Cahaya
Senja menyemburat saat aku tiba di stasiun. Dengan baju sedikit kuyup terkena hujan gerimis, angin sore yang bertiup cukup membuat tubuhku kedinginan. Cahaya matahari sayup-sayup memantul di genangan air depan stasiun. Air sedikit-sedikit masih menetes sesekali dari atap bangunan. Stasiun sore gerimis seperti ini lengang, entah kenapa. Hanya ada benerapa orang yang bisa dihitung dengan jari duduk takzim menunggu kereta.
Aku duduk di pojok depan kursi tunggu. Sekejap kemudian membeku dengan segala ingatan di depan mata yang harus kutinggal pergi. Tiga puluh lima menit dari sekarang kereta baru datang, aku punya banyak waktu melamunkan banyak hal. Jika perjalanan nanti sudah dimulai, aku tak akan punya kesempatan lagi menyentuh memori yang sudah terlewat.
Pixabay.com |
Enam belas tahun lalu aku adalah seorang gadis kecil berumur 4 tahun, memulai kehidupan tanpa seorang pun ada di sampingku. Kota ini lah yang memberiku rumah, atap dengan ribuan bintang, lantai dengan jutaan kupu-kupu, dan segala janji yang diberikan kerlip lampu jalanannya padaku. Ah kota yang indah untuk kenangan masa kecil.
Dan Namaku Cahaya. Tidak tahu siapa yang memberi nama demikian, kata itu terukir di bagian dalam cincin kecil yang selalu melingkar di jempol tanganku. Cahaya kecil tak pernah bisa membaca, nama itu kuketahui ketika suatu hari seseorang membacakan nama itu untukku.
Seluruh kisah masa kecilku adalah tentang kesedihan.
Gadis kecil yang tak pernah mengerti sebuah perasaan yang selalu mengusik hatinya setiap malam. Ketika kaki kecilnya menyusuri kemerlap jalanan kota, ia tak mengerti mengapa ia tidak tidur di sebuah rumah hangat, mengapa ia tak pernah memiliki seseorang yang menemani harinya berkenalan dengan dunia, mengapa ia sendirian.
Bukankah setiap anak dilahirkan di sebuah rumah? Dengan Ayah dan Ibu?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu hadir di hatinya, namun kanak-kanak sepertinya tak pernah mengerti perasaan apa yang bergumpalan tersebut. Ia hanya tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya.
Malam-malam ketika ia meringkuk kedinginan di bawah kolong jembatan, ia hanya bisa menatap wajah bulan. Mata bulat kecilnya membias terkena cahayanya, jika saja bisa, ia ingin sekali memeluknya dan tinggal bersama bulan di atas sana.
Ah, masa kecil yang sendu untuk diingat.
Saat-saat tubuhku menggigil panas oleh demam seorang diri, bibirku mendesiskan kata Ayah dan Ibu. Tak ada nama yang bisa kusebut, apalagi wajah untuk dibenak, hanya sebuah kata yang merujuk pada dua orang diluaran sana yang telah membuatku hadir di dunia. Menyakitkan sekali mengingat masa kecil itu, tak ada sebuah penjelasan dan pengertian untuk sebuah hati yang terluka karena rindu.
Tetapi sebesar apapun pertanyaan-pertanyaan itu hadir dalam malam, dan sesakit apapun perasaan berbeda yang menghujam, aku sejak kecil selalu berusaha memelihara hati agar tak pernah tumbuh bibit-bibit benci pada sosok Ayah dan Ibu.
Enam belas tahun lalu.
Serpihan kenangan masa keciku bertebaran di sudut-sudut jejak kota. Bulan masih adalah sosok hangat yang menemaniku, meski kini dia bukanlah satu-satunya. Aku punya frasa istimewa untuk kami berdua, cahaya bulan. Indah bukan? Besok-besok ketika ada yang bertanya lagi siapa namaku, akan kujawab begitu.
Bertahun-tahun kemudian, sejak umur empat tahun yang menghadirkan banyak pertanyaan, aku menjawab sendiri semua pertanyaan yang kuajukan. Jawabannya sederhana, yaitu takdir Tuhan.
Kota inilah jawabannya.
Aku tidak akan pernah meminta keadilan lagi. Seluruh jalan hidupku adalah keadilan itu sendiri.
Senja kota ini memberiku jawaban, bahwa gelap bisa juga berarti keindahan. Lihatlah bintang gemintangnya, ialah atap tempatku berteduh dari hujan yang katanya puitis itu. Aku dan kota ini adalah kenangan dan ingatan.
Tetapi stasiun ini adalah tempat pijakku yang terakhir sebelum aku pergi. Dua puluh tahun, kenangan masa kecil yang menumpuk terlalu sesak untuk diingat. Takdir Tuhan adalah jawaban untuk pertanyaanku enam belas tahun lalu. Hari ini aku menangis untuk banyak hal. Aku pergi bukan untuk melupakan semuanya, melainkan melewati semuanya.
Kuhela nafas panjang, memutuskan pergi berarti aku harus melepaskan semuanya. Membunuh mati segala romansa yang pernah terjadi.
Smarthpone di saku jaketku bergetar. Membuyarkan lamunanku.
Sebuah pesan,
“Ay, Kamu jadi berangkat sekarang kan? Nanti kalau udah sampai kabari ya? Biar aku jemput.”
Aku tersenyum membaca pesan itu. Dialah salah satu alasanku pergi. Jika aku bisa mulai membuat sebuah memori manis, mengapa aku harus bertahan di kota ini dengan banyak memori buruk?
Kuketik sebuah pesan balasan,
“Iya, jadi. Nanti kukabari, mungkin sampai sana tengah malam.”
Aku tersenyun lebih lebar. Menyeka sedikit air mata di pipi. Aku berjanji, setelah ini hidupku tidak akan lagi hanya soal kesedihan. Ah, kota ini mungkin suatu saat nanti akan kembali kurindukan.
Aku berbisik dalam hati, untuk sebuah senja terakhir yang kumiliki.
Aku akan pergi dari sini. Aku mohon, jagalah setiap detik kenangan milikku. Meski aku lupa dengan semuanya, tetapi aku tak ingin suatu saat aku benar-benar lupa untuk mengingatnya. Ingatkan bulan untuk selalu mengenang semuanya. Memegang janji antara kita bertiga, meski kau tahu aku tidak pernah bisa berjanji. Aku mohon, jagalah setiap detik kenangan milikku. Seperti kau jaga indah yang ada setiap kali kau datang.
***
Decit roda besi memburai di pelataran stasiun. Kereta senja jurusan Jogja-Jakarta berhenti pelan, suara petugas melalui pelantang di sudut stasiun memenuhi ruangan. Menyuruh para penumpang yang dari tadi menunggu bersiap naik.
Aku berdiri, merapatkan jaket putih, menyeret koper, menoleh sekali lagi ke arah pintu masuk ruang tunggu. Gerimis di sana masih ada, kuhela napas pelan, ini adalah gerimis terakhir yang bisa kuhirup aromanya, kurasakan bias dinginnya. Tepat ketika suara petugas berdenging sekali lagi, aku berjalan menuju pintu kereta yang lengang.
Sekejap, kereta kembali mendecit. Memulai perjalanan panjang. Kereta ini tak akan pernah peduli, dengan kesedihan ataupun kebahagiaan yang dirasakan oleh penumpangnya. Ia bisu dan dingin. Mungkin kalau bisa aku lebih memilih untuk menjadi sepertinya yang bebas dari emosi.
Aku memandang keluar jendela, menyaksikan bayangan stasiun yang semakin tertinggal jauh. Senja semakin pekat berganti malam. Pepohonan-pepohonan di luar seperti berlari, sedetik dekat untuk sedetik kemudian sudah tertinggal di belakang.
Aku akan menutup seluruh kisah masa kecilku disini, dan hari ini adalah terakhir kalinya aku mengenang dan membaca kembali kisah itu. Apalagi soal bertanya asalku dari mana, yang terpenting adalah aku sekarang akan menuju Bulan. Jawaban semuanya lagi-lagi sederhana saja, takdir.
Bulan sepotong muncul dari rasi planet venus, di ufuk sebelah timur. Tetapi aku membisu, besok-besok aku masih bisa menyapanya, ia adalah satu hal yang tetap sama meski aku pergi kemanapun.
Aku berbisik lagi pada senja yang semakin ditelan malam,
Aku tidak bisa berjanji untuk selalu mengingatmu. Kehidupan baru di depan sana mungkin akan memberiku banyak hal yang lebih berharga. Maafkan aku, tetapi kota ini dan senja adalah hal yang tak seharusnya diingat-ingat. Itu hanya akan menyakitiku dengan segala kenangan tentang masa kecil.
Jangan memintaku untuk berjanji, aku tidak pernah menyimpan kenangan di dalam hatiku.
Aku Cahaya. gadis dengan segala mimpi, tak ada waktu untuk menepati janji.
Oleh : Dani Hestina P
Kulon Progo, 11 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar