penghalang tangan Emak-emak
meracik bumbu untuk menyiapkan sarapan orang-orang terkasih di rumah
masing-masing. Itulah sebabnya tempat ini selalu ramai, sesak dengan
cinta-cinta yang tak mampu terkasap mata. Asap-asap tungku mengepul di
permukaan genting-genting penduduk, gas LPG belum terlalu banyak digunakan,
bukan karena mereka tak punya, namun katerbatasan gas yang dipasarkan oleh
pemerintah membuat warga kembali ke zaman nenek moyang, toh alam masih menyediakan banyak bahan bakar.
Kaliangkrik, 19 Maret 2019.
Komentar
Posting Komentar