Penduduk Kecil yang Suka Duduk
“Kenapa mereka masih betah
berdiam diri di tempat itu? Bukankah matahari akan segera tenggelam?”
Lihatlah, mereka riang kepalang, melangkah dengan ringan
menerabas jalanan setapak yang dipenuhi dengan rerimbun rumput-rumput liar.
Mereka tak kenal gigil embun-embun pagi. Suara hutan di bantaran sungai-sungai
sunyi adalah kawan, nyamuk bukan lagi lawan, pakai kotor wajah berminyak-minyak
tersirami cahaya mentari merupakan hal menyenangkan. Mereka pikunkan waktu yang
mulai berguguran, melenyapkan kesempatan manis di bangku-bangku masa lalu.
Senyum keluarga seperti bayang-bayang semu, duduk menikmati arus air adalah
kekasih.
![]() |
pixabay.com |
“Kenapa mereka masih betah berdiam diri di tempat itu? Bukankah matahari
akan segera tenggelam?”
Aku selalu memendam pertanyaan ini, setiap kali melintas
jalanan Dukuh, kampung tetangga Paren yang hanya berselang dua kilometer dari
rumahku. Sungguh pemandangan ganjil, melihat kepala-kepala yang sudah tercetak
namanya di buku nikah dan menerbitkan akta keturunan di dinas kependudukan,
namun masih setia dengan warna air keruh yang itu-itu saja, dan lumpur-lumpur
yang menciderai harga diri mereka. Kawan, sepanjang jalan kenangan aku mengukir
nasib kebingungan yang terlunta di emperan sungai. Mereka-merekalah pemilik
wajah datar, yang memberikan segala rasa siksa dunia pada gemericik sungai
Loning dengan merebahkan sekujur tubuh pada bebatuan cadas.
Bukan hanya di desa Dukuh saja, sepanjang sungai Loning
dialuri oleh puluhan kepala maniak pada dunia pancing. Mereka membuang waktu
demi memacari ikan mungil-mungil. Di sungai kami ekosistem ikan telah lama
punah, dulu kata kekasih, semasa ia masih mengindahkan layang-layang dan
kunang-kunang belum hijrah, ikan
masih sepaha lelaki dewasa. Mereka tak
usah menggunakan senar dan kail pancing untuk memburu daging air itu, hanya
perlu menceburkan diri, berenang, lalu menangkapnya dengan sebilah kayu. Itu
dahulu, ketika spora masih tumbuh liar. Kini, zaman telah berubah, mereka
pergi, entah di mana berpetualang. Anehnya, lelaki dewasa masa kini, justru
mendatangi sungai-sungai sunyi, mengurut tubuhnya, mencari lekuk-lekuk cadas,
duduk seharian, dari malam sampai pagi, dari gelap kembali terang, dari fajar
bangun, sampai senja tenggelam, dari ayam berkokok sampai mereka lupa pulang.
Pantat setia menapak bumi, mata menggerayangi cakrawala, pikiran
melayang-layang ke negeri di selat-selat maya.
“Tak rindukah pada pelukkan anak?” lanjut aku menggumam.
Rekan kerjaku pernah berkisah, seorang wanita tak lagi
muda mendatanginya dengan air mata di pipi, suaranya parau, aura wajahnya
buram, tatapannya suram, ia mengeluh karena suaminya jarang di rumah, sering
kluyuran ketika malam membawa pancing dan ember, pulang ketika anak telah pergi
ke sekolah. Wanita itu sering protes kepada suaminya namun tak pernah
diindahkan. Konon perasaannya seperti dikuliti, melihat suami merokok di
sungai-sungai dengan menggadaikan waktu menunggu peri ikan datang, meja dapur kosong
melompong seolah cerita dongeng yang fiktif. Wanita itu pun mengambil inisiatif
untuk mencari nafkah bekerja sebisanya, keluar rumah, lupa dengan pekerjaan
pokoknya, alhasil suara-suara tak enak sering muntah dari bibir suaminya.
Apakah wanita selalu salah?
Anak-anak tertuntut mengabdikan harga diri di
bangku-bangku sekolah, malam masih dijejali dengan tugas pendidikan
memusingkan, belum lagi ketika senja hendak pamit pulang pantat mereka
dikejar-kejar agar mau duduk di hadapan kyai, memasrahkan hidup pada ajaran
agama untuk bekal menghadap Tuhan. Setiap perbuatan orang tua akan menjadi
contoh bagi putra-putrinya, tak heran, si kecil mulai membeli alat pancing
murahan, mereka memburu lapak-lapak bekas di pasar-pasar murah, menyisihkan
uang jajan, esoknya sepulang sekolah mereka lari meloncati bebatuan cadas,
bercumbu dengan riak-riak air, lama-lama menabung agar bisa berkunjung ke
tempat favorit ayahnya, sebuah pemancingan.
Jika saja mereka datang hanya pada hari libur, aku mampu
memakluminya. Sayang, Kawan, mereka datang tanpa kenal waktu mundur apalagi
memungkur, mereka adalah rekan ikan yang sedang mengunci kesetiaan pada alam.
Jika ada yang berhasil ditangkap maka kembali dilepaskan, lalu untuk apa waktu
yang telah habis?
“Ini adalah hobi!” mereka berdalih.
“Kenapa tidak memancing sekalian di laut lepas?”
Kota kami jauh dari lautan, semua sudut terkelilingi
dengan pegunungan dan gunung-gunung pasif, ada pun Gunung Merapi di daerah
Muntilan saja yang aktif. Sejauh matamu memandang hanya akan kau jumpai
pepohonan rindang dan daun-daun yang diembus angin, bertambah debu di musim
kering, atau butiran hujan di permukaan atap-atap perkotaan pada musim basah.
Tak ada gulungan ombak, tak ada karang yang tajam, tak ada pasir putih. Pantai
dan lautan adalah imajinasi nyata yang perlu dikunjungi, jarak membubuhkan biaya
di kantong mereka. Mungkin alasan tepat, membiarkan mereka memancing di
pemancingan sederhana, hanya tersekat plastik dengan ikan seadanya yang telah
diberi makan banyak, hingga tak satu pun dari keluarga mereka tertarik dengan
umpan yang dibawa oleh para pemancing. Konyol jika kau mampu berpikir, ikan
baru dilepas ke kolam lalu dipancing.
Pada bulan ramadan lalu, aku mengunjungi pemancingan.
Kulihat bungkus-bungkus indomie terserak, gelas bening penuh dengan ampas kopi instan, wajah-wajah yang kusam dan
pandangan-pandangan kosong melompong mengambang pada permukaan air kolam yang
keruh kehijauan, lumut hijau tumbuh di sudut-sudut kolam, planton-planton tak
tampak sepertinya menganggap hobi mereka adalah kegilaan buta.
Seorang warga Paren menjadi perhatianku, tak perlu
kusebutkan namanya, anggap saja ia tuan tanpa nama. Pemuda yang tak lagi
perjaka, telah menikah lima tahun lebih, pembangun bahtera cinta di bawah
genteng yang redup. Matanya merekam kebimbangan yang sukar dijelaskan, dari
lemparan senar pancingnya menggambarkan
kepasrahan hidupnya yang seolah tiada memiliki arti, ia tak sungguh-sungguh
menjadikan mancing itu sebagai hobi, ia hanya berusaha mengusir kegelisahan yang
terpupuk subur di dalam jiwanya. Tak mampu ia jelaskan, sebab bibirnya bungkam
pada dunia luar yang kejam, semuanya ia pendam, ia jadikan sejarah yang anggun
jika dinostalgiakan. Kata orangtuanya ia sosok yang malas-malasan, belum mampu
berpikir dewasa, masih seperti anak bujang yang tak memiliki tanggung jawab,
diperkuat dengan pernikahan mereka yang belum dikaruniai dengan momongan. Tapi
tak sepantasnya, hal kurang berguna ini dijadikan pelampiasan.
“Aku lelah, ingin hiburan!” Lalu orang-orang memancing
menyanggah. Benar! Memancing adalah hiburan. Sayang beribukali sayang, bukankah
mengajak anak dan istri keluar rumah menghirup udara segar, melihat kesibukan
perkotaan, bercengkrama dengan bunga-bunga di taman, makan di emper-emper jalan
lebih mengasyikkan? Ketimbang duduk termenung meratapi takdir mereka pada umpan
yang telah dilempar? Ibu bukan perilaku yang biasa, mendekati kata candu yang
berdampak negatif. Tapi asyik, ya seperti dzat terlarang.
Mendadak virus mancing tersebar di desa-desa lugu,
menyingkap selimut-selimut malam, membiarkan pelajaran sekolah berantakan, para
remaja tanggung membiak semak-semak, kadang tumpukan sampah dekat dengan pohon
pisang, memburu cacing-cacing tak berdosa untuk dijadikan santapan ikan. Mereka
memakai cahaya di kepala, sementara kedua tangan sibuk menggali dan menggali.
Tak hirau malam mengajak mereka ke tempat pembaringan, tak hirau waktu yang
merayu tidur, tak hirau gelengan leher ibu yang kecewa dengan kelakuan itu.
Hobi? Ya atas nama hobi mereka susah dikendalikan.
Para pemcancing didominasi orang-orang yang tak punya
pekerjaan, seringkali pengangguran datang berkunjung dengan raut melas memohon
kedai pemancingan dapat dibon, entah hasilnya apa, pada akhirnya mereka
mengalah, menyisihkan uang di kantong demi melamar ikan-ikan yang belum
diketahui bentuk tubuhnya. Ada pula lelaki yang sengaja kabur dari tempatnya
mencari nafkah, tak kuasa menahan rindu dengan lamunan wajah peri ikan abstrak,
ia rela pergi meninggalkan izin di meja gaji. Lalu mata-mata tak bernama itu, membuat
cekungan pada kening masing-masing, hendak melampiaskan segala gundah berbaur
resah yang menggunung menyesak di jantung-jantung. Mereka luapkan pada
umpan-umpan tak bernyawa, memberikan pedih pada waktu yang telah dibuang,
berharap mata pancing mampu melipur diri dari nelangsanya hidup. Sebagian
menampung lelah pada genangan yang dihiasi sirip-sirip ikan. Sejujurnya mereka
hanya resah.
Zaman telah renta, kebiasaan aneh muncul tiba-tiba. Suatu
malam yang sunyi, tak ada kunang-kunang pacaran, ketika itu aku dan kekasih
pulang dari rumah saudara. Permukaan sawah hening dan dibalut dengan kegelapan,
pun demikian dengan langit luas. Alam raya menggigil semenjak kepergian
padi-padi dari sawah mereka. Kini sawah tak bernyawa, hanya berkawan pematang
rapuh yang rompal di mana-mana,
menyisakan batang padi yang berlum dicerabut oleh petani, air masih menggenang
meskipun semuanya telah meninggalkan. Kulihat beberapa motor terparkir di
sebelah irigasi sawah. Beberapa orang menghadap sawah yang tak lagi menampakkan
kegagahannya, mereka menyorot permukaan sawah dengan senter di kepala, mata tak
berkedip, ekspresi mereka was-was, seperti sedang mencari sesuatu yang hilang.
Aku dan kekasih mengira ada dompet yang jatuh, mereka menyibak tanaman genjer,
mencabut akar padi, meremas-remas lumpur.
“Ada apa, Pak? Adakah sesuatu yang hilang?”
Mereka menatap kami dengan senyuman santun, mengabarkan
jika tidak ada apa-apa, lalu kuperhatikan sepuluh meter ke depan, seorang
bapak-bapak mengulur senar pancing. Napas berat mendadak terpaksa kuembuskan.
Mereka sedang memancing di sawah. Apa yang dicari? Apakah
belut juga akan dikencani malam itu?
Magelang, 23 Juni 2019.
Komentar
Posting Komentar