HARVEY (SHOERA 2)

Apa kau pernah mendengar kisah tentang Shoera? Gadis dari dunia cahaya yang memiliki mata paling indah di dunia. Sebuah cerita klasik yang kudengar jauh sebelum aku mengenal tentang dunia, sebagaimana para orang tua membuat dongeng-dongeng kepahlawanan untuk menemani anak-anak sebelum tidur.
Kudengar, Shoera yang berhati lembut kemudian turun ke dunia tanah yang kasar. Di sana ia bertemu dengan seorang laki-laki lalu mereka saling jatuh cinta. Karena perasaannya itu Shoera dilarang kembali ke dunia cahaya oleh Loni saudarinya. Sejak saat itu dunia cahaya mendeklarasikan permusuhannya dengan dunia tanah. Tidak banyak yang orang tahu ke mana perginya Shoera dan apa yang dia lakukan sampai saat ini.

oOo

Aku membuka mata, ketika awan-awan itu berjalan beriringan di atas langit yang biru. Terik matahari menerobos retina mataku, memaksaku terbangun dari tidur. Suara angin berdesau  melantunkan nyanyian merdu. Kuperhatikan padang rumput tempatku terbaring siang ini, terasa hangat dan indah di waktu bersamaan.

“Sudah bangun?”

Aku menoleh, menemukan sosok Edgar duduk di sebelahku. Kedua tangannya sibuk mengupas kuaci asin yang terbuat dari biji labu kuning. Baju zirah berbahan metal yang biasa dikenakannya teronggok begitu saja di atas tanah. Pandangan matanya lurus menembus langit yang luas, seolah hendak menelanjangi dunia dengan penglihatannya yang terbatas sebagai mahluk bernama manusia. Kulihat rambut hitamnya bergerak-gerak diterpa angin.

“Mana Rivera?”

“Sedang mencari roti gandum ke pasar.”
Aku mengangguk mengerti. Kita memang kehabisan stok roti gandum dalam perjalanan menuju Negara Avel untuk mencari permata Shoera, yang konon katanya bisa menjadi kunci perdamaian dunia.

Ah perlu kau tahu, setelah deklarasi permusuhan yang diumumkan Loni pada dunia tanah, peperangan terus terjadi melanda manusia. Beberapa yang mempercayai Shoera menganggap Loni sebagai pengkhianat dalam keluarga di dunia cahaya. Beberapa lain yang memuja Shoera berupaya membunuh dan menghancurkan kekuasaan Loni. Tapi sekali lagi manusia menemukan banyak kegagalan. Tubuhnya yang diciptakan lemah tanpa kekuatan telah menghancurkan dirinya sendiri ketika harus berperang melawan pasukan dari dunia cahaya. Pun kekuatan penghuni dunia cahaya yang mampu menarik keluar nyawa manusia menjadi ketakutan tersendiri untuk masyarakat dunia tanah.

Bumi masih berputar pada porosnya. Meski ribuan bahkan jutaan umat manusia telah mati akibat peperangan, waktu tetap berjalan seolah ia tak pernah bertuan. Kerajaan runtuh dan dibangun. Demokrasi tumbuh, modernitas mulai hidup, lambat laun manusia melupakan permusuhan.
Entah apa yang sedang dipikirkan Edgar. Ekspresi wajahnya menyiratkan sebuah kesedihan yang tak mampu kubaca dengan mataku. Aku mengikuti arah pandang Edgar. Merasakan terik matahari mengenai langsung ke wajahku. Kuhirup udara sejuk padang rumput.

“Apakah kau masih belum bisa membaca isi surat itu?” Edgar memulai pembicaraan.
Aku teringat secarik surat yang katanya ditemukan Rivera dan Edgar ketika pertama kali mereka menemukan aku di dalam reruntuhan sebuah kerajaan.
“Belum,” jawabku lirih.
Bisa jadi surat itu adalah kunci ingatanku yang hilang sejak hari di mana aku ditemukan. Entah dari mana aku berasal, siapa orang tuaku, dan mengapa aku bisa terjebak di tengah-tengah reruntuhan. Siapa aku?

“Harvey, jika nanti kau tidak mengenali aku sebagai Edgar. Maka bunuh saja aku. Aku hanya ingin menjadi Edgar yang mencintai perdamaian. Maka jika nanti aku melupakan keinginanku ini, bunuh saja aku. Kau mengerti?”
Harvey. Namaku Harvey. Nama yang mereka temukan dari lencana yang kugunakan ketika pertama kali aku ditemukan sebagai seseorang tanpa identitas.

“Dengan tangan kecil ini?” ungkapku setengah sangsi.
“Bagaimanapun kau gadis yang tangguh.”
pixabay.com

Aku tersenyum atas pujiannya.

“Terima kasih.”

Edgar menoleh heran, kedua alisnya saling bertautan menunjukkan kebingungan.
“Untuk menyelamatkan hidupku.” Aku menambahkan.
Rambut cokelatku bergerak disentuh angin. Edgar menatapku dalam-dalam. Menelisik dua bola mata heterochromia iridis milikku. Kupikir ia sedang mencari sebuah kejujuran. Tapi sungguh, apa yang kukatakan adalah sebuah ketulusan. Tanpa sedikitpun kebohongan.
“Baiklah, setelah Rivera tiba kita akan langsung melanjutkan perjalanan.”

oOo

Aku pernah mendengar kisah tentang seorang pahlawan bernama Argus yang mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan jutaan nyawa manusia ketika perang saudara berlangsung dua puluh tahun yang lalu di Negeri Lav’Earth. Sebuah Negara perintis  teknologi termaju pada masa itu. Sedikit yang kutahu, rupanya Jendral Argus sang pahlawan adalah ayah Edgar. Semenjak kejadian itu Edgar tak lagi memiliki keluarga. Ia pun memutuskan untuk pergi mencari permata Shoera dengan harapan berhentinya peperangan di muka bumi.

Memerlukan waktu yang cukup lama untuk kami sampai di depan gerbang Negara Avel. Sebuah perjalanan yang tidak sebentar mengingat kami beberapa kali melintasi tebing yang curam, melewati gurun yang gersang, hingga mengarungi lautan yang luas tak terbantahkan. Akhirnya kami sampai di depan sebuah gerbang berukuran  sangat tinggi dengan tulisan ‘Avel’ terbuat dari emas mengkilap di bawah cahaya bulan. Negara para penyihir. Sejauh yang kutahu, Avel adalah satu-satunya Negara yang masih menerapkan hukum langit dan masyarakatnya masih memegang teguh kepercayaan terhadap langit. Tentu saja sebagian besar adalah pemuja Dewi Shoera.

“Siapa kalian?”

Sebelum langkah kami memasuki gerbang dua orang penjaga menahan kami. Satu di antaranya bertubuh gemuk dan satu lagi bertubuh tinggi kecil dengan baju militer berjubah khas Avel.

“Kami hanya pengelana yang hendak mencari tempat peristirahatan.” Edgar menjawab tanpa ragu.
Aku menarik tangan Rivera agar mendekat. Dua penjaga mengelilingi kami, memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki sambil memasang wajah sangar.
“Sebutkan identitas kalian!”

“Namaku Edgar, ini Rivera, dan ini Harvey. Kami datang dari Negeri Lav’Earth. Silakan lihat lencana yang kami kenakan.”

Dua penjaga itu memeriksa satu persatu lencana yang digunakan Edgar dan Rivera. Tak terkecuali milikku. Hanya saja lencanaku memang berbeda dari yang lain, tapi sepertinya penjaga itu tidak terlalu menyadari lencana milikku. Mereka mengangguk sebelum kemudian memberi kami jalan untuk masuk.

Malam itu tak terlalu berbeda dari malam sebelumnya. Aku hanya sempat terkagum-kagum dengan arsitektur yang diterapkan di Avel. Gedung-gedung menjulang menyentuh langit dengan puncaknya. Cahaya bulan pada celah-celah awan menerobos menyentuh permukaan bumi. Bintang-bintang bersinar terang, berkedip-kedip silih berganti. Jauh di ujung sana aku tahu ada dunia di atas dunia tanah. Tempat Shoera berasal,  dunia cahaya.
Gelak tawa membahana memenuhi seisi bar. Seorang pria bertopi bundar mempertunjukkan sebuah sulap komedi yang menarik perhatian semua orang. Aku tak terlalu peduli. Kusesap teh hangat yang masih mengepul dan menguarkan aroma pekat di hadapanku. Ah nikmat. Rivera asyik melahap keripik rumput laut, sementara Edgar sibuk mengupas kuaci asin yang terbuat dari biji labu kuning.

Semua ketenangan itu tiba-tiba saja lenyap saat segerombolan pria berseragam militer masuk dan mengobrak-abrik seisi bar.

Brakkk!!!

“MANA DI ANTARA KALIAN?! PENCURI?!”

Gema teriakan si tentara menggeram bagai lolongan anjing hutan. Aku terperanjat kaget bukan main. Kulirik Edgar yang nampaknya tenang-tenang saja melihat kejadian tersebut.
Salah seorang tentara berwajah sangar, bermata merah, dan bertubuh besar berjalan menghampiri seorang pemuda kecil di ujung ruangan.
“KAU!” geramnya seraya meraih kerah baju si pemuda. “Pasti kau pencurinya! Di mana permataku?!”
Pemuda bertubuh kecil itu menunduk ketakutan. “Bu-bukan aku.”
“SIALAN!”
Bugh

Satu pukulan telak mengenai ulu hati si pemuda. Tentara itu melemparkan tubuh si pemuda ke lantai lalu menginjak-injak dia sampai babak belur.
“Kau masih tidak mau mengaku? Hah?”
Dengan gerakan gesit tentara itu meraih bangku di dekatnya hendak memukul si pemuda. Semua orang di dalam bar menahan napas ketakutan, alih-alih menolong pemuda malang tersebut. Aku tak menyadari ketika Rivera berlari dari sampingku menghampiri mereka.
“Hentikan!” Kulihat gadis muda itu merentangkan kedua tangannya berniat menghalangi agar si tentara tidak memukul pemuda yang sudah babak belur di lantai.
“Rivera!” Edgar bergegas menyusul. Aku ternganga tak percaya.
“Siapa kau?!”

“Jangan bunuh dia! Jangan cabut lebih banyak lagi nyawa manusia di bumi ini!”
Tentara itu tertawa. Entah karena merasa lucu dengan kalimat Rivera yang naif atau merasa kata-kata Rivera terdengar seperti lelucon.
“Demi Dewi Shoera, matilah kau!”

Dengan satu sentilan jari ditambah sedikit mantra sihir tubuh Rivera terbanting keras membentur meja-meja. Aku melihat Edgar mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu menerjang si tentara.

“Beraninya kau melukai Rivera!”
Namun, sebelum mata pedang Edgar menyentuh kulit si tentara, Edgar tertusuk sebuah cahaya yang keluar dari tangannya. Sebuah pedang sihir. Aku nyaris lupa jika Avel adalah negara sihir. Tentu saja masyarakat di sini adalah penyihir-penyihir hebat. Terlebih tentara seperti mereka.

“Aku bilang jangan ikut campur urusanku!” Tentara itu menggeram kesal.
Seketika itu kakiku gemetar. Tubuhku terasa begitu lemah untuk sekadar berdiri. Aku berjalan terseok mendekati Edgar. Lukanya berdarah. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Aku meneteskan air mata tanpa kusadari.
“Ed-gar?” lirihku.

Saat itu pula sebuah ingatan merayap di kepalaku. Tempat yang semula adalah sebuah bar berubah menjadi ruangan luas yang dihiasi lampu-lampu kristal nan indah. Di depanku duduk seorang raja di atas takhta yang megah.

“Apa yang kau bawa, wahai Harvey. Sang Ratu Dunia Angin?”
Aku tersentak kaget.
Kulihat raja itu turun dari takhtanya lalu berlutut di hadapanku.
“Kau ingat pada Shoera? Aku menginginkan kematiannya.”
“Itu tidak mungkin, Yang Mulia. Dewi Shoera telah lama tiada.”
“Aku masih bisa merasakan energi kehidupannya.”
“Sungguh?”
“Kau akan tahu konsekuensinya jika mengkhianatiku.”

Latar kemudian berganti dengan reruntuhan istana itu. Entah karena alasan apa tanganku mengeluarkan sebuah badai besar yang meluluhlantakkan satu negara. Dengan tanganku sendiri aku membunuh raja dan semua penduduk kota.

“Apa yang sudah aku lakukan?” batinku bingung. Namun ingatan itu merasuk begitu saja bagai sinar matahari pada jendela kaca.
Hingga kemudian ingatanku berkelebat pada kejadian ketika tiba-tiba datang seorang gadis berkulit pucat, hampir transparan, dengan rambut berwarna platinum menjuntai panjang hingga mata kaki. Ia tersenyum lembut padaku sebelum membuatku jatuh pingsan. Setelah itu aku tak mengingat apa-apa lagi.

Shoera?

Kembali pada bar tempat Edgar dan Rivera terluka. Aku mengangkat tubuhku bangkit.
“Mati!” ucapku tanpa sadar.

Seketika itu putaran angin muncul di sekitar tubuhku. Aku melesat cepat menembus debu-debu seperti kilat kuhantam tubuh besar tentara itu. Aku tidak begitu menyadarinya ketika sebuah puting beliung muncul menghancurkan seluruh kota. Di depan mataku, seakan mengulang kejadian hari itu, aku membunuh semua orang.
“Kalian manusia hanya terus hidup dalam permusuhan tak pantas untuk hidup.”
Setelah puting beliung, menyusul sebuah badai yang amat dahsyat menghancurleburkan segalanya. Avel pun rata hanya dalam satu malam.
“Kalian manusia adalah penghancur alam semesta.”

-Selesai-

Liara Divya
Karawang, 26 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambil Waktumu

Makan Nasi Brekat

Terperangkap Laba-laba