Kota Kunang-Kunang


Sebuah kota tertanamnya rindu-rindu tak berkesudahan, di sana pula lumut-lumut tumbuh subur melingkupi ribuan organisme tak kasap mata. Tempat teduh dipayungi ribuan daun gugur pada musim kering, tempat berpuasanya ulat-ulat sebelum diterbangkan keindahan. Ia merupakan kota dengan lengkung pertiwi murni, sungai berkelok-kelok, bebatuan cadas pengatur arus. Ketika musim berembun, pagi buta tepat saat sinar matahari menyepuh pegunungan di balik kota itu anak-anak tanpa alas kaki, lari maraton menanjaki jalanan tinggi, membiak ilalang dan rimbunan gulma liar, berburu tanaman pecinta kematian, ia lahir dalam gelap, di atas gundukan tanah, bisa juga di sela-sela ketiak reranting, kadang malu-malu di antara akar-akar pohon purba.

pixabay.com


Yang wajib diketahui isi otak manusia, isi seluruh ruh alam raya, dan yang tak boleh terlenakan dari pandangan matamu, ketika malam, seusai kabut menyapu pandang, ketika embun mencucup sel-sel kulit, melubangi pori-pori hingga tubuh padi-padi menggigil, puluhan cahaya berterbangan, seperti bintang yang baru saja lahir dari dalam bumi. Mereka, kunang-kunang, pada semak belukar, di rimbunan daun-daun sebentuk jarum, berlapis-lapis embun, bahkan sesekali di seberang sungai-sungai liliput yang kotor, penuh cacing, tempat bersembunyi belalang, bermakamnya bakteri, mereka, ya mereka, berkerumun menghiasi seram, bekerja sama menyapu aura-aura jahat ketika malam, ingat, setelah langit berembun, sebelum gigil mungkur.

Malam penuh kunang-kunang, adalah malam penuh cinta bagi kelompok serangga mungil tersebut. Jantan akan mengedipkan cahaya genit untuk mencari jodoh-jodoh di pematang sawah, di pinggiran sungai  Loning yang gelap, bisa juga di ubun-ubun rumah penduduk yang sedang lelap.

Seringkali ketika malam membuka jubah hitamnya, menghiasi dengan titik-titik cahaya gumintang, seorang wanita muda menghitung jumlah nyawa mereka, lalu dengan aneh menyudutkan kedua daging tak bertulang. Ia bereuforia atas musibah yang baru sirna dengan menatap pernak-pernik cahaya kunang-kunang, lentera sederhana yang tak dapat dirakit akal manusia tersebut merupakan penawar bagi jiwanya yang teracun. Bisa jadi tersebab kabut-kabut tak kasap, penggiring aura jahat, membuat bulu-bulu roma menegak, pengundang peluk-peluk di punggung kekasih.

Ah wanita itu, menggerak-gerakkan jemari mungilnya yang dilingkari cincin bermahkota matahari, bibirnya mendesiskan bilangan angka dari nomor satu sampai selesai. Matanya amat teliti, menelusuri semak belukar yang berimba, dengan sorotnya ia menyibak gulma-gulma, menangkas tumbuhan berspora, membelah daun-daun pisang, memanjat ruas-ruas batang pohon kelapa, terbang di atas permukaan air sungai Loning, pun duduk termenung di atas bebatuan cadas, menanti kunang jantan mengecup keningnya.

Tak ada yang mampu menandingi kejelian mata bulatnya, pemilik kornea cokelat. Orang kata ia memakai lensa, beberapa jatuh hati padanya karena takjub dengan sinar matanya. Tajam, menyimpan kandungan cerita-cerita yang tak bisa dijabarkan pada garis fatamorgana. Gadis itu, gemas, ia ingin lari menginjak padi-padi, menangkap satu persatu kunang-kunang, lalu mengajaknya pulang, membuatkannya kandang. Bolehkah ia ciptakan hutan di dalam toples?

Oh, kunang-kunang, maukah kau hidup denganku?”

Seolah dirinya tak berpangeran.

Kenapa harus kunang-kunang yang terekam dalam benaknya? Tentu saja, ia akan menghapal serangga bersayap yang kedinginan itu, kau tahu sebabnya? Sebab puluhan kunang-kunang menjadi petunjuk arahnya kembali ke persinggahan, ia menemukan jalan, beralasan pulang, menyapa wajah penuh kerut-kerutan, mengecup punggung tangan ibu, menciumi aroma rami yang diurai, dan mendengar tumbukan-tumbukan alu di lubang lumpang. Kunang-kunang seolah ingin menyinari kulit-kulit penduduk yang busik karena seharian bekerja, mengabdi pada sawah, mencari singkong, berdagang, pun pembuat lentheng.

Lelah-lelah mereka diangkut pergi oleh kunang-kunang, diajak berlari meskipun memaksa tinggal, pada bohlam kunang yang meredup wanita muda mengumpamakan kehidupan penduduk.

Pesona alam yang paling unik, yang tak ia jumpai di trotoar kota metropolitan, di trotoar alun-alun, di mall-mall besar, di pasar-pasar, tak ada, jarang ada, bahkan di kampung lain belum tentu akan ada puluhan kunang-kunang menyerbu malam, bukan hanya di kampung ini, sebuah kampung yang dianggap menjadi kota kunang-kunang oleh gadis itu, bisa juga di kampung-kampung pelosok lain, di perbatasan gunung, di penjuru hutan rimba, masih banyak keluarga kunang-kunang yang tak sempat berurbanisasi setelah memangsa tubuh kekasihnya.

Demi cinta kunang jantan wajib menyuguhkan jasadnya hidup-hidup sebagai makanan bagi sang betina supaya memiliki kekuatan untuk menjaga benih anak mereka yang telah ditanam tubuh kunang betina. Sekali lagi cinta tak butuh perngorbanan, ia hanya merelakan sesuatu yang mungkin.

“Ada empat puluh kunang-kunang,” wanita itu berteriak, ia membenarkan letak kerudungnya yang diembus angin malam dan dicolek kabut-kabut embun. Senyumnya mendadak berubah menjadi tawa kemenangan yang entah, jemarinya reflek menepuk bahu kekasihnya yang setahun lalu mengabadikan namanya di kantor urusan agama.

Mula-mula kekasihnya hanya menggumam, merutuki kekanak-kanakannya, terkadang hanya tersenyum sinis. Lalu pada hari-hari berikutnya sang wanita senantiasa menghitung kunang-kunang yang berterbangan di udara, tak pernah alfa ia mencermati lekuk-lekuk tubuh persawahan dan seputar sungai Loning, ia bahkan tak peduli dengan langkah belakang yang gelap dan muram, lorong-lorong cahaya tak terbentuk, sebab tiada penerang jalan, ia sendiri tak merasa ciut, selama pernak-pernik kunang bertebaran.

“Hari ini hanya ada tiga puluh kunang-kunang jomblo,” teriak wanita itu sedikit mengajak angin bergurau, sebab kekasihnya masih belum menanggapi kecuali dengan deheman ringan. “Hei coba perhatikan itu,” ia menunjuk pematang sawah, di sebelahnya padi-padi merunduk siap di panen, daunnya terlihat hitam karena hijaunya dibasuh warna malam. Cahaya bulan jatuh pada permukaan tubuh mereka. Indah. Bola matanya tak berkedip.

“Kenapa kau tak jatuh hati pada mereka, Sayang? Bukankah mereka menakjubkan?”

“Hanya sebuah kunang-kunang bukan? Waktu kecil aku sudah bosan bergerumul dengan mereka!”

Oh ya, kau perlu mencatat sebuah sejarah, ketika kaki-kaki mungil merayap, mereka-merekalah pemilik hidup yang belum mengenal miras, narkoba, bahkan senyum kasih, ketika adzan isyak usai, beberapa anak kecil berlarian menuju sawah yang paling dekat dengan kampung, mereka siapkan logistik untuk memburu kunang-kunang, ada yang membawa plastik, ada pula yang membawa toples bekas sosis so nice yang plastiknya sudah dikelupas. Anak-anak melompat-lompat, berusaha menangkap kunang-kunang yang mengepakkan sayapnya manja, cahayanya yang kehijau-hijauan dan kemerah-merahan atau kekuning-kuningan sangat menggoda mata belia. Ketika sudah merasa lelah, mereka pulang, mengangkut cahaya dari dalam toplesnya, wajahnya riang kepalang meski serangga itu tampak malang, lambat laun cahaya pun redup.

Kisah kekasih.

Seekor kunang-kunang membawa pikiran menjelajahi alam bawah sadar masa kanak-kanak, waktu yang penuh dengan kebersamaan bersama rekan-rekan kampung. Ketika esok mereka meninggalkan kunang-kunang mereka di rumah, sementara mereka lari menuju lahan lapang atau dataran tinggi demi memamerkan ekor-ekor layangan. Langit kepala sembilan puluhan sering dihiasi dengan liuk-liuk ekor layang yang berwarna-warni pun beraneka rupa, layangan menyerupai ikan bermata besar yang ekornya bisa mencapai dua meter, bagi mereka yang kreatif mereka ciptakan layangan burung garuda dengan ekor pendek berjumlah empat. Ah, masa itu penuh dengan emosi yang tiada guna, saling sangkut-sangkutan hendak menumbangkan lawan di angkasa, bagi mereka siapa pun yang berhasil menggulingkan layangan orang lain dianggap sebagai pahlawan. Namun kini, tak ada ekor yang menggeliat di tubuh langit lagi.

Kunang-kunang merupakan perekam jejak.

Jika hujan sedang bergemuruh, membuat tubuh mereka dipeluk gigil-gigil, mereka akan sibuk bermain tembak-tembakan dengan kertas dan bambu di pelataran masjid, berlari-larian kecil, tertawa renyah tanpa dosa, tak peduli orang dewasa sedang belajar khusuk melantunkan doa, mereka diberi label pengganggu namun tak pernah menyimpan dendam. Mereka berlagak menjadi tentara Indonesia yang sedang melawan penjajah Belanda dan Jepang.

“Dulu, kunang-kunang di tempat ini masih sangat banyak, jika malam datang, bukan hanya puluhan yang beterbangan, melainkan bisa ratusan.”

Wanita itu terkagum-kagum.

“Sungguh? Lalu kenapa sekarang berkurang?”

Rumpun cahaya kunang-kunang yang berimbun adalah bukti sungai dipenuhi dengan ikan-ikan, dahulu sewaktu kekasih masih kecil, langkahnya tak berat dituntun ke sungai, berenang-renang sampai adzan maghrib, tak jarang pulang memancing ikan-ikan kali untuk dijadikan sahabat makan. Ikan-ikan masih seperti gulma, tumbuh subur dan bertebaran di mana-mana, di sela-sela batu, di bawah lumpur, bahkan terlihat transparan sedang mencari planton-planton. Seiring kepergian kunang-kunang, kekasih dan kawan-kawan kecil sudah jarang memburu ikan-ikan, bukan beralasan mereka malas, umur telah mengajak mereka berkenalan dengan perkotaan dan dunia asing, sungai menjadi masa purba, ikan-ikan pergi entah ke mana, mereka punah, padahal pemancing semakin banyak. Kunang-kunang pergi tanpa pamit, mungkin mengajak rombongan ikan.

 Kampung mendadak sepi dari teriakan bocah-bocah yang melompat dari bebatuan cadas. Tertinggal para maniak pancing yang duduk-duduk termenung, menanti ikan mungil menyantap umpan, sampai adzan isyak berkumandang mereka tetap setia menunggu, bahkan sampai subuh menjadi angin lalu.

Mereka tak tidur, juga tak mengunjungi istri-istri mereka di pembaringan. Mereka meninggalkan yang memiliki harga, demi menunggu kepulangan ikan-ikan yang berurbanisasi, entah ke sungai mana. Batu-batu yang diambil anak adam, pepohonan yang dikurangi rimbunnya, menyisakan beberapa pohon kelapa dan beberapa pohon sengon berumur ranum, membuat ekosistem ikan-ikan bosan, bisa jadi mereka mencari sungai-sungai yang masih tertutup lengkung-lengkung dahan pohon besar. Di manakah?

Ia menghitung perhari membandingkannya setiap waktu dengan jumlah lalu. Terkadang seimbang, terkadang lebih sedikit bahkan tidak terlihat sama sekali. Mungkinkah sayap dingin mereka telah berguguran, sehingga tak mampu menopang tubuh lagi? Atau mungkinkah kunang-kunang tak lagi ingin bercinta?

“Bebatuan kali sudah berkurang, bisa jadi itu membuat sarang-sarang mereka terkoyak, pohon pisang pun tak serungkut dahulu,”

“Mereka tinggal di pematang sawah, di semak-semak, bukan di sungai!”

“Di semak-semak dekat sungai, intinya bukan di tempat yang bersih dari rerumputan dan terang,”

“Tak ada lampu jalan, bagaimana kau menerjemahkan kata terang?”

“Alam sedikit cidera karena bebatuan kali diambili manusia, sawah-sawah sudah tak serimbun dan senatural zaman nenek moyang, bahkan bisa jadi hilangnya ekor layang-layang berpengaruh pada kepakan kunang-kunang.”

Wanita itu memeluk tubuh kekasihnya. Sepanjang sore, seusai senja membuat awan seperti bara api di pawon penduduk, mereka melakukan perjalanan pulang menuju kampung halaman. Mereka mengendarai sekuter mungil yang umurnya renta.

Ia merasa bahagia karena sang kekasih mulai merespon pembicaraannya mengenai kunang-kunang. Ia tak lagi berbicara dengan angin.

Pada suatu malam, ketika langit mengedip-ngedipkan cahaya bintang-bintang, kekasih mematikan lampu sekuternya, membiarkan wanita itu menikmati cahaya-cahaya yang berkelip di persawahan dan pinggiran sungai kali Loning, ia amat bahagia, maka sekali lagi pelukannya dipererat lebih erat. Udara lembab mengantarkan dingin ke tempat pembaringan. Daun-daun kayu mahoni berguguran, sementara daun pakis digoyangkan angin malam. Suara serangga malam yang bersembunyi di semak-semak mulai bersiul-siul. Begitu pun waktu terasa hening dan sepi. Sesepi jiwa mereka yang sedang dimekari dengan cinta.

Kampung yang penuh dengan kunang-kunang meski mulai punah itu, kini disebut oleh sang gadis sebagai kota kunang-kunang, sebuah tempat yang dirindu dan tak pernah ingin ditinggalkan, ia semayamkan jiwa dan raganya untuk mengabdi kepada cinta dan kesetiaan di tempat itu. Ia simpan rapat-rapat memori tentang perempuan-perempuan berselendang yang menumbuk singkong-singkong dalam pernik cahaya kunang-kunang.

 Selama padi-padi masih berusaha dirundukkan maka kunang-kunang akan tetap ada, meskipun anak-anak kecil tak lagi menggoda kecantikannya, kunang-kunang masih setia berhamburan di sana, sebab ia tak akan membiarkan kesetiaannya kepada kampung direbut oleh alam luar; alam penuh dengan godaan pergaulan bebas. Ah, semoga sampai kelak, kota ini selalu menjadi tempat ternyaman bagi generasi kunang-kunang. Paren, di sudut perbatasan.

 

 

                          Magelang, 23 Mei 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Autis