MOKA
Barangkali kau ingat hangat tubuhku di hari ketika hujan turun membasuh dosa-dosamu, Rumi. Kau selalu saja tersenyum bahkan ketika dari matamu kulihat genangan kepedihan. Seperti ketika hari hujan yang lalu, di sebuah kafe remang kau menyulam senyuman, meski hatimu sebenarnya sedang hancur lebur seperti tetesan hujan. Barangkali kau ingat aku, Rumi, hari hujan itu kau menyesap aroma tubuhku, lantas kupeluk dirimu dalam kehangatan.
“Jika ada tempat paling gelap di dunia ini, aku ingin bersembunyi di sana,” ungkapmu hari itu. Dalam hati aku bertanya-tanya entah mengapa dirimu ingin pergi bersembunyi? Apakah dunia telah berbuat jahat padamu? Apakah hujan terlalu mendinginkanmu?
Hari setelah hari itu setiap malam menjelang pukul dua belas kau akan bertandang menaruh payung dan menyampirkan sebuah tas di bahumu.
“Tas ini berisi dosa-dosa. Aku membawanya karena takut akan berceceran.”
Seroang waitress mengangkat sebelah alisnya heran akan penyataanmu, Rumi. Dia memandangmu seperti pandangan orang-orang pada lelaki gila yang sering duduk di teras kafe ketika pagi.
“Jadi aku mengumpulkannya dalam sebuah tas,” Kau tersenyum, “tolong secangkir moka!”
oOo
pixabay.com |
Hari ini aku duduk di hadapanmu sebagai seoang wanita anggun dengan busana merah mencolok yang sedikit ketat. Lampu kafe masihlah remang seperti dulu, dan dirimu masihlah kacau seperti saat pertama kita bertemu. Janggut yang tidak kau cukur rapi menyisakan warna abu-abu pada dagumu sampai ke pipi. Tubuh kurusmu semakin kurus seiring waktu, mungkin karena kau tak pernah merawatnya dengan olahraga dan makan teratur.
“Kau siapa?”
“Barangkali kau ingat, aku adalah seseorang yang selalu menemanimu setiap kali kau duduk sendiri di kafe ini.”
Kulihat kebingungan tersirat dari wajahmu. Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu, tapi tidakkah kau ingat aku, Rumi? Terlebih pelukan hangat yang sering aku berikan padamu setiap malam di masa lalu?
“Aku tidak pernah mengenalmu,” katamu dingin.
Angin malam menyusup masuk melalui celah jendela. Aku memeluk tubuhku yang kedinginan. Ya, malam ini aku kedinginan, Rumi, jangankan memelukmu dalam kehangatan. Sebab mungkin dirimu lupa padaku setelah detik terus berdetak tanpa mau berehat sejenak menikmati waktu. Bintang-bintang bersembunyi dari balik awan abu-abu. Aku mendongak pedih, rasanya seperti sesuatu mengganjal dalam tenggorokanku.
“Bagaimana kabar Risa adikmu? Kau sudah menebusnya dari tempat pelacur ‘kan?”
“Dari mana kau tahu tentang Risa?”
“Kau yang menceritakannya.”
“Tapi aku tidak mengenalmu.”
“Tapi aku mengenalmu.”
Semakin jelas kebingungan terlihat dari matamu. Aku berusaha tersenyum, melakukan hal yang sama seperti yang sering engkau lakukan selama ini, kau bilang senyumanmu adalah senjata milikmu yang paling berharga. Di depan kamera kau selalu dituntut untuk tersenyum seburuk apa pun suasana hatimu. Di hadapan publik kau harus selalu terlihat sempurna, padahal di depanku kau memaki dunia bahwa dirimu juga manusia. Siapa yang berani bertaruh jika memang benar ada manusia yang sempurna di dunia ini? Bahkan jika dirimu adalah seorang presiden yang handal dan disegani rakyat, aku paham bahwa dirimu hanya seorang manusia. Adakalanya kau tergoda oleh angka dan pesona. Tapi orang lain tidak akan memedulikan hal itu. Mereka hanya menginginkan manusia yang sempurna, paling tidak di depan kamera.
“Percayalah aku adalah orang yang paling memahamimu.”
Kau menatapku persis seperti tatapan waitress kafe ketika pertama kali dia mendengar ocehanmu waktu itu.
“Aku membawakan malam untukmu, kau bilang ingin bersembunyi dalam gelap ‘kan?”
Aku mengangkat tas sampirku ke atas meja lalu mengeluarkan sebuah amplop berperangko.
“Aku memesannya dari Sukab, kudengar malam di dalam gorong-gorong kota adalah yang paling gelap di antara semuanya. Barangkali kau ingin bersembunyi untuk waktu yang lama.”
“Sebenarnya kau ini siapa?”
Aku kembali tersenyum menikmati ekspresi bingung dirimu yang menggemaskan. Rupanya kau memang melupakan aku, Rumi. Bahkan mungkin kau juga melupakan pelukan hangatku dan kenangan kita di dalam kafe remang di waktu-waktu lalu. Kau menatapku dengan tajam, pandangan kita bersirobok dalam kesunyian yang mencekam. Lalu-lalang pengunjung kafe kita abaikan. Secangkir kopi pekat di depanmu sudah tak mengepulkan asap, kau menyesapnya lagi dengan tenang sementara kedua matamu terkunci padaku.
“Bagaimana dengan Ayah? Apakah beliau sudah berhenti minum minuman? Apakah kau sudah tidak pernah dipukul lagi?”
Aku ingat satu hari ketika kau bercerita bagaimana kejamnya ayahmu memukul dan menyiksa tubuhmu. Hari itu aku pergi ke rumahmu menjelma secangkir kopi di atas meja ayahmu yang sedang asyik menonton televisi. Sehingga pada pagi hari kau menemukan tubuh ayahmu sudah tidak bernyawa, dan kau tersenyum. Ya kau memang selalu tersenyum, sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana senyumanmu yang dibuat-buat dan mana senyumanmu yang benar-benar tulus. Aku yakin hari itu kau tersenyum karena bahagia.
“Ayahku sudah meninggal.” Tiba-tiba saja wajahmu berubah murung. Seolah kau telah mengalami kesedihan yang panjang akan kematiannya. “Aku bertanya padamu, tapi kau terus menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain.” Kau tersenyum sinis.
“Sudah kukatakan barangkali kau ingat pelukan hangatku di malam-malam hujan lalu.”
Kau pun tampak berpikir keras. Mencari celah ingatan di mana sekiranya kau dan aku pernah bertemu. Tapi pada akhirnya kau menggeleng.
“Tidak ada yang pernah menemaniku saat sendiri di kafe ini kecuali secangkir moka.”
Lalu kulihat ekspresi terkejut dari wajahmu. Sepertinya kau mulai mengerti. Aku tersenyum senang. Tapi kemudian dirimu menggeleng keras.
“Kau tidak mungkin secangkir moka,” simpulmu begitu saja.
“Aku memang Moka.”
“Tidak mungkin!” Pikiranmu menolak untuk percaya sementara kenyataan di depan mata memaksamu mempercayai semua ini.
“Dan aku membawakan secarik malam untukmu bersembunyi.”
“Kenapa aku harus bersembunyi?”
“Kau bilang hari itu kau ingin bersembunyi?”
“Ya, tapi itu dulu.”
“Lantas?”
“Sekarang aku tidak ingin bersembunyi. Dulu aku ingin bersembunyi karena setiap waktu aku harus terus membawa dosa-dosa di dalam tas ini, dan itu membuatku tertekan. Sekarang dosa-dosa itu sudah bersih.”
Kali ini giliran aku yang merasakan kebingungan. Rumi selalu ingin bersembunyi karena dunia yang amat jahat padanya sejak dirinya bayi sampai dewasa. Rumi yang kukenal selalu menangis di dalam hati ketika di dalam tas besarnya berisi dosa-dosa.
“Apakah dosa-dosa bisa dibersihkan?” Satu pertanyaanku yang sedikit konyol.
“Ya, kau hanya perlu mencucinya.”
“Itu hanya pembenaranmu. Kau sendirilah yang sudah merasa terbiasa dengan dosa sehingga kau menganggapnya bersih.”
“Mungkinkah kau bisa melihat dosa-dosa itu bersih atau tidak?”
Tidak, kau tidak pernah membersihkan dosa-dosa itu jika hanya dengan memberikannya pada seorang petani tua yang hidup sebatang kara lalu kau menyuruhnya membeli sejumlah sawah lantas menggarapnya. Hasil yang kau peroleh itulah yang kau anggap bersih, pada kenyataannya dosamu tidak pernah bersih.
Aku melihat sisa ampas pada moka yang belum habis di dalam cangkirmu. Moka yang paling kau sukai, bahkan sebersih apa pun tampilannya, dia tetap menyisakan ampas yang pekat. Kau menarik cangkir terakhirmu lalu menyeruput isinya sampai kandas. Kukatakan yang terakhir karena memang itu yang terakhir untukmu. Setelah kau menghabiskannya tubuhmu ambruk ke lantai. Tak berkutik lagi. Kuraih amplop berisi malam yang tadi aku serahkan padamu. Kubuka sedikit penutupnya sebelum kumasukkan tubuhmu ke dalam kegelapan paling gelap di dunia ini sehingga tak seorang pun menyaksikan kematianmu.
Barangkali kau ingat, hangat tubuhku ketika hujan turun membasuh dosa-dosamu, Rumi.
-Selesai-
Liara Divya
Karawang, 16 Februari 2018
Karawang, 16 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar