Sebuah Kenangan


Pada takdir yang belum kubaca, kukirimkan salam dan ucap terima kasih jika kisah yang tertulis adalah tentang pertemuan.


Aku selalu bertanya pada malam buta, apakah dirimu? Bukan lebih tepatnya siapa dirimu yang memaksaku menghabiskan waktu berjam-jam, melintasi hujan, mengindahkan langit berawan, membiarkan tubuh dikuliti perasaan dingin, pun mengakhiri perpisahan dengan menembus gelap yang tak dapat diterjemahkan. Aku masih ingat di mana milyaran titik kabut mengambang di udara, menggapai pucuk-pucuk daun di pegunungan, sepanjang jalan kita lalu dengan perasaan gemas pada alam liar. Sepoi angin memeluk celah-celah tubuhku dan dirimu, namun kau tak memedulikannya, yang jelas, yang perlu dipertajam dalam ingatanmu, yang tak boleh ditanggalkan dari kalender masa lalu, kau juga diriku waktu itu bersama, berdua membagi sapa, menyilangkan suara, terakhir mengukir jejak sejarah di kota bunga. Magelang.

Hari itu, aku menelusuri jalanan berliku yang bergelombang, terjun dari pegunungan demi dirimu, untuk orang yang jujur, kuharap engkau tidak terluka, benar-benar belum berarti bagi kehidupanku. Bahkan aku mengenalmu sebatas nama panggil, bukan nama lengkap sandangan dari ayah ibumu. Aku buta tentangmu, pernah terbesit dalam benak tentang apakah dirimu, suatu benda mati, atau memang hidup? Suaramu sunyi meski mengalir aktif di sungai-sungai media maya, kalimatmu selalu saja berbusa meskipun aku jarang menanggapi. Aku hapal betul gelagakmu ketika membagikan kata, kau cerewet, lebay, sedikit manja, sementara hal paling menonjol dalam anganku padamu adalah dirimu seorang manja.
pixabay.com

Ingatlah, kita berjalan berpuluh-puluh kilo meter, kau dipeluk gigil, aku dibekap dingin, melaju kencang di atas sepeda motor menuju rumah persinggahanku, Paren. Butiran air hujan turun dengan amat deras, mereka bersengkongkol pada mendung yang berusaha keras menghalangi perjalanan indah dalam kamus pertemuan itu, pada akhirnya kita putuskan melawan, tak akan kalah pada medan kegagalan, kubelikan kau juga teman-temanmu, mantel plastik.

Daging tak bertulang ini tertawa renyah, menyaingi gemericik air yang menimpa asbes-asbes perkantoran, memandangmu kesusahan memasukkan kepala disusul tubuhmu yang gempal. Kali itu aku menghargai susah payahmu mengahabiskan ribuan tapak berperantara roda-roda mobil dilengkapi panjangnya rel kereta api demi menujuku. Jakarta sampai Magelang, bukanlah jarak yang mudah dikekalkan, waktu membentengi mata kita bersisatatap, jiwa pun jarang berdiskusi, namun seperti air yang mengalir, meskipun belum pernah bersua kita saling menggantungkan kebersamaan.

Hari itu kau tak pergi ke mana-mana, kau habiskan waktumu dengan segelas jus dan teh manis sembari menyaksikan hujan dari jendela-jendela usang yang jarang kubuka. Embun membuat sepatumu basah. Kau meringkuk kedinginan, pun demikian dengan teman-temanmu. Kalian mengunci mulut rapat-rapat, tak menggugat jika pertanyaan belum dilayangkan. Perlahan jemari lentukmu bergetar memegangi gelas, menyerutup teh hangat. Manis tersisa di lidahmu, kau sisakan kenangan pada ampas senyummu di ruang tamuku.


Aku hendak menggiring jejakmu ke sungai yang dibendung penjajah Belanda pada tahun empat puluhan, sayang, hujan segan pulang, mereka sangat bersemangat memabasahi tanah, mencipatakan aroma kerinduan di penciuman kita. Awan hitam menggelayut manja di langit-langit tanpa tiang, mereka hendak menyangkutkan namamu di tanah ini. Andaikan saja aku bisa, akan aku belah langit menjadi empat bagian, setiap bagiannya akan aku pigura, kuselipkan wajah kuyumu yang kedinginan, agar ia abadi, dan tak perlu kupinang maya untuk menampilkan kenyataan senyummu.


                  Takdir mengambil keputusan, mengakhiri segala pertemuan yang belum tuntas, malam berjalan begitu cepat, jika pun ada yang melembat, maka merekalah percik hujan di tanah kelahiran, jalanan aspal basah, daun-daun kedinginan, pepohonan rimbun dan digelayuti kegelapan. Ketika itulah kita berpisah. Kuantarkan kau sampai kota bestasiun. Sampai di sana, hanya lambaian tangan jumpa yang dapat aku berikan. Kalimat selamat tinggal bukanlah kata apik, bagiku ia tak luwes diucapkan untuk orang-orang yang pernah singgah di hati ini. Kalian sejarah, dan sejarah tak layak ditinggalkan, bukan selamat tinggal, melainkan selamat menenun kenangan kembali. Hati-hati di jalanan padat, asap dan debu mampu membuatmu sesak mengingat hal-hal manis.

Magelang, 2 Ramadan 2019.


Titin Widyawati.
                 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis