Cinta-cinta yang Tercecer di Paren
Segala hal yang
mendasari kehidupan di dunia ini adalah C.I.N.T.A
Anda akan
menjumpai berbagai bentuk cinta di dusun ini, mulai dari terbitnya fajar hingga
terbenanmnya tata surya. Percaya atau tidak percaya, cinta di sini seperti
sebuah barang obralan yang lupa diberi nilai, karena jumlahnya tak terhingga,
namun sejatinya ia amatlah berharga meski terpandang dengan mata sebelah saja.
Cinta di sini memiliki identitas, dan itulah yang dijadikan penduduk sebagai
jati diri, pembeda dari cinta-cinta yang berserak di sepanjang waktu pagi
maupun malam. Identitas tersebut dinamai dengan sebutan keluarga. Alasan yang
rela membiarkan ubun disengati panasnya cahaya matahari juga dinginnya milyaran
titik hujan.
![]() |
pixabay.com |
Punggung mereka
membungkuk menghadap lahan sawah, membiarkan sela jemari dipenuhi dengan
lumpur-lumpur basah, sementara bibir mengatup merapalkan doa-doa pada
bocah-bocah yang sedang mengabdikan diri pada bangsa di meja-meja pendidikan,
dan mata-mata tertatap hampa penuh kekosongan menghadapi kenyataan hidup
berlika-liku perjuangan. Mereka harus bangun pagi-pagi, melangkah mencari
nafkah demi mencukupi kebutuhan rumah. Bagi warga Paren yang bekerja menjadi
pedagang, kaki-kaki mereka telah bergerilya menempatkan jejak menuju pasar,
menyiapkan bahan baku jualan. Mayoritas penduduk Paren bekerja menjadi pedagang
dan petani, sedikit yang merantau, jika pun dominan itu hanya segelintir
pemuda-pemuda yang bekerja menjadi buruh bangunan atau karyawan ruko-ruko kecil,
jarang ada yang menduduki sebuah perusahaan miliknya negara. Selain itu semua,
ibu-ibu rumahtangga di dusun ini, mayoritas mengabdikan dirinya untuk mengolah
singkong menjadi camilah renyah dengan tubuh pipih.
Mula-mula, petani berangkat pagi-pagi
ke ladang sendiri atau orang, mencari tubuhnya yang masih
bersembunyi malu-malu di dalam bumi, dipisahkan dengan induk tanamannya,
dimasukkan ke dalam keranjang atau ke dalam karung beras, kemudian ditimbang
berat badannya, usainya dipinang dengan mahar yang terhitung setiap kilogramnya. Kau tentu tahu
bukan, apa yang dimaksudkan? Ialah singkong, salah satu jenis ubi-ubian asli
yang baru saja dicabut dari dalam tanah.
Jadi! Ia unik! Berharga pula! Singkong ternilai berdasarkan berat! Beda
cerita dengan istri Anda yang terbayar dengan mahar dan mas kawin seikhlasnya saja. Kalau Singkong! Si tanaman yang baru saja dikeluarkan
dari perut bumi ini dibayar dengan mahar tak lebih dari 5000 rupiah, kadang
jika harganya sedang gulung tikar perkilogram bisa dihargai 500
perak saja. Andaikan saja mahar seorang istri dihargai
sesuai dengan berat tubuhnya seperti singkong, maka nasib orang-orang kurus di muka bumi ini akan banyak mengenaskan.
Usainya singkong dikuliti, dagingnya direbus di bawah
kobaran api menggunakan panci besar
sampai lunak. Proses pembuatan tak selesai sampai di situ, masih ada
tahap-tahapan menginjak kesempurnaan. Ia lantas ditumbuk di batu lumpang, diberi bumbu garam, ingat hanya garam, tak
mengandung bahan pengawet juga tidak ada yang diberi micin, ia sehat dan alami,
setelahnya dihaluskan, kemudian
dipipihkan menggunakan pipa air yang dipotong pendek, tubuhnya dibuat adonan
kemudian dipelintir, lanjut digilas-gilas. Pembuatannya memang agak sadis dan
mengerikan. Setelah tubuhnya pipih, ia dijemur di bawah sengatan matahari langsung
tanpa pelindung. Barulah digoreng di atas minyak yang mendidih. Anda ingin tahu namanya?
Perkenalkan namanya ‘Lentheng!’ seperti itulah Penduduk Paren memanggilnya. Perlu Anda garis
bawahi Lentheng berbeda dengan
Keripik Singkong.
Di musim penghujan, produksi akan
berkurang, air mata langit menjadi penghalang makanan ini lahir, kalaupun lahir
dengan kembaran banyak maka akan mengandung cacat mental yang dibawa sejak
penjemuran. Ironi!
Untungnya, Anda tak perlu memikirkan nasib mereka yang
dijemur, mereka tidak mungkin bernasib tragis seperti ikan pindang di
pasar-pasar kumuh, ketika tubuh digelar di atas tikar, datang monster
kelaparan, mengeong, kemudian memutilasi jasadnya sembarang.
Makanan ini tidak berbau amis, tidak
mengumbar syahwat kucing-kucing garong. Sebut saja, ia makanan yang sengaja
diciptakan oleh pengolahnya menjadi sosok mandiri yang apa adanya, sebagaimana
proses pengolahannya.
Jika dilihat dari nilai jualnya,
semuanya tak cukup untuk menebus ratusan titik keringat yang berjatuhan. Ada
hal penting yang dijadikan landasan pekerjaan tersebut menjadi ringan, dari
awal telah dijelaskan semuanya karena cinta. Mereka tidak akan membiarkan anak
dan cucu menangis di sore hari karena tak bisa menukar makanan keliling dengan
rupiah. Batin mereka akan terasa amat perih jika hal itu benar-benar terjadi.
Selain itu, susu sambung untuk bayi-bayi yang baru lahir membutuhkan biaya
tambahan, jika mengandalkan tangan suami bekerja menjadi petani saja maka tak
akan cukup.
Anda harus memvisualkan wajah keriput ibu-ibu
yang sedang mengolah kerupuk lentheng, mereka diparfumi asap tungku perapian,
pipi-pipinya terbedaki abu-abu api yang baru disebul, bibir mereka hitam pucat
tak mendapatkan polesan lipstik. Lelah dibayar dengan tawa keluarga yang penuh
dengan keharmonisan. Sungguh mengagumkan dusun ini. Cinta tak ternilai
dikembangkan menjadi sebuah pengorbanan tanpa mengenal jasa. Pada musim basah,
milyaran air hujan membasahi atap-atap gubuk penduduk, memandikan padi dan tanaman-tanaman
di persawahan, pun membuat lentheng-lentheng yang dijemur sukar kering, mereka
tetap memasang wajah murung, ada peganti penghasilan yang lebih berharga
daripada rupiah, hal itu dapat Anda saksikan di saat senja bertamu, lalu rintik
hujan mulai berlalu, Anda akan menjumpai ibu-ibu yang sedang beristirihat di
beranda rumah, tersenyum melihat beberapa anak kecil yang berlarian di halaman
masjid, tertawa saling meledek atau saling kejar-mengejar tanpa tujuan.
Hujan terkadang
membuat produksi lentheng terancam punah, nakun mereka tak punya pilihan untuk
berhenti pada titik tersebut, sebab jika dihitung menggunakan kalkulasi bulan,
musim basah lebih panjang daripada musim kering. Penghasilan akan pasang surut
jika mereka tak mencari solusi. Ketika embun berlinangan dari langit,
lentheng-lentheng diangin-anginkan di dalam rumah, mereka tak menjemurnya di
bawah matahari. Hasilnya pun tak sebagus ketika dijemur langsung di bawah terik
matahari, membuat nilai jualnya menurun.
Mayotitas
pemroduksi lentheng di dusun ini adalah wanita-wanita setengah baya, saya
menyebut mereka sebagai pahlawan. Tak mau bersalaman dengan kata lelah, jarang
berkenalan dengan putus asa, terus berusaha sekalipun alam mendung. Mereka
adalah wanita-wanita yang tak mampu mengungkapkan sebait kalimat cinta untuk
anak dan keluarga, tapi membuktikannya dengan jerih payah yang tak dapat
dijangkau oleh perasaan. Memasrahkan kehendak takdir dengan dibarengi doa-doa
memohon kebahagiaan di masa depan, demi keindahan hidup orang-orang yang
dikasihi.
Apakah
wanita-wanita pemroduksi lentheng menghabiskan waktunya dengan
singkong-singkong saja? Tentu saja tidak, mereka memiliki kewajiban merawat dan
mendidik anak-anak, menyiapkan makanan di meja makan, membersihkan rumah,
mencuci pakaian suami dan buah hati, masih membantu suami yang bekerja di
ladang atau sawah, aktif dalam kegiatan pengajian. Sungguh mulia mereka! Jiwa
mereka terlahir lapang, ringan membantu dan rela mengorbankan seluruh tenaganya
untuk orang yang hidup di sekitarnya tanpa mengharap imbalan sedikit pun,
kecuali sebuah senyuman. Pernahkah kalian mengukur seberapa tinggi atau
lebarnya sebuah ketulusan? Tak terhingga dan tak akan pernah bisa diukur.
Saya sering
melihat ibu saya mencuci usai mengikat lentheng-lentheng yang akan dipasarkan,
kadang di malam hari, kadang di waktu pagi buta pukul tiga dini hari, bisa juga
di waktu matahari pamit pergi, sore hari. Malamnya, mata ibu sayup-sayup
menonton sinetron televisi, berebut dengan anak-anaknya termasuk saya yang
menggemari acara lain, ada yang suka dangdutan di chanel Indosiar, ada yang
ingin berita. Remot terlempar ke sana kemari, dan pada akhirnya beliau
memutuskan mengalah. Tak langsung istirahat, jika ada baju yang berantakan
belum dilipat, maka beliau merapikannya. Beliau adalah orang cekatan, tidak
malas-malasan meskipun umurnya sudah separuh abad lebih.
Tak ada piagam atau pun mendali yang dapat
dijadikan sebagai penghargaan kepada wanita-wanita Dusun Paren, bahkan jika ada
pemerintah yang berniat ingin memberikan sebuah penghargaan jasa, tak akan bisa
menjadi batas nilainya. Ketahuilah balasan yang sepadan dan imbang dengan
perjuangan mereka hanya bisa diberikan langsung oleh pemilik alam semesta,
surga.
Apakah hanya ibu
saya? Tidak! Masih banyak ibu-ibu lain di sini, tak berjumlah satu atau dua
tiga saja, lebih dari itu. Konklusinya, Dusun Paren adalah tempat bernaungnya
wanita-wanita mulia. Saya hanya berusaha mengabadikan perjuangan mereka dengan
tulisan ini. Sebab mereka adalah sosok pahlawan
tanpa tanda jasa selain guru.
Sleker, 14 Maret
2019.
Komentar
Posting Komentar