Bumi dan Malaikatmu
Semalam aku baru menyadari, bumi seperti orang asing. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah menyapa, malam tadi aku berjalan-jalan di bawah langit pekat. Hujan gerimis dan angin kencang menemani perjalananku yang ragu. Di kejauhan, masih bisa kulihat deretan pegunungan yang masih terbias sinarnya matahari meski malam menyelimuti. Sosoknya gelap, berbayang hitam dan kokoh. Jalanan basah dan udara dingin mencekat.
Berada diantaranya, aku seperti diabaikan. Angin bertiup sendiri-sendiri, hujan turun memeluk bumi, bintang berbicara dengan bulan, aku hanya ditemani dingin yang bahkan ia menusuk-nusuk kulitku.
Berada diantaranya, aku seperti diabaikan. Angin bertiup sendiri-sendiri, hujan turun memeluk bumi, bintang berbicara dengan bulan, aku hanya ditemani dingin yang bahkan ia menusuk-nusuk kulitku.
“Kau tahu? Beberapa waktu lalu Tuhan menegurku, karena aku jatuh cinta terlalu dalam padamu,”
Aku duduk di atas bebatuan, melantunkan kata pembuka untuk sebuah persahabatan yang telah usang. Namun seperti gurat wajahmu malam ini, kau sepertinya jengah dengan basa-basiku.
Pixabay.com |
“Jika saja aku bisa kembali, aku ingin kau ada di setiap pagiku, bersama-sama seperti dulu lagi. Aku tak paham hakikat cinta itu seperti apa. Aku hanya tahu caraku mencintaimu selama ini salah, setelah Tuhan menegurku. Dan setelah itu, kita menjadi sejauh ini…”
Jalanan pegunungan Jogja pojok barat ini seperti menjelma menjadi sosok jahat. Pepohonan seperti bayangan hitam hidup yang menyesali kedatanganku, awan kelabu tepat di atas kepala menghujani dengan air sedingin es. Aku menggigil, tapi aku ingin tetap di sini. Aku ingin mengenang masa lalu, ketika aku dan bumi masih menjadi sepasang sahabat.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku tahu ia kecewa karena aku membisu dan membuang janji yang kuucapkan sendiri di masa lalu. Tapi seharusnya mereka mengerti, zaman terus berubah dan aku tidak bisa menjadi orang yang sama lagi. Aku harus hidup dengan semua hal baru yang muncul dan menggantikan keakrabanku.
Jika saja mereka diibaratkan manusia, aku bisa melihat wajah-wajah angkuh mereka, tak mau melihatku yang berdiri di bawah hujan takut-takut menyapa. Mereka seperti berpesta sendiri, mengacuhkanku yang mengetuk pintu hendak berteman kembali.
Aku rindu saat-saat itu, saat hujan adalah rintik air manis yang menemaniku bernyanyi, saat petir adalah cahaya indah yang membuatku terbuai mengeja mimpi, saat bumi memelukku erat di antara sunyi. Sekarang semuanya seperti mustahil diulang lagi, aku dan dia sudah berjalan berlawanan arah terlalu jauh.
Berbeda dengan dulu, kini mereka seperti enggan disentuh.
Aku ingin mengatakan banyak hal dan membacakan puisi yang kubuat sebelum kesini, tetapi mereka tak mau menatapku sama sekali, dan kesenjangan yang mencekam membuatkan goresan di dasar hati.
Hujan dan angin bertiup kencang. Petir sesekali menggurat bentuk serabut dilangit, indah. Aku ingin sekali memuji, tapi matanya menatapku tajam. Lagi-lagi dingin mencekam, seperti menyuruhku untuk pergi.
Bukankah kita selama ini hidup bersama? Bahkan tak dapat terpisahkan sama sekali. Tapi mengapa melihat wajah bumi malam ini, aku merasa tak pernah mengenal bumi?
Dalam kegaduhan asing mereka, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, atau apa yang mereka tertawakan. Atau mereka tengah berbicara dengan Tuhan?
Cahaya senter di tangan yang menembus kabut seperti sebuah pedang. Kuarahkan kesana-kemari berharap bisa sedikit menarik perhatian mereka. Tapi malam tetap semakin dalam, sosok mereka semakin jauh, dingin menebasku sekali lagi dan kali ini aku terjatuh.
oOo
Pagi yang kelabu.
Dibalik bingkai jendela, kutatap hujan yang tak pernah berhenti sejak tiga hari. Dingin yang memeluk erat semalam, paginya membuat tubuhku membara. Kepalaku sakit dan mataku panas. Bibirku pucat mencium jendela kaca, menapaskan uap yang membuat buram pemandangan hujan di luar.
Aku meratapi nasibku yang bisu. Dibenci bumi dan dijauhi matahari, aku iri pada kabahagiaan mereka, yang berpesta tanpa aku, tertawa tanpa aku, yang tetap berbahagia tanpa aku.
Mengingat mereka membuat demamku semakin sakit. Dan kabut yang menggantungi ujung pepohonan menyiratkan betapa riuhnya malam tadi. Sebuah pesta yang mengusirku pergi.
Tiba-tiba aku teringat waktu semalam, saat aku terjatuh ditebas dingin, seperti ada yang membawaku kemari. Ke kamarku di sebuah rumah abu-abu di lereng pegunungan. Tetapi siapa?
Ya, aku terbangun dengan selimut tebal yang menghangatkan tubuhku. Handuk basah mengompres dahiku yang hangat. Aroma sup bawang juga tercium pekat dari ranjang tempatku tertidur. Di rumah sejuk, tempatku pulang dari apapun.
Saat aku tengah bertanya-tanya, saat itulah sosok itu datang.
Malaikat hangat yang membawa mimpiku kembali. Sosok yang menjawab seluruh pertanyaan yang setiap malam kutanyakan pada bulan. Dia berkata, bahwa kau bisa meminta apapun padaku.
“Siapa kau?”
Mata panasku mengerjap menatap sosoknya yang begitu mengesankan. Ia memancarkan cahaya kebaikan, dia menggenggam tanganku lalu bara ditubuhku menguap habis. Aku terpaku pada sosoknya, ia sungguh-sungguh memancarkan cahaya. Senja menyemburat diantara kedua matanya. Dan aku melihat bumi menyapanya dari ujung barat dan timur.
Jika aku menatapnya lebih lama lagi, aku yakin aku akan jatuh cinta padanya untuk pertama kali. Aku bergetar merasakan genggaman tangannya, dan seluruh sakitku luruh bersama perasaanku.
Dia mampu membuat air hujan menjadi hangat, membuat suara guntur menjadi irama musik, membuat angin kencang menjadi napas seorang kekasih, dan ia datang mengubah asing menjadi sebuah senyuman.
Kemudian aku tersentak.
Diakah orang ketiga di antara aku dan bumi? Kutatap matanya tajam. Mengapa ia bisa begitu akrab dengan bumi?
Aku cemburu. Kutinggalkan ia dan aku berlari dengan napas memburu.
Dani Hestina P
Kulon Progo, 28 November 2017
Ditulis untuk hujan yang tak kunjung berhenti berhari-hari.
Komentar
Posting Komentar