Malaikat Tanpa Sayap
“Pernahkah kau mendengar cerita tentang malaikat yang jatuh ke bumi?”
Tak berselang lama setelah Ruby mengatakannya, gelak tawa menenuhi seisi ruangan, hingga seluruh penghuni yang sebelumnya asyik mengobrol dengan secawan kopi hitam pekat dan sepiring biskuit cokelat hangat di depan mereka menoleh heran pada sekumpulan anak muda yang tiba-tiba tertawa membahana. Aril menarik toples berisi kerupuk tuna, lantas mengambil isinya satu-persatu untuk ia makan. Sementara Terra hanya bersandar santai sembari menikmati sebatang cerutu yang mengepul di mulutnya.
“Sebenarnya aku pernah medengarnya,” sela Terra tiba-tiba membuat suasana berubah serius. “Katanya, kau bisa menjadi tampan jika mengambil jantung mereka.”
pixabay.com |
Ruby tersentak kaget. Tidak disangkanya cerita seperti itu benar-benar ada di belahan dunia ini. Sebelumnya bahkan cerita tentang Naga Buta yang hidup dan Manusia Buruk Rupa di tengah hutan terlarang menjadi tren paling populer beberapa waktu belakangan. Ditambah kabar bahwa benar-benar ada orang yang bertemu langsung dengan mereka. Kali ini tentang malaikat yang jatuh ke bumi, jika memang kabar ini benar, Ruby bisa mencarinya dan ia bisa hidup dengan wajah lebih rupawan dari manusia pada umumnya. Ini keren.
Malam pun bertambah larut dalam genggaman rembulan sabit di atas langit. Bising musik beraroma jazz mengalun di dekat lantai dansa tempat itu. Orang-orang bercengkerama bertukar obrolan menarik. Beberapa dari mereka menari meluapkan amarah dan penat di tengah kerlap-kerlip lampu kelab. Ruby menyeruput secangkir teh hangat yang ia pesan. Rasa kelat yang pekat menjejali lidahnya yang asam karena suhu udara terasa lumayan dingin.
oOo
Esoknya saat bangun ketika matahari baru setinggi tombak di atas kepala, Ruby mempersiapkan diri untuk perjalanan jauh ke gunung bertebing curam tempat di mana malaikat katanya jatuh dari langit. Ruby melipat pakaian seadanya yang ia ambil dari jemuran, membungkus semangkuk nasi dan sepotong ayam goreng bekas semalam yang ia hangatkan kembali pagi ini. Diwadahinya air minum ke dalam botol, lantas Ruby masukkan semua itu ke dalam ransel kecil sederhana berwarna cokelat kusam dengan tali terbuat dari serat pohon yute. Ia mengenakan rompi berkancing dua, celana lusuh, dan sebuah sabuk pengikat pinggang di luar. Sebuah jubah bertudung menjadi kain terakhir yang ia gunakan. Ruby pun menyampirkan tali ransel di bahunya lalu keluar dari rumah dengan membawa segenggam semangat yang membara.
Perkampungan telah tandas dilewatinya hanya dalam satu hari perjalanan. Ketika malam menjelang dan rembulan menyerupai sabit malaikat maut menampakkan rupanya pada hamparan hitam bertabur bintang, Ruby pun memutuskan berhenti sejenak untuk istirahat.
Kini ia sudah berada di tengah-tengah hutan belantara yang tidak dikenali dalam peta mana pun di dunia. Pohon-pohon rimbun menutup nyaris sebagian cahaya dari langit sana. Tanah terlihat hitam kelam, dan jalan yang hendak disusurinya tampak begitu gulita. Ruby duduk di atas akar sebuah pohon besar sambil sesekali meneguk air minum menghilangkan lelah.
Kini ia sudah berada di tengah-tengah hutan belantara yang tidak dikenali dalam peta mana pun di dunia. Pohon-pohon rimbun menutup nyaris sebagian cahaya dari langit sana. Tanah terlihat hitam kelam, dan jalan yang hendak disusurinya tampak begitu gulita. Ruby duduk di atas akar sebuah pohon besar sambil sesekali meneguk air minum menghilangkan lelah.
Dari atas hutan, siluet hewan terbang mengepakkan sayapnya terlihat sangat jelas. Lambat laun, hewan itu turun. Suara kepakkan sayap terdengar semakin bising. Ruby terbelalak kaget saat menyadari hewan tersebut adalah seekor naga yang selama ini didongengkan oleh masyarakat seluruh desa. Naga Buta. Benar saja, meski kepakan sayapnya mengeluarkan suara bising dan angin yang kencang hingga menggerakkan daun-daun pepohonan, naga itu beberapa kali menabrak batang pohon dan hampir jatuh karena mungkin kedua matanya tidak bisa melihat.
Ternyata, naga benar-benar nyata adanya. Ruby kira semua cerita dongeng hanya bualan untuk membohongi anak kecil.
Naga itu sampai di darat dan berhadapan dengan Ruby. Tangan dan kaki Ruby seketika gemetar, tubuhnya lemas diselimuti ketakutan. Mata naga itu berwarna merah nyalang mengeluarkan aura membunuh yang menakutkan.
Naga itu sampai di darat dan berhadapan dengan Ruby. Tangan dan kaki Ruby seketika gemetar, tubuhnya lemas diselimuti ketakutan. Mata naga itu berwarna merah nyalang mengeluarkan aura membunuh yang menakutkan.
“Wahai anak manusia, apa gerangan yang hendak kau cari di hutan belantara seperti ini grr?” tanya sang naga dengan suara geraman yang memekik bergema di langit malam.
Ruby terjengkang ke belakang saking bergemanya suara naga di depan wajahnya.
“A-aku mencari malaikat yang jatuh.” Ruby menjawab sekenanya.
“Malaikat jatuh?”
“Ya.” Ruby mengangguk pasti. “Kudengar ada seorang malaikat jatuh di gunung bertebing curam sebelah sana.”
“Aku tidak pernah mendengarnya. Apa kau pernah mendengar cerita tentang Naga Buta?”
“Y-ya kudengar, jika ada yang bisa merobek perutnya maka orang itu akan menjadi orang terkaya di dunia.” Ruby menjawab dengan terbata. Ia mengembalikan posisi tubuhnya yang jatuh kembali duduk di atas akar pohon. Kedua tangannya menggenggam tali ransel kuat-kuat untuk mengusir ketakutan.
Naga tersenyum sinis. “Kau benar. Apa kau tidak berniat merobek perutku?”
“Dengan tangan ini? Tidak terima kasih. Mungkin sebelum itu kau akan memakanku terlebih dahulu.”
Naga kembali tersenyum. Dasar pemikiran manusia yang bodoh. Ia pun mengepakkan sayapnya kembali. Perlahan tubuh besar naga terangkat dengan cepat ia melesat menembus rimbun pepohonan. Setengah sadar Ruby meraba detak jantungnya, ia masih hidup ‘kan? Ya masih. Benar-benar tak disangka bisa bertemu dan mengobrol dengan seekor naga. Ini adalah cerita yang harus disimpan untuk teman-temannya nanti.
Ruby melanjutkan perjalanan sampai ke lereng gunung. Di sana ada sebuah gua berukuran raksasa yang dalamnya sangat gelap. Pelan-pelan Ruby melangkah mendekati gua, ia pun terperanjat saat dilihatnya seekor hewan dengan rupa yang aneh tengah duduk murung di dalam gua. Bukan. Bukan hewan. Tubuhnya terlihat seperti manusia pada umumnya. Diakah manusia buruk rupa yang sering didengarnya dalam legenda lama?
“Apa kau mencari malaikat jatuh?”
Ruby mengangguk ketakutan.
“Sebaiknya kau berhenti dan kembalilah.” Manusia buruk rupa berkata tegas.
“Mengapa begitu?” tanya Ruby heran.
“Apa yang hendak kau cari dari malaikat jatuh? Dia jatuh karena dia kehilangan sayap-sayapnya. Dan karena dia kehilangan sayap-sayapnyalah aku menjadi buruk rupa dan naga menjadi naga buta.”
Ruby tidak mengerti hanya mendengarkan kalimat demi kalimat yang dikatakan Manusia Buruk Rupa. “Aku ingin tampan.”
“Itu mustahil! Aku saja menjadi buruk rupa, kau tidak akan bisa menjadi tampan karenanya. Dia hanya malaikat yang tidak memiliki sayap!”
“Memangnya kenapa kalau tidak memiliki sayap?”
“Untuk hidup di dunia ini kau harus bisa memiliki sayap seperti naga, dia kuat dan berkuasa. Sekali pun kau seorang malaikat kau tidak berguna jika tidak memiliki sayap.”
“Apa kau tahu di mana malaikat tanpa sayap itu berada?”
“Aku tidak tahu,” jawab manusia buruk rupa. Ia lalu bersembunyi kembali ke dalam kegelapan gua. Ruby putus asa, ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung bertebing curam.
Sepuluh minggu dihabiskannya untuk mendaki setapak demi setapak tebing curam hanya bermodalkan tangan kosong. Siang dan malam dilaluinya dengan berat, kedua tangannya sudah lecet dan melepuh. Di atas sana kadang matahari tertawa jenaka meledek kepayahan Ruby mendaki. Kadang pula rembulan tersenyum sinis meragukan kesungguhan Ruby. Angin yang datang dari utara hanya berbisik sejenak lantas berembus cepat meninggalkan jejak gigil pada tubuh Ruby. Ia hampir merasa putus asa hingga pijakannya sampai di puncak gunung yang tinggi.
Ruby berlari ke sana-kemari mencari keberadaan malaikat jatuh. Tapi ia tidak bisa menemukan apa pun. Apakah cerita itu hanya kebohongan belaka?
Sampai langkah kakinya terantuk sebuah nisan. Ruby pun menyadari jika ia sudah sangat terlambat. Malaikat jatuh sepertinya sudah mati dan dikuburkan di atas gunung. Kandaslah segala harapannya untuk bisa menjadi tampan. Malaikat jatuh yang ia cari sudah mati. Saat itu seekor gagak hinggap di bahunya, ia berbisik.
“Kau terlambat. Malaikat tanpa sayap sudah mati,” ucapnya sarkas.
“Kapan dia mati?” tanya Ruby.
“Saat anak bodoh tumbuh menjadi dewasa, dan setelah dewasa anak itu menjadi pencuri. Yang lain menjadi seekor naga buta karena serakah, yang lain lagi menjadi buruk rupa karena terus memasang topeng kebohongan. Dua-duanya adalah pencuri uang para jelata.”
“Jadi siapa sebenarnya malaikat jatuh, tidak, maksudku malaikat tanpa sayap itu? Dan apa benar jika kita menusuk jantungnya maka kita bisa menjadi tampan?”
Gagak terkekeh renyah. “Ya. Apa kau paham arti tampan yang sebenarnya? Apa kau tahu bahwa hati adalah cerminan diri? Kau bisa menjadi tampan saat hatimu juga tampan. Dan mereka yang buruk rupa juga cerminan dari hati yang buruk.”
Ruby mengangguk mengerti. Gagak kembali terbang ke langit. Meninggalkan Ruby seorang diri di depan sebuah nisan. Perlahan dibersihkannya permukaan nisan. Di sana terukir sebuah tulisan. Tidak cukup jelas sampai Ruby harus menyipitkan matanya untuk mengeja. Dan ia pun terbelalak kaget saat membacanya.
Rest In Peace
Malaikat Tanpa Sayap
Guru
Malaikat Tanpa Sayap
Guru
Liara Divya
Karawang, 15 Oktober 2017
Karawang, 15 Oktober 2017
Di hari ketika hujan untuk pertama kali turun setelah kemarau panjang. Tulisan ini didedikasikan teruntuk sahabat yang memintaku menuliskan cerpen untuknya. Terima kasih telah membuatku menulis kembali.
Komentar
Posting Komentar