Helena
Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta, kau melihat langit membentang lapang. Menyerahkan diri untuk dinikmati, tapi menolak untuk dimiliki.*
Jangan mencariku, Dev. Aku pergi ke tempat di mana kau tidak akan pernah menemukanku.”
Kalimat terakhirmu masih berputar-putar dalam kepalaku, Helena. Daun-daun maple berjatuhan menyentuh sepatuku malam itu. Ia gugur dari ranting yang telah lama setia memeluknya dalam kehangatan musim semi. Aku benci musim gugur, Helena. Aku membenci daun-daun yang pergi meninggalkan dahannya. Memilih hidup bersama angin yang justru mengempaskannya jauh ke dasar tanah. Bergabung dengan debu-debu dan pengapnya jalanan, terjun ke dalam lumpur-lumpur dan genangan air bekas minuman. Menjadi bagian dari sampah, meski kadang keberadaannya menghiasi taman-taman di tengah kesunyian suatu malam. Seperti halnya kepergianmu yang meninggalkan jejak-jejak pelukan pada setiap jengkal tubuhku. Seperti halnya dirimu yang memilih pergi meninggalkan kehidupan yang katamu terlalu melenakan.
![]() |
pixabay.com |
“Aku akan membelinya malam ini.”
Pandangan kami bersitemu dalam kebisuan. Bibir mungilmu yang kau tekuk ke bawah membuatku terluka, Helena. Kau bilang, kau akan pergi dan bahagia. Apakah selama sepuluh tahun ini kau tidak hidup bahagia?
“Dia tidak dijual.”
Seorang pria berdiri di depanmu, menjaga tatapanku darimu. Ia terlihat seperti seorang preman yang kasar. Kulit telapak tangannya pecah-pecah seolah telah menggeluti hidup yang keras dan menyedihkan. Kemeja lusuh pria itu sangat tidak selevel dengan dirimu yang seorang keturunan bangsawan berdarah biru. Celana levisnya compang-camping di bagian lutut, sangat tidak rapi. Terlebih wajahnya yang sangar dan dipenuhi cambang bauk, sangat tidak terurus. Tapi mengapa kau memilih tinggal dan menetap bersamanya? Menjadi sesuatu yang dinikmati begitu banyak orang.
“Aku akan membelinya, berapa pun.”
Pria itu melirikku. Keteguhannya sedikit terusik oleh kalimat terakhir yang kuucapkan. Biar seluruh harta yang kumiliki di dunia ini habis, aku tidak peduli, Helena. Yang kuinginkan adalah dirimu.
“Aku tidak ingin menjualnya. Dia harta yang paling berharga.”
Kau cantik, Helena. Masih sama seperti saat perjumpaan terakhir kita di tepi sungai Ottawa pada malam bersalju dua puluh tahun yang lalu. Aku ingat bagaimana kau begitu anggun dan mengesankan di dalam balutan gaun berwarna putih yang jatuh menutup mata kakimu.
Malam itu salju lebat menutup rerumputan sampai seperlima meter dari atas permukaan tanah. Kau berjalan menyeret kaki penuh luka. Sungai mengalir tenang menggoyangkan bayangan gedung-gedung di atas permukaan air. Langit tertutup awan gelap. Wajahmu yang pucat tersenyum di kejauhan. Ingatan itu masih terasa jelas dalam pikiranku. Persis seperti wanita cantik di hadapanku saat ini, dirimu, Helena. Kemarilah.
“Aku ingin membelinya. Berapa kau akan menjual wanita itu?”
Pria itu beranjak mendekat. Mencekal pandanganku darimu. “Sudah kubilang wanita ini tidak kujual.”
“Aku merindukannya. Tidak bisakah kau lepaskan dia untukku?”
“Wanita ini adalah milik semua orang,” ungkapnya membuatku semakin terluka.
Kemarilah, Helena.
oOo
“Kemarilah, Helena!”
Aku berusaha menggapaimu. Namun tubuhmu begitu jauh. Air mata sudah membasahi wajahmu. Salju turun semakin lebat. Malam dingin semakin menusuk.
“Jangan mencariku, Dev. Aku pergi ke tempat di mana kau tidak akan pernah menemukanku,” bisikmu pelan. Angin menerbangkan suaramu menjauhiku. “Aku sudah muak,” katamu.
Aku tahu kau muak pada ibumu yang pergi meninggalkanmu sejak sebelum kau mengenal apa itu dunia. Begitupun aku yang setiap waktu diliputi rasa dendam terhadap banyak orang. Pada ayahku, pamanku, teman-temanku, dan hidup, bahkan Tuhan. Setelah ayah sering memukul kepalaku dengan tongkat baseball, paman membawaku pergi dari neraka yang bertahun-tahun mengurungku dalam kesakitan. Namun, paman yang kuanggap malaikat justru mempekerjakan aku di tempat prostitusi paling liar di kotaku. Membuatku kehilangan nyaris separuh nyawa yang kusimpan rapat-rapat di dalam raga. Menahun aku hidup sebagai cangkang kosong tak berjiwa. Kau tahu itu, Helena. Namun begitulah kita menelan takdir pahit kehidupan. Sampai waktu mempertemukan kita sebagai dua orang yang mengemis kasih sayang. Kau terhadap kesepianmu. Dan aku dari kesedihanku.
Aku melangkah mendekati tubuhmu. Menembus dinginnya salju dan malam yang semakin gelap tanpa senyummu. Kau mundur selangkah. Aku berhenti bergerak.
“Kemarilah, Helena,”
Kau tetap menggeleng sambil tersenyum.
“Jika kau ingin mati, maka kita harus mati bersama.”
Malam bersalju itu pun berlalu membawaku pada mimpi-mimpi tentangmu. Kemudian aku memutuskan untuk berkelana, pergi dari Ottawa yang dipenuhi kenangan memilukan. Kau tahu, kadang aku mampir sebentar di Montreal, mengunjungi bangunan tua tempat kita pernah berkencan. Hari itu tali sepatuku lepas dan kau, Helena, berjongkok untuk membenarkannya. Kadang pula aku berjalan-jalan di dekat Quebec City tempat kau dulu pernah melukis dedaunan maple di musim gugur.
Dan sesekali aku kembali ke Ottawa, mengunjungi tempat di mana aku pernah membunuhmu.
oOo
Hari ini aku menunggumu. Malam sudah semakin larut. Pria lusuh itu menghampiriku.
“Kami akan tutup, Pak Tua,” katanya.
Lalu kulihat ia menurunkan lukisanmu dari dinding galeri. Tidak. Tidak. Aku menghabiskan dua puluh tahun di balik jeruji besi hanya untuk melihatmu. Helena.
“Helena.”
-Selesai-
Liara Divya
Karawang, 09 Maret 2018
Karawang, 09 Maret 2018
*puisi Aan Mansyur
Komentar
Posting Komentar