Terperangkap Laba-laba
Aroma kopi menyerbak dari cangkir keramik di depan hidungku. Kepulan asapnya menari-nari di udara, meliuk-liuk gemulai sebelum akhirnya berbaur dengan embusan udara. Kuhirup ribuan senyawa aromatik yang terkandung dalam bubuk hitam yang terpanggang air mendidih tersebut. Hmm, menggoda! Lalu kusesap pelan-pelan merasakan sensasinya. Sungguh nikmat! Lidahku dibuai kenikmatan yang sulit diucapkan dengan bahasa puisi karena cita rasa kopi hitam adalah puisi itu sendiri.
Cangkir kuletakan ke atas meja. Kemudian kulemparkan pandangan ke luar rumah. Embun menguap gelisah disetubuhi hangat sinar mentari. Daun-daun pohon kersen menaungi teras rumah. Di bawahnya barisan tanaman beluntas berbaris mengelilingi pembatas rumah.
pixabay.com |
Kuambil sebatang rokok dari bungkusnya, menjepitnya di bibir, lantas membakar ujungnya. Kuhisap dalam-dalam kemudian mengempaskan asapnya ke atas. Nikotin yang mengendap di paru-paru merangsang otakku untuk berkhayal. Benakku dipenuhi bayangan wajah cantik Raisa, kecanggihan Playstation 4, keindahan terumbu karang Raja Ampat, kenaikan gaji, dan senyum manis gadis impianku yang sekarang sudah menjadi istri orang.
Kesempurnaan minggu pagi ini tiba-tiba dirusak oleh kedatangan Ruslan. Tanpa mengucap salam, menyelonong masuk kemudian berdiri di depanku dengan muka ditekuk sedemikian rupa. Tatapannya layu seperti tumbuhan putri malu yang tersentuh tangan. Bibirnya mirip sawah yang kekeringan. Rambut keritingnya acak-acakan. Mengenaskan sekali!
“Aku ditolak lagi!” ucapnya parau, nyaris tak terdengar. Wajahnya diselimuti awan tebal. Seperti sedang terjadi badai di bolamatanya.
Aku sedikit heran mendengar keluhannya. Kupikir ia sudah tidak cengeng lagi. Selama ini aku mengira ia sudah kebal dengan penolakan. Ada apa sebenarnya?
“Duduklah!” suruhku mencoba menerapkan pertolongan pertama pada kekusutan.
Ruslan mengempaskan tubuh pada kursi kayu di sebelahku. Sebegitu kacaukah pikirannya, sampai tak peduli jika tulang belakangnya bisa remuk ketika pantat dan punggung ia hujamkan ke kursi jati tua tersebut?
“Kamu pernah bilang kepadaku jika ditolak adalah jadian yang tertunda bukan? Pepatah itu apa pernah diuji sebelumnya?” tanya Ruslan dengan tatapan seperti ingin menghakimiku. Badai itu kini semakin mengganas, siap meluluhlantakkan apa saja yang ada di sekitarnya.
“Ya!”
“Itu berlaku untuk umum?”
Aku mengangguk.
“Termasuk aku yang jelek ini?”
Aku mengernyit. Sebenarnya Ruslan tidak terlalu jelek. Wajah ovalnya terbungkus kulit sawo matang, hidung agak pesek, rahang kokoh, tubuh atletis, pokoknya standar nasional.
Pertanyaannya tadi membuatku sadar jika ia begitu terpuruk. Tadinya kupikir ini sama seperti yang sudah-sudah. Ditolak adalah hal biasa baginya. Paling dua atau tiga minggu luka hatinya mengering. Selanjutnya ia memulai lagi perburuannya. Menembak gadis. Ditolak! Berburu lagi. Ditolak lagi! Terus seperti itu sampai mendapatkan hasil buruan. Jika tidak salah hitung ini penolakan ketiga yang ia terima.
“Maksudku, apakah mungkin aku masih bisa punya pacar setelah fakta membuktikan kalau aku selalu ditolak? Atau memang aku tak pantas memiliki kekasih?” Ruslan mendengus.
“Apa itu artinya menyerah?”
Serta-merta ia bangkit, lalu berdiri di hadapanku seperti orang marah. Tatapannya menusuk mataku. “Aku lelah, Bro! Aku sudah tidak punya kekuatan. Bukan hanya hati ini saja yang remuk, tapi harga diriku sudah hilang!”
Kuletakkan batang rokok di asbak. Dengan lembut kutepuk bahu Ruslan. “Kamu itu istimewa. Belum pernah kutahu sebelumnya ada orang setangguh dirimu.”
“Omong kosong!” Ruslan mengibaskan tanganku dari bahunya. “Jika aku istimewa kenapa mereka menolakku?”
Kutarik napas dalam-dalam, berpikir keras apa yang harus kulakukan untuk meredam emosinya. Pandanganku tertuju ke cangkir kopi di atas meja. Dingin dan kehilangan gairah, hanya tinggal air hitam tanpa makna. Diam-diam rasa bersalah menyergapku. Aku punya andil atas terpuruknya Ruslan.
Masih jelas diingatanku ketika ia datang di tempat ini dua bulan lalu. Ia datang membawa segepok kekecewaan akibat ditolak gadis incarannya. Aku yang iba kepadanya berusaha menghibur hatinya. Otaknya aku mindset bahwa ditolak adalah jadian yang tertunda. Kalimat itu aku dapat dari status facebook. Tak disangka, itu berhasil membuatnya bangkit. Ia berubah menjadi pejuang tangguh yang selalu terluka, tapi tetap berjuang untuk mendapatkan cintanya. Namun aku sadar bahwa hati manusia tidak terbuat dari baja. Ada kalanya hati terkoyak. Semakin banyak luka, semakin pedih. Sekarang yang harus aku lakukan adalah mengobati lukanya.
“Ah! Kamu memang cuma pandai bicara. Kamu hanya ingin membuatku senang. Kamu bilang aku istimewa. Itu kamuflase. Aku hanya butuh kejujuran. Sekarang jawab pertanyaanku, apakah aku masih layak mendapatkan cinta?” Ruslan mengepalkan tinju di udara, seperti mengintimidasiku.
Kutatap lekat-lekat mata Ruslan, berusaha setenang mungkin. “Kamu istimewa. Kenapa? Karena kamu bagaikan karang. Tidak semua laut memiliki karang. Dan sesuatu yang istimewa itu mahal. Tiga gadis yang menolakmu itu tak sanggup menggapaimu karena kamu mahal. Kamu istimewa!”
Ruslan tak bergeming. Sejurus kemudian, ia duduk dengan pandangan kosong. Kubiarkan ia tenggelam dengan pikirannya. Ia benar, aku hanya pandai bicara. Aku bahkan tak pernah berani mengungkapkan cinta kepada siapa pun.
“Sejujurnya bukan hanya patah hati yang membuatku frustasi. Aku merasa diriku tak berguna. Kamu bisa kuliah, sedangkan aku tidak. Jangankan kuliah, pekerjaan saja aku tak punya. Aku malu jadi bahan gunjingan tetangga. Setiap hari luntang-lantung tanpa tujuan. Bukannya aku tak berusaha, tapi lamaranku selalu ditolak. Namun tetangga-tetangga di kampung tetap menganggapku pemalas. Aku ini anak tak berguna.”
“Sabar!” ucapku menasehatinya.
“Aku muak dengan kata itu. Apakah dengan bersabar bisa membuatku lepas dari cap sebagai anak tak berguna?”
Aku bisa memahami perasaan Ruslan. Masalah yang sebenarnya adalah ia sedang kehilangan semangat. Tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan hanyalah pemicu atas bom masalah yang mengendap di pikirannya.
“Sabar itu hanya Allah yang akan membalasnya. Persetan dengan mereka! Apakah mereka akan membantumu ketika kamu butuh? Tidak, Ruslan! Mereka hanya butuh bahan gunjingan.”
Ruslan menatapku tajam. “Mereka benar. Aku memang tak berguna. Semua yang kulakukan selalu salah dan tak pernah berhasil. Sekarang, kalimat bijak apalagi yang akan kau katakan padaku? Kau hanya bisa bicara tanpa bukti.”
Percuma banyak bicara dengan Ruslan, ketika semangat hidupnya sedang terempas. Aku lebih memilih diam sambil mengamati langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba.
“Mereka benar dan kamu salah!” Ruslan menunjuk hidungku. Mendadak saja ia marah. “Yang mereka katakan sesuai fakta, sedangkan ucapanmu NOL BESAR! Kamu hanya bisa menyenangkanku dengan kata-kata sok bijakmu. Lihatlah dirimu? Apakah kau pernah punya pacar? Kau motivator gadungan!”
Kalimat Ruslan menohokku, tapi aku tak akan membantahnya. Kemarahan telah membuatnya tak bisa mengontrol emosi. Setan sedang mengunci akal sehatnya dan membakar hatinya.
“Kenapa diam? Atau sekarang kamu sedang kehabisan stok omong kosong?”
Kusesap sisa kopi hitam yang sudah hambar. Namun dinginnya sedikit mengalihkan perhatianku dari jebakan emosi. Selepasnya kutatap langit-langit. Dan sebuah ide mendarat di benakku. “Kamu lihat laba-laba itu?” tunjukku ke langit-langit.
Alih-alih memandang ke arah yang kumaksud, ia menatapku aneh. “Jangan mengalihkan perhatian! Aku bukan anak kecil!”
Kuberanikan menatap mata Ruslan. Kuhitung-hitung, setan di matanya mulai berkurang. Yang tertinggal hanya pandangan nanar. “Kamu memang bukan anak kecil. Tapi kamu kalah hebat dengan laba-laba. Rumah mereka adalah yang terlemah, tapi tak lantas membuat mereka menyerah.”
Ruslan memandang sarang laba-laba di langit-langit. “Kamu malas membersihkannya?”
“Arrgghh!” seruku kesal. Terbuat dari apa sebenarnya otak Ruslan, sehingga sulit menangkap apa yang kumaksud.
“Simple saja bro! Jelaskan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jangan muter-muter! Aku sedang malas mendengar ocehanmu.”
“Baiklah, aku tak akan mengoceh. Aku cuma mau tanya, apakah menurutmu Allah tidak adil?”
Ruslan diam.
“Kenapa sarang laba-laba tidak terbuat dari baja agar tak mudah koyak?”
Ruslan masih diam. Pandangannya mendarat di sarang laba-laba, tapi pikirannya melayang entah kemana.
“Apakah laba-laba itu diciptakan secara sia-sia?”
Ruslan memandangku sinis. Mukanya seolah ingin bilang bahwa ia muak dengan bualanku. “Tak perlu kamu ajari, aku tahu tak ada yang sia-sia dalam penciptaan alam semesta ini.”
“Nah, itu kamu sudah tahu!” ujarku gusar. Namun kulihat wajah Ruslan masih muram. Tatapannya masih sinis kepadaku.
“Lalu apa hubungannya laba-laba denganku?”
Gubrakk!!
Kursi kayu yang kududuki ambruk bersama tubuhku. Sial! Aku lupa membetulkan bagian bawahnya yang sudah rusak. Herannya Ruslan tak bereaksi. Ia tak bergeming, mandangku tanpa rasa iba sama sekali. Yang membuatku kesal bukan hanya karena ia tak punya empati, tapi karena otaknya tak jalan. Saat ia bilang bahwa tak ada yang sia-sia dalam penciptaan alam semesta, kupikir ia paham jika ia juga bagian dari alam semesta ini. Aku bangkit lantas menyingkirkan kursi lapuk yang telah membuat pinggangku keseleo.
“Kamu lihat, aku tak berguna bukan? Saat kamu terjatuh, aku tak bisa menolongmu,” Ruslan mengangkat bahu, alih-alih menolongku.
Aku terpancing emosi. Kursi yang sudah kusingkirkan kuambil kembali, kuangkat tinggi-tinggi, kemudian kubanting.
Brakkk! Kursi hancur. Empat kayu penopangnya lepas. Begitu juga dengan kekesalanku yang lepas dari hati lantas menjadi amarah. Kesabaranku menguap dirongrong akumulasi kekecewaan terhadap kepongahan Ruslan.
Setan yang tadi mendiami sel darah Ruslan kini berimigrasi ke diriku, mengekang akal sehatku. Sekarang, gantian aku yang marah kepadanya.
“Otak kamu gadaikan kemana, hah?! Kamu tahu? Sarang laba-laba yang lemah itu pernah menutupi gua yang di dalamnya terdapat Rasulullah dan Abu Bakar. Kaum musyrikin yang mengejar-ngejar dan berniat membunuh mereka berpikir tak mungkin orang yang akan mereka binasakan berada di dalamnya, karena tidak mungkin dalam waktu yang singkat sarang laba-laba bisa menutupi gua tersebut. Allah menggunakan perumpamaan laba-laba untuk mementahkan logika manusia. Tak ada yang mustahil jika Dia berkehendak. Kenapa Allah menggunakan laba-laba? Kenapa tidak tutup saja gua itu dengan Kun Fayakun!? Karena Allah tidak secara ekstrim dalam memberikan tanda-tanda kekuasaannya. Dan Allah ingin menunjukkan bahwa laba-laba yang rumahnya paling lemah pun bisa bermanfaat. Bagaimana denganmu? Apakah kamu masih merasa tak berguna?”
Ruslan memandangku tanpa rasa takut sama sekali. Dengan santainya ia mengupil pada saat aku sedang dikuasai amarah. Ia mengacuhkanku. Menyebalkan! Bikin aku semakin emosi saja.
“Aku sudah tahu!” ucapnya datar. Ia bangkit, lantas memapahku untuk duduk di kursi yang tadi didudukinya. Keruan saja aku menepisnya.
“Lalu apa maksudmu datang ke rumahku, hah!” tanyaku dengan napas terengah-engah. “Jika sudah tahu, keluar dari sini!”
“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday. Happy birthday. Happy birthday to you.”
Tiga cowok dan satu cewek yang semuanya adalah teman-teman SMA-ku, serempak mendekatiku sambil menyanyikan lagu Happy Birthday. Yang cowok berada di tengah, membawa kue ulang tahun yang di tengahnya terdapat lilin-lilin menyala. Oh my God! Aku masuk perangkap kejutan mereka. Pantas saja, Ruslan yang selama ini terkenal tangguh, tadi berlagak cengeng. Rupanya ia dalang di balik kejutan ini. Ah, Aku lupa kalau hari ini ulang tahunku.
Akhmad Al Hasni
Kendal, 2 Februari 2015.
Komentar
Posting Komentar