Atap
Di bawahnya bibir gemulai
menyebut nama Tuhan. Segenap resah bergabung dengan keluh tertumpu di pusarnya.
Merana dimuntahkan keseluruhan. Bimbang dihancurkan. Kebahagiaan juga harapan
dilayangkan. Wajah-wajah mendongak, atau tertunduk memangku dosa yang hendak
disingkirkan. Terkadang sampai meintih, meremas dada. Jarang meskipun ada yang
bersujud penuh rasa syukur dengan batin berbunga-bunga. Mata yang ingin
melenyapkan pemandangan dilototkan bagi mereka yang kalbunya ditumbuhi
sahajanya cinta.
Di
bawahnya, kalimat arab terdendangkan. Muadzin
melengking memanggil-manggil nama-Nya. Damai, alam tentram. Pedagang acuh,
masih sibuk menghitung untung, pekerja kantoran tak mau tahu, justru memoles
layar di ponsel canggihnya, mengharap ada pesan dari orang-orang yang menduduki
kursi nomor satu di hidupnya. Anak sekolah SD hilir-mudik berebut angkutan
umum, tingkat di atasnya menguap di dalam kelas. Lupa. Semuanya tak berniat
melupakan, namun dunia membutakan.
![]() |
pixabay.com |
Petani
mengibaskan peluh, melangkah meninggalkan sawah. Beberapa renta duduk di dalam
naungannya. Atap musola. Meluncurkan doa keselamatan di akhir zaman. Meminta
rizki dilapangkan. Memohon cucu dan anak-anak diberi kebahagiaan. Lantas merayu
Tuhan, abadi hidup di dalam surga yang selalu diceritakan penuh keindahan. Di
bawah naungan atap-Nya, sajadah dilembar. Ia memotret beberapa ruh bersujud
kepada pencipta.
Coba
kau lempar pada dunia yang lain. Wajah semringah entah sadar atau tidak. Sama,
mereka memendam keluh kesah juga resah. Bibir melantunkan syair dunia. Pinggul
dilenggokkan. Tangan melambai ke atas. Sesekali tubuh meloncat kesurupan. Bibir
dengan cat merah tajam. Eyeshadow
memekarkan pandangan mata, coba menggoda kumbang. Pipi bersih merona mengundang
cinta. Rambut digoyang-goyangkan. Kain tipis yang membungkus nafsu dengan
percuma.
Maka
mereka yang tampan, duduk di pinggiran meja bar, menenggak anggur, menghapus
kenangan pedih, jika ada yang pedih. Tenggakan pertama hendak menelan luka,
tenggakan ke dua menumbuhkan suka, tenggakan ke tiga justru sesal berkembang
liar, maka persetan dengan perasaan ia pun lompat, ikut berpesta di lantai
dansa. Oh ralat! Bukan! Bukan lantai
dansa, lantai maksiat!
Alunan
musik diskotik menentramkan jiwa mereka yang digelapkan persoalan. Mereka tak
pernah mau memperdulikan bahwasannya atap yang menaunginya hendak menjerit,
melolong di tengah malam, menangis penuh duka. ‘Mengapa, mengapa aku digunakan untuk pelampiasan nafsu?’ Di ujung
kamar anggur, bersembunyi dua pasangan memagut kasih, berciuman bibir!
Atap,
terisak hendak mengubur mereka hidup-hidup. Ia berdoa semoga tubuhnya hancur
oleh listrik yang konslet seperti nasib kawan-kawannya. Sayang, Tuhan tak
merestui. Ia dibiarkan hidup pada malam yang memuakkan. Atapnya memang indah,
dihiasi pernik lampu warna-warni, blitz
juga menggantung di atasnya, namun tetap saja, ia tak menyukainya! Yang ia
harapkan, jika tubuhnya yang datar memiliki ruh, ia hendak luruh menimbun
manusia-manusia tersebut.
Lirik ruangan yang tenang itu,
Kawan! Pada plafon putih tak terhiasi apa pun. Terduduk puluhan anak manusia.
Tangan memangku di meja, ada juga yang menyandarkan kepala di atasnya. Tak
sedikit yang menunduk, memeriksa layar ponselnya, adakah pesan dari kekasih
cinta monyetnya? Sedikit yang mendengarkan penjelasan manusia setengah renta di
depan papan tulis. Atap menaungi mereka dari hujan yang dingin. Menghalangi
panas mentari mencumbu tubuh mereka langsung. Ia adalah makhluk pencemburu, tak
rela jikalau ruh yang menghidupkan raganya menderita. Maka, jika ada salah satu
permukaan atap yang bocor, sedihlah semua penghuni. Mengumpat! Buru-buru
memberinya obat dengan memanggilkan tukang. Ia berterimakasih, maka ia berjanji
tidak akan menyengsarakan ruh-ruhnya. Entah mengapa, saat melihat puluhan
bahkan jutaan nyawa di bawah naungannya bermalas-malasan di atas meja, ingin
rasanya ia melubangi tubuhnya sendiri.
Beberapa
kali ia menyaksikan di pojokan kamar mandi, pemuda merayu wanita, memberikan
setangkai mawar, berjongkok mengemis cinta, membualkan kalimat yang kau sebut
dengan penipuan kata indah. ‘Kau adalah
bidadari hidupku, wanita tercantik yang baru aku temui selama hidupku, aku
jatuh hati padamu saat pandangan pertama!’ Awan dan sahabatnya langit
terbahak, guntur menyambar tiang listrik, hujan turun, itulah yang mereka sebut
dengan kisah manis nan romantis.
Lupakah pada mereka yang setiap
malam berjalan sendirian? Entah memakai alas atau tidak. Kaki bersisik. Telapak
kering tak malu-malu menjejak di atas panasnya aspal. Peluh merintih memohon
minta dilap namun pemiliknya acuh. Pernahkan kau berpikir mereka mempunyai
atap? Di manakah atap? Seperti apakah atap? Atap yang diacuhkan orang
berpakaian rapi. Atap yang menaungi orang-orang berdasi, adalah atap yang
dimimpikan oleh mereka.
Yang
mendongakkan tangan di emperan jalan, yang memetik gitar menawarkan suara
sumbang, yang membungkuk-bungkuk sebab langkah pincang, yang tersuruk-suruk
sebab lambung kelaparan, yang menggigil
dihajar pasukan bergerilya hujan, yang seperti cacing mengkerut dibakar
sengatan matahari miliknya Tuhan! Atap! Sebuah gubuk dengan atap rumbia tak
masalah, itu akan menjadi hal yang dirindukan. Lebih baik daripada bersembunyi
di bawah terowongan jembatan.
Oh tidak!
Mulai hari itu, jembatan menjadi atap, sebab ia mampu melindungi mereka dari
hujan. Tak apa dingin masih menyerang, yang terpenting hujan tidak membasahi
kain yang tinggal sebadan. Kawan, mereka bersyukur.... Damai batinnya
mengucapkan kalimat. “Aku masih beruntung, langit menjadi atapku, bumi menjadi
tempat tinggalku!” Ke manakah mereka akan membuang keluh dan kesah? Saat
mereka, mata-mata penuh deritanya menatap musola, justru diacuhkan. Membuat
mereka buta, lantas menganggap dirinya tak pantas singgah di tempat suci!
Kawan, siapakah yang mempunyai
jati diri KESUCIAN?
“Orang di dalam gedung yang
atapnya berpuluh-puluh dan yang sangat tinggi itu sedang memikirkan kehidupan
kita, tak usahlah menangis dan bersedih, sebab suatu saat nanti kita pun akan
mempunyai atap yang sama dengan para penjabat negeri!” Anak jalanan berseru
seraya menunjuk gedung tinggi. “Kita hanya perlu berdoa.” Jika siang mereka
berdiri di perempatan. Masuk ke celah-celah pasar induk. Menerobos keramaian
penumpang di dalam bus luar kota. Berjalan bekilo-kilo meter dan hinggap ke
terminal-terminal sembarang dengan memetik gitar tuanya. Lapar. Tak dipikir bagaimana nikmatnya
berteduh dan bernyanyi di dalam atap diskotik. Ia juga lupa bagaimana rasanya
menyantap makanan di bawah atap restoran. Jangankan mengkhayalkan dapat
menonton bioskop di bawah atap gedung mewah, melihat televisi saja menjadi hal
yang menggiurkan. Mereka tentu takut memimpikan.
Yang
dapat dinikmati adalah kerlip lampu jalanan. Atap yang tersinari oleh
bintang-gumintang terpolesi senyuman rembulan sabit. Baliho, pamflet, spanduk di jalanan adalah
perabotan rumah mereka, sementara jembatan di sisi rel kereta api, terminal,
atau pasar-pasar adalah kamar pribadi mereka. Dan salah satu di antara mereka
adalah Veri juga Zen. Anak-anak yang tumbuh dewasa karena didikan alam yang
radikal.
Di sudut ini aku tertunduk layu.
Atapku menatap pilu. Ia sering mendengar lantunan bibir ibu mengucap ayat suci
Al-Quran. Melihat Ibu mengobrak-abrik isi-isi dapur membuatkan sarapan. Juga
menjadi sisi tivi bibir Ibu mengecup keningku. Cinta dirangkum di bawahnya.
Atap yang dulu putih berseri-seri kini mengusam sesuai dengan usianya yang
telah mendekati senja. Ia akan gugur. Neon yang tergantung sudah tak mampu
menyempurnakan kecerahan tubuhnya. Ia mengusap. Mungkinkah cicak yang
menodainya setiap malam? Aku juga kurang mengerti. Yang jelas, suatu malam, Ibu
naik tangga, menyalakan neon kemudian mengelap tubuhnya agar lebih bersinar. Ia
adalah saksi mata Ibuku berteriak dengan suara manis saat jago berkokok
membangunkan tubuhku. Ia juga penyimpan kenangan yang tak dapat dilupakan, pernah
aku sakit di bawahnya. Hujan di luar mengamuk alam. Angin bertiup kencang. Atap
melindungi ragaku, ia juga menyaksikan Ibu membenarkan letak selimutku malam
itu....
Kini, aku bertanya pada takdir.
“Bagaimana perjalanan Zen?” Anak muda yang tinggal menghabiskan hidupnya di
terminal. “Apakah ia mempunyai kenangan di bawah atap yang sama? Di mana Ibunya
dan Ibu mereka?”
Hanya
atap yang tahu di mana ia berada. Karena atap menaunginya. Atap, aku mohon,
tunjukkan cahaya agar aku dapat menemukan puluhan wajah anak jalanan, bukan
hanya ZEN!
02 Januari 2017.
Komentar
Posting Komentar