Petuah Waleh
Aku pernah bertanya padamu bagaimana rasanya menjadi tua. Di atas perahu tepi pantai masa itu, langit menghamparkan bintang-bintang untukku belajar. Mereka berkelompok-kelompok, membentuk suatu gugusan yang aku tak mengerti maknanya. Di bawah sini, bintang adalah cahaya, seperti matahari ketika siang. Tetapi di luar angkasa sana, bintang sama seperti kita, sendiri, dengan pendar cahaya masing-masing. Malam hari adalah tempat terbaik untuk meletakkan resah, mengistirahatkan lelah, apalagi di sini, berbaring di bawah hujan cahaya bintang. Sembari mendengarkan apa pun tentangmu, hanya ada kita dan penjelasan. Berdua dengan jawaban.
Pixabay.com |
x
Serpihan angin menghambur dari arah utara, menerbangkan sisa rasa yang mengendap pada ekspresi wajahmu. Aku bertanya-tanya pada gurat wajah itu, apakah menjadi tua berarti kita telah memenangkan waktu? Usiamu senja, berbeda denganku ketika masih belia. Yang pasti, aku pernah memberitahumu bagaimana cara umur mempermainkanku, dan tanpa perasaan bilang, kau tak lagi punya waktu!
Ah, itu dulu.
Ini adalah malam kesekian di buritan. Debur ombak pantai selalu menyajikan irama klasik. Angin laut membawa garam yang larut dalam inci udaranya, kering dan asin. Remang rembulan menerangi pasir putih yang kujejak. Aku membisu menghirup dalam-dalam udara tepian pantai yang hangat. Ya, aku bisa membaca suasana ini. Tak pernah kujumpai suasana yang begitu menginspirasi. Mendorong rasa untuk mempertanyakan sesuatu yang ingin kuajukan padamu.
Jika kemarin yang kutanyakan adalah rasa menjadi tua, yang kau jawab dengan luasnya cara berpikir, kini aku ingin tahu rasanya hidup setelah mati. Dulu, ketika pertanyaan pertama kuajukan, aku tak paham jawabannya sebab masa tuaku masih bertahun-tahun lagi. Tetapi kurasa cukup dekat, karena itulah kutanyakan. Dan aku memahaminya kini, setelah pemotongan kue ke 80 milikku.
Kini, aku ingin bertanya lagi tentang sesuatu yang kurasa cukup dekat. Dan lagi-lagi kepadamulah pertanyaan itu kuajukan. Sebab kau adalah segala jawaban itu, dan kau sudah cukup lama mendiami kehidupan setelah kematian. Apakah di kehidupan setelah kematian rasanya sama, seperti ketika aku bernapas dengan udara dunia? Dan adakah waktu disana? Maksudku, jika mati berarti hidup yang lebih abadi, lalu apa hakikat mati? Kuharap jawabanmu melegakan seperti dulu ketika kau menjelaskan rasa menjadi tua dengan sangat dekat.
Tetapi tunggu, kematian yang kumaksud di sini adalah lenyap. Aku ingin mati yang benar-benar mati, bukan hanya ragaku. Tetapi kematian untuk aku.
Dani Hestina P
Komentar
Posting Komentar