Catatan, Titin Widyawati
Ada kata yang tertahan, ia seperti kuncup mawar
yang siap mekar, namun terhambat karena suatu sebab. Takdir berpendapat,
kata-kata yang telah tersusun amat terlambat, untuk diucap. Tetap saja, pada
suatu masa, apa yang pernah ditanam dalam akal pikiran akan tertambat di
ingatan, lantas dengan sendirinya ia akan terucapkan seperti arus air, meski
menabrak bebatuan ia tetap mengalir.
Dahulu kita pernah berjanji, membagi perjalanan
hidup maya dalam sebuah kisah-kisah yang tertera di halaman buku. Kita
selundupkan kenangan pada lembar yang ingin disembunyikan, pernah menaruh
curiga dan kegelisahan pada denting-denting pilu saat melamunkan keinginan.
Pernah bertekad membagikan sapa, meski tujuan hanya menjadi bayangan abu-abu
saja. Kau dan aku adalah dua ruh yang terpaksa disatukan oleh kata ‘kita’.
Bahkan miris rasa kecewa ikut tersangkut dalam lembar kenangan yang terpaksa
harus dilupakan, sayang ia tak pernah terlupakan. Karenanya sampul buku waktu
kita tercat oleh berbagai warna, bahkan pernah ditintai oleh air mata. Pada
suatu masa purba pun bibir ini pernah kelu menuturkan namamu, mendadak dirimu
membuat jiwa ini kelu dengan rindu yang bertubi-tubi.
![]() |
pixabay.com |
Berlalu, dua tahun terlampui, hingga seragam putih
abumu tertanggal, kita masih menjadi ilusi dalam pandangan mata. Kemudian
kesibukan atas nama kebutuhan mengalihkan semua cerita, pada akhirnya alur yang
tersusun cidera, kita pernah menjadi dua sosok yang dipermaikan oleh lupa.
Itulah yang menjadi pemanis pertemuan kedua kita, meski badai menghantam, meski
keegoisan tak dapat dibendung, meski pemikiranku berkata aku, pemikiranmu
menunjukkan dirimu, aku dan dirimu tetap menjadi ranting dan daun yang utuh, tak
dapat terpisahkan, sekalipun ia berguguran.
Pada musim dan tahun yang berbeda, ketika bulan
baru saja terlahir, menguap dari kehidupan yang baru, kau meluangkan waktu
untuk menempuh perjalanan ratusan KM, dari tempatmu lahir, menuju tempatku
lahir. Kau abaikan peluh dan letih yang bersandar di dadamu, kau lupakan
tanggung jawab dan kesenangan di kotamu, demi menempuh sebuah perjalanan
panjang yang sengeja dipendekkan oleh pertemuan. Lalu, mata kita sungguh
beradu. Tersenyum sesaat sebelum mengunci dengan salam dan lambaian perpisahan.
Alur kisah belumlah usai, kau kembali pulang, kita kembali merakit kenangan.
Waktu ini terhubung,
detak detik waktu masih merekam pijakanmu, pertama kau lahir di bumi pertiwi
sebelum dipersatukan dengan diriku. Tepat pada hari ke dua puluh empat, pada
bulan kedua awal tahun kau menangis dan merengek dalam pangkuan, memohon untuk diperhatikan.
Kata yang pernah terlambat diucap sebelum aroma kenangan itu berubah menjadi
kuncup-kuncup kerinduan merupakan bait ritual yang hendak diucap sebagai
perayaan sambutan keluarnya dirimu dari dalam kandungan, selamat ulang tahun,
semoga apa yang diharapkan segera dapat digenggam.
Magelang, 01 Maret
2019
Komentar
Posting Komentar