LOST

Seandainya perpisahan itu seperti pagi yang terburu-buru pergi lantas kembali keesokan hari, sungguh, aku tak akan lelah menanti!


Menemukan jalan untuk sampai pada ketiadaan adalah hal mudah meski kita tak benar-benar menginginkannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, jika Tuhan telah berkata, apa pun rencana-Nya, kita bisa apa? Menduga-duga saja hanya membuat kita cemas, dan tidak baik pula, bila kita bertakut akan hal-hal yang masih ambigu kepastiannya.
Sepagi ini aku sudah terjaga, padahal alarm yang kukendalikan pukul empat subuh belum juga bekerja. Jarum jam masih menunjuk angka dua, dini hari yang gigil dan lepuh dalam kesunyian.

Mataku masih mengeja sekeliling ruangan kamar yang sudah sepuluh tahun belakangan kuhuni. Aroma lavendernya selalu sama, pijar lampu sepuluh watt kubiarkan menyala, dan tanpa kusadari tatapanku menyisir nakas di samping ranjang. Figura persegi dengan aksen bunga mawar menghiasi tepiannya terpasang rapi. Tampak olehku dua wajah bertahtakan senyum mengembang saling berpandangan. Pesona senja tenggelam di lautan menjadi background yang memanjakan mata.

Aku beringsut dari ranjang, mengambil posisi duduk. Masih kuamati bingkai foto itu. Tanpa aba-aba, tak ada arahan dari siapa-siapa, tanganku bereaksi mengambil figura foto, lantas mengamatinya lekat-lekat.

Sial! Foto itu berhasil membawa kembali ingatanku ke masa dua tahun lalu, di mana sebuah kisah menjadi kenangan dan masih kusimpan sampai saat ini di kepala. Kisah yang membawa gejolak batin tiap kali aku mengingatnya. Alhasil, reaksi kesedihan meluncur dari mata. Bak air bah yang tak dapat terbendung lagi.
Entah mengapa juga darimana datangnya perasaan ini. Tiba-tiba sekali, aku terjaga, ingatanku kembali padanya, dan bayangan wajah pias seseorang itu menghiasi pandanganku. Ini seringkali terjadi, tapi yang kukejutkan adalah, tidak pernah sepagi ini aku dibuat rindu sampai sebegini jadi.

•••

Pelupuk mataku yang pagi tadi basah meninggalkan jejak sembab. Siapapun yang memandangku pasti tahu apa yang penyebabnya. Dan pertanyaan soal itu berulang kali kudengar, telingaku jengah mendengarnya.

“Kau menangis, Ann?”

‘Ya, Ann. Kau kenapa? Matamu sembab begitu. Ada apa, sayang?”
Tentu saja, berendengan pertanyaan terlontar dari kedua orang tuaku. Mereka saksi pertama akan mata sembab ini. Simple saja jawabanku.

“I’m okay.” Tanpa berpamitan, langsung kuambil sepotong roti bakar di meja makan dan segera berlalu meninggalkan ruangan tanpa banyak bicara. Kudengar Ibu dan Ayah memanggilku serempak, tapi aku tak mau tahu, aku harus segera pergi. Menghindar adalah keahlianku.

Demi sampai di tempat kerja tepat waktu, aku memilih mengendarai ojek online. Bersyukurnya tak ada macet hari ini, jadi aku bisa sampai dengan selamat dan tepat waktu di kantor.

Orang yang kusapa pertama kali adalah satpam yang sudah mematung di depan pos jaganya. Ia melempar senyum disertai kalimat sambutan selamat pagi.
“Pagi juga,” sahutku sambil berlalu pergi. Terlihat seperti terburu-buru memang. Aku ingin cepat sampai kamar mandi.

Kantor masih lengang, belum banyak yang datang. Tujuan utama kamar mandi sudah kucapai. Di dalamnya berderet lima kubikel yang kesemua pintunya terbuka. Bau wipol menyengat langsung menyergap hidungku, sepertinya baru saja dibersihkan.
Kaca berukuran besar menempel di dinding kamar mandi tepat berhadapan dengan kubikel. Dan di sanalah aku berada. Mengawasi bayanganku sendiri yang mengenakan seragam merah bata, hijab putih, berkacamata dan mataku…

Kuambil peralatan make up yang setia berada di tas. Bedak cukup tebal kubalurkan ke area sekitar mata. Bagaimana pun caranya, sembab ini harus kututupi secara sempurna. Aku tidak mau pertanyaan seperti yang kudengar di rumah terulang lagi di sini.

•••

“Bagaimana jika bulan depan?” Her masih memerhatikan kalendar bulan Juni. Menilik senarai angka, mencari hari.

“Aku sih terserah kamu saja. Tapi untuk masalah ini, saranku, sebaiknya kita juga musyawarah dengan orang tua.”

Lelaki itu menatapku sekilas dan kembali memerhatikan angka-angka itu.
“Orang tua biar tahu beres, Ann. Kita harus mandiri.”
Katanya waktu itu, pernikahan yang sakral harus kami tentukan harinya bersama. Persetan dengan tetek bengeknya, baginya, kemandirian menjadi salah satu alasan agar ke depan kita tidak bergantung pada siapa-siapa, terutama orang tua. Tapi jalan ini keliru, ia memaksaku untuk turut dalam keegoisan. Bagaimana pun peran orang tua juga diperlukan.
“Aku cuti hanya tiga bulan, Ann. Tidak lama. Bulan depan itu menurutku paling baik. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Pekerjaannya yang setiap waktu mengarungi lautan, mengharuskan diri berjibaku dengan kerinduan. Setidaknya begitulah kata Her. Dan demi perjalanan kisah kami yang sudah berjalan tahunan, kami harus segera meresmikannya. Entah mengapa, ia mendesakku sampai sebegitu.
“Terserah!”

“Kenapa kamu nggak semangat kita bahas pernikahan kita?”

“Aku nggak mau kualat karena kita nggak diskusi bareng orang tua kita juga, Her!”
Aku tahu, orang tuanya berada jauh di negeri orang. Puluhan tahun tak pernah kembali ke tanah air. Lagi, orang tuanya nyaman tinggal di sana dan lebih sering membanding-bandingkan apa saja dengan negara ini. Perbedaan yang begitu signifikan, mulai dari sistem pemerintahan, tata kota, hingga lingkungan sosial terkait kehidupan bermasyarakatnya. Bagi orang tua Her, negara ini tak punya tujuan selain mencari kesenangan hidup bagi masing-masing pribadinya. Ah, kepalaku mendidih mendengarnya, ingin rasanya kuputar balik pikiran orang tua Her dan kuteriakkan hei ini tanah kelahiranmu, bila kau ingin negaramu maju, jadilah penerusnya, ubahlah! Jangan malah kau tinggalkan!

“Orang tuamu salah, Her. Mereka lahir di negara ini dan kenyataan garis keturunan juga darah yang mengalir di tubuh mereka juga milik negara ini. Sejauh apa pun mereka pergi, tetap tak akan ada yang mampu mengubahnya, bahkan takdir sekalipun.”

“Her, bilang sama orang tuamu, mereka sama saja seperti penghianat di negeri ini. Tidak ada bedanya!”

Aku mengatakannya pada Her dan ia tidak tersinggung sama sekali. Ia justru meredam emosiku, membisikkan kata-kata menenangkan.
“Biar itu jadi urusan orang tuaku, Ann. Sekarang cukup kita saja yang kau pikirkan. Jangan yang lain-lain, ya?”
Aneh saja, aku menurutinya tanpa banyak kata.

•••

Keluar dari kamar mandi, aku langsung menuju kubikel tempat kerja. Sisi, teman sekantorku, sudah berada di kubikelnya. Jemarinya lincah bermain dengan keyboard komputer. Pekerjaan di akhir bulan memang menguras waktu. Sisi, aku, juga yang lain dikejar deadline.

“Baru datang, Ann?”

Tanpa menoleh, Sisi bahkan tahu kedatanganku. Memang, hidung Sisi terbilang canggih, ia bisa mencium bau apa saja bahkan tanpa melihatnya lebih dulu.
“Iya.” Dan terpaksalah aku berbohong.
“Oke, semangat ngerjain laporan ya, Ann!”

Aku bersyukur, Sisi tidak melihatku dan terus sibuk dengan pekerjaannya.
Seharian ini aku berhasil menyilap orang-orang kantor. Riasan bedak di mataku berhasil mengelabuhi mereka. Setidaknya, berangsur siang, berangsur hilang juga sembab itu.
Meski begitu, tetap saja ada perasaan ganjil di hati. Sekuat tenaga aku menguasainya, jangan sampai hariku rusak karena hal ini. Tolong! Beberapa waktu ke belakang, aku sudah bisa menjaga situasi, tidak lucu jika harus kembali terpuruk.

Tapi aku hanya manusia biasa. Sadar, bahwa jiwa dan hatiku tergolong lemah. Semakin aku berusaha menyembunyikan perasaan, semakin kencang juga rasa itu mendobrak ketenangan batin ini.

Seusai kerja, aku mengurung diri di dalam kamar. Menyembunyikan tangisan sembari memeluk bingkai foto yang dini hari tadi membuatku sesenggukan.

•••

Pada akhirnya, sebuah jalan membawaku menuju ketiadaan. Jalan yang sama sekali tidak kuharapkan dan selalu menjadi kecemasan. Aku tidak pernah membayangkan bisa sampai sebegini jadinya.
Kesepian. Sendirian, meski banyak orang berpihak padaku, termasuk Ayah dan Ibu, tapi tetap saja, rasa sepi itu terus meliputi. Jalan ini, jalan sunyi yang harus kutempuh demi melupakan masa lalu dengan seorang lelaki. Di mana ia pernah kucintai, bahkan sampai kini.
Her… Begitu aku memanggil namanya. Sepenggal dari kata Herman, tapi dengan sapaan Her saja sudah cukup bagiku. Laki-laki itu sudah kuakrabi bertahun-tahun meski belum genap sepuluh jari.
Kronologisnya, dua tahun silam, Her melamarku. Sebagai seorang pelayar, ia tak punya waktu banyak mengambil cuti, terlebih ia harus membagi waktu dengan orang tuanya yang berada di luar negeri.
Kita sepakat memilih bulan Juni sebagai bulan baik bagi kelangsungan hidup ke depan. Orang tuaku cukup terkejut, mereka mengira ada hal menyimpang terjadi padaku. Hamil duluan barangkali. Bagaimana bisa? Aku hampir jarang bertemu Herman. Dan untuk melakukan hal memalukan itu, aku tak pernah punya nyali juga niatan. Sungguh, aku menjaga diri seperti janjiku pada Ayah dan Ibu.
Bulan itu tiba, hari yang kami pilih di depan mata. Tanpa kehadiran orang tua Herman, disaksikan seluruh keluarga dan undangan, kami resmi menjadi sepasang suami istri.
Baru seumur jagung pernikahan kami, prahara melanda. Sebenarnya tidak parah amat, hanya soal waktu. Herman tak bisa lama di sini, ia harus segera pulang ke rumah orang tuanya, dan yang kusesalkan adalah tanpa mau mengajakku. Setidaknya, ia membawaku ke sana bukan? Diperkenalkannya aku pada orang tuanya, bahwa inilah istri sahnya. Tidak! Herman tidak melakukan hal itu sampai sekarang.

“Tunggu waktu yang tepat, Ann.”
“Mengapa begitu?”
“Jangan banyak tanya! Jadi istri ya nurut saja!”

Kali pertama dan terakhir Herman membentakku. Lantas ia memilih tetap pergi, tanpa kabar sama sekali dan tak pernah kembali lagi.
Dua tahun silam…. Sudah selama itu aku menjaga kekosongan akibat kehilangan. Aku bisa saja bersabar karena waktu, tapi perihal jarak dan kepastian, keduanya menjadi ihwal perpisahanku dengan Herman.

Waktu bisa saja membawa Herman kembali dengan segala kenangannya. Tapi jarak dan kepastian telah membuntunya. Herman pergi selama-lamanya usai kudapati kabar sehari usai keberangkatannya. Pesawat yang membawa Herman ke negara di mana orang tuanya berada jatuh di lautan. Bangkai pesawat terpecah belah, berserak menjadi sampah lautan. Anehnya, tidak ada korban yang ditemukan baik hidup atau mati sampai saat ini, termasuk juga Herman!

Kharisma De Kiyara


Magetan, April 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambil Waktumu

Makan Nasi Brekat

Terperangkap Laba-laba

HARVEY (SHOERA 2)