Lumut dan Matahari


Aku seperti lumut, tak bercinta...  diinjak? Terbuang? Tercerabut oleh mata insan?


Aku tidak ingin meratap, itu adalah pilu yang menyayat, dan kau tahu aku amat membencinya, meski garis lahir bertutur jangan pernah pelihara dengki, tetap aku melaknat sebuah ratap. Kupertegas pada bebunyian sunyi yang menyelinap ke gendang telinga, seperti ketukan angin, tak terkasap, tak teraba, cukup dirasakan. Sunyi yang mengiris-ngiris sepi, pada selasar malam gelap, jari-jari mungil merapa mencari-cari peluk dekap. Waktu mendesis aku sendirian, meringkuk seperti janin dalam kandungan, tanpa kawan pun lawan, hanya kasih pemilik yang diharap. Kala itu tangis tak menjadi berarti, sebab mata ini sukar menitikkan pilu, angan mengalfakan diri dari kenangan-kenangan silam, ingin mengalur pada lorong depan, selalu dan selalu. Perlu diketahui bahwasannya leher selalu bertindak menoleh ke belakang, sekali pun dilarang milyaran kali, tetap saja, ia memiliki kemampuan menengok masa-masa lampau yang suram. Kata Tuhan, ada sebagian ingatan yang dihapus dari benak anak adam, namun mengapa setiap perih yang ingin dimuarakan pada genangan lupa, terngiang-ngiang sepanjang zaman? Tak pernah berat untuk ditinggalkan, namun ia seperti embusan napas yang senantiasa memberi kehidupan, dekat dengan denyut nadi.
pixabbay.com

Lalu kau hadir, bunga matahari, yang sendirian menegak di pusara lahan, menyongsong sang mentari, mengajak angin menari, membiarkan kumbang mencicipi tubuh, juga tak marah semak belukar pun gulma-gulma liar menyerap sebagian bungamu. Kau kuntumkan senyuman, mengelopakkan kegetiran, senantiasa menyambut hari-hari yang kau selimuti tangis dengan kebangaan. Kau topang aku yang mengeparatkan hidup. Kau sembah cinta bukan dengan perngorbanan, melainkan dengan ketulusan. Kau seperti kuaci, mungil-mungil namun menyenangkan sebagian manusia. Kau kelopak matahari, meskipun puluhan tubuhmu telah gugur diterbangkan angin-angin, kau memiliki indah yang tak bertepi. Ya sungguh kau indah, dan itu tersandang pada namamu? Kau ingat aku? Segelintir debu yang berterbangan di tanah bungga, mencari jati diri, namun belum dipertemukan. Aku pernah menyambangi tubuhmu dengan lumut-lumut menjijikkan, kau tak ungkap marah, meski tubuhmu, pada akar mataharimu kehilangan kehidupan, suburmu kucuri, nyaris roboh tubuhmu, nyaris tak mampu menopang kepala dan mahkotamu, namun kau justru memberiku uluran tangan menyejukkan, mendinginkan jiwaku yang dimemari luka, susah payah menyiram hama di ladang jiwaku yang kerontang. Aku terlalu malu, aku rapuh dalam jatuh.

Tiada yang abadi di dunia ini, sabda Nabi-nabi, waktu mengakuinya. Aku naif untuk mengiyakan, bagiku kau adalah potret abadi, kau kusemayamkan pada ranahku yang kering, memang aku tak mampu memberimu cukup nutrisi, tapi percayalah kuletakkan jeruji-jeruji besi untuk menangkal musul yang hendak menyerangmu pada suatu masa. Kekuatan setiaku lebih unggul dari pada gombalan-gombalang ilalang yang akan merusak cantikmu. Kau kan kujaga, selamanya, selama detik ini napasku berembus, selama nadiku menghabiskan detik, dan sepanjang hari ketika mata tak lupa warna senja. Aku tak percaya dengan keputusan Tuhan yang mendatangkan badai padamu, bukan lebih tepatnya padaku, itu juga kurang tepat, bagaimana jika pada kita? Ah, apalagi? KITA? Lalu diam-diam rindu mengalir di arus-arus sungai ketidakpastian. Diam-diam perhatian mencuri-curi pada lorong lelap penantian. Sembunnyi-sembunyi dari kenangan, padahal ia tak dapat dilupakan.


Mendadak kita memiliki jarak, jeruji pengaman tak lagi berarti, aku beranjak meninggalkan lumut-lumut nyeri di hatimu. Maaf, jika masih bisa kuketuk harimu.
Aku rindu.
Indah.
...

Titin Widyawati
Magelang, 20 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambil Waktumu

Makan Nasi Brekat

Terperangkap Laba-laba

HARVEY (SHOERA 2)