Usai Tengah Malam

Malam sudah amat larut. Jalan di depan rumah sudah benar-benar lengang. Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, lampu ruangan lain di rumah ini sudah padam semua. Tentu saja. Melalui remang cahaya lampu tidur, jarum pendek jam dinding bergerak ke angka dua belas. Aku sudah berkali-kali berusaha memejamkan mata, tapi tetap saja gagal. Setiap kali rasa kantuk mengambil alih, kali itu juga jantungku berdetak makin kencang. Bukan kali ini saja aku mengalami gangguan tidur setelah melewati tengah malam. Ini malam ke sekian dan aku tahu persis apa penyebabnya.


pixabay.com


Aku mendesah, beranjak duduk dari posisi berbaring. Kupelototi benda dengan ukuran 1,5 x 1,5 meter itu. Berpintu dua daun, yang sudah rusak salah satu kuncinya sehingga harus diganjal lipatan kertas agar bisa tertutup. Kayunya sudah hampir lapuk, dan dimakan rayap di beberapa sisi. Warna biru cat kayunya pun sudah terkelupas sana sini. Entah berapa umur lemari ini, karena benda itu adalah pemberian atasan Bapak di kantor. Sudah dua tahun ini aku menggunakan lemari itu untuk menaruh beberapa potong pakaian dan juga buku-buku sekolah yang masih sayang untuk kumuseumkan di kardus, karena beberapa bulan lagi adikku bisa menggunakannya lagi setelah masuk SMA. Di atas lemari itu, kugunakan untuk menaruh Al-Qur’an setiap kali habis mengaji. Dan di samping kitab suci, kutaruh lembar foto almarhum Kakek—satu-satunya fotonya yang kupunya.
Tidak ada yang aneh, seharusnya. Memang tidak. Selama aku ‘berteman’ dengan benda itu, tak pernah aku mendapatkan gangguan. Yah, selain pintunya yang memang agak susah untuk dibuka atau ditutup kembali. Engselnya sudah karatan parah. Dia cukup bersahabat sebagai benda mati, bahkan kadang, Ibu menitip uang gaji Bapak di sana karena lacinya masih baik-baik saja.


Tapi itu hanya berlangsung sampai sebel rabu malam lalu, saat aku mulai terganggu olehnya. Bagaimana tidak? Saat aku baru beberapa jam terlelap, tiba-tiba telingaku menangkap suara derit pintu terbuka. Aku yang memang cukup peka terhadap suara—apalagi di saat suasana sepi—langsung terjaga. Kupikir pintu kamarku dibuka oleh Bapak atau Ibu, mengingat kebiasaan mereka yang selalu memeriksa kamar tidur anak-anaknya hanya untuk sekadar menepuk nyamuk yang mencicipi darah kami. Tapi ternyata dugaanku salah. Pintu kamarku masih tertutup dengan menyisakan celah selebar satu sentimeter—kebiasaanku menutup pintu sejak diberi kamar sendiri. Pun, aku masih mendengar sayup-sayup percakapan di depan rumah, salah satunya suara Bapak. Aku baru ingat kalau malam itu Bapak dapat giliran ronda malam.


Saat menoleh, aku baru terkejut bukan main saat menemukan salah satu pintu lemari sudah terbuka sempurna, menampakkan tumpukan lipatan baju di dalamnya. Kenapa terkejut? Karena bahkan terakhir membuka pintu itu, aku mengerahkan banyak tenaga agar bisa terbuka. Lalu bagaimana ceritanya pintu itu bisa dengan mudahnya terbuka, hanya karena ulah angin—mungkin? Atau bukan karena angin? Aku bergidik, menggeleng-gelengkan kepala agar pemikiran buruk segera enyah. Maka saat itu, sambil berusaha berpikir positif, aku menutup lagi pintu itu dan memastikan agar sulit terbuka lagi.


Aku pun memutuskan tidur kembali dengan posisi membelakangi lemari. Baru saja di ambang batas mimpi, tiba-tiba derit pintu terbuka kembali mengusik telinga. Mataku melek sempurna, lagi. Entah kenapa bulu kudukku meremang. Rasa dingin seolah memyelimuti sekujur tubuhku. Dengan gemetar dan jantung bertalu-talu, aku membalikkan badan perlahan. Mataku terbelalak melihat pintu itu lagi-lagi terbuka. Spontan, aku menjerit-jerit memanggil Ibu. Dan pintu kamarku langsung terbuka disusul Ibu yang tergopoh-gopoh masuk.


“Ada apa, Nduk? Kok teriak-teriak?” tanya Ibu heran.
Aku menunjuk lemari itu dengan ketakutan. “Itu, Bu. Pintunya terbuka sendiri.”
Ibu menoleh ke arah pintu. Memeriksa benda itu, lalu menutupnya lagi. “Mungkin kamu kurang rapat menutupnya. Sudahlah, tidur lagi sana.”


Dan Ibu kembali ke kamarnya setelah menutup pintu kamarku dari luar. Aku menggigit bibir, berusaha percaya kata-kata Ibu dan kembali tidur. Kali ini menghadap ke arah lemari itu. Dan yang terjadi, baru mataku mau terpejam, pintu lemari itu kembali bersuara. Mempehatikannya lekat, aku bisa melihat daun pintunya terbuka sedikit demi sedikit. Namun langsung berhenti seolah tahu aku mengamatinya. Aku benar-benar jengkel dan memutuskan duduk, berusaha terjaga. Akhirnya sampai azan subuh, aku terus menahan kantuk hingga lingkaran hitam tercetak jelas di bawah mata, esok harinya.


Dan begitulah malam-malam selanjutnya kulalui dalam ketakutan karena kejadian itu terulang, lagi dan lagi. Aku seperti terserang insomnia tiap lewat tengah malam sehingga pada pagi harinya tubuhku sangat lemas dan tidak bertenaga. Sampai malam ini. Padahal sebelum tidut tadi, aku sudah menaruu kursi kayu di depan lemari itu agar menghalangi terbukanya pintu itu. Tapi apa yang terjadi? Seperti ada yang mendorong dan memberontak dari dalam lemari itu agar bisa terbuka. Itu pun membuatku terjaga lagi.

Alarm pertanda tibanya waktu solat tahajud sudah berbunyi. Aku mendengus, memandang dendam pada benda tak bernyawa itu.

“Lihat saja, besok pagi, aku akan meminta Bapak memindahkanmu ke gudang belakang!” kataku sinis sambil menunjuk lemari itu, sebelum beranjak keluar untuk mengambil wudhu.
Dan kamu tahu apa yang terjadi malam berikutnya? Benda itu tak lagi berulah. Takut kupindahkan, heh?
*

Septi Nofia Sari
Magelang, 16 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambil Waktumu

Makan Nasi Brekat

Terperangkap Laba-laba

HARVEY (SHOERA 2)