Antagonis
Lika menyembulkan kepala dari balik pintu berwarna merah. Memperhatikan keadaan di sekitar rumah.
“Sepi!” katanya girang. “Tak ada pengunjung!”
Senyuman Lika merekah indah bak bunga melati di malam ketika purnama menyinari bumi. Dengan perasaan lega tak terkira ia manutup kembali pintu berwarna merah. Menghampiri Sapu yang masih terlihat sibuk menyapu lantai berdebu.
Senyuman Lika merekah indah bak bunga melati di malam ketika purnama menyinari bumi. Dengan perasaan lega tak terkira ia manutup kembali pintu berwarna merah. Menghampiri Sapu yang masih terlihat sibuk menyapu lantai berdebu.
“Coba perhatikan, pot itu masih berdebu? Kau bisa kerja atau tidak?” gerutunya kesal. Kedua matanya yang bulat melebar dan muncul kedutan kemarahan di jidatnya.
Kemoceng yang jengkel dengan ocehan Sapu membersihkan pot dengan kasar, nyaris membuat pot jatuh.
“Hey!” Omelan Sapu cukup untuk mengusik gendang telinga.
“Hey!” Omelan Sapu cukup untuk mengusik gendang telinga.
Gorden mendesah malas, angin sepoi-sepoi masuk dari jendela, menerpanya. Daripada pusing mendengarkan pertengkaran Sapu dan Kemoceng, Gorden lebih senang menikmati angin sore yang menyejukkan. Ah langit biru terlalu indah untuk dilewatkan. Daun jendela tertidur tenang di hadapannya. Sebuah ranting pohon bergerak tuk tuk tuk mengetuk permukaan jendela, namun diabaikannya.
Panci mengelap keringat di permukaan tutupnya, sejak semenit lalu air di tubunya mendidih menimbulkan bunyi priiiiiittt yang keras membangunkan seisi rumah. Bahkan jam dinding berdetak tenang di sudut ruangan. Ia berputar perlahan menggunggah sensasi tegang yang tiba-tiba menjalar ketika sebuah bunyi terdengar nyaring.
Ting tong
“Ada yang datang!” teriak Sapu panik. Pasalnya ia belum tuntas menyapu lantai rumah. Bergegas Kemoceng memukul-mukul pot sekenanya agar cepat bersih. Lika berlari dari posisinya duduk mendekati pintu.
“Selamat pagi?”
“Selamat pagi?”
Seorang pria jangkung berkumis tipis berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan mantel tebal berwarna cokelat dan topi bundar menempel di kepalanya. Pria itu tersenyum simpul begitu melihat sosok Lika membuka pintu.
“Selamat pagi.”
Lika mempersilakan pria itu masuk. Ia masuk setelah melepaskan sepatu pantofel kulitnya.
“Namaku Lika.”
“Nama yang indah, dan ruangan yang nyaman serta luas.”
“Kau boleh memilikinya jika mau, tapi―” Lika menunjuk sebuah pintu berwarna merah pada salah satu sudut ruangan, “―aku tidak mengizinkanmu memiliki ruangan itu.”
Pria bertopi bundar mengernyit heran. Lantas tertawa. “Baiklah, itu milikmu.”
Keduanya lantas mengobrol panjang memperkenalkan diri satu sama lain. Lika merasa sangat terhibur oleh sikap si pria yang jenaka dan suka berguyon.
Pria bertopi bundar mengernyit heran. Lantas tertawa. “Baiklah, itu milikmu.”
Keduanya lantas mengobrol panjang memperkenalkan diri satu sama lain. Lika merasa sangat terhibur oleh sikap si pria yang jenaka dan suka berguyon.
“Kau cantik,” kata si pria.
Lika tersenyum malu. Wajahnya memerah bak kepiting baru diangkat dari air rebusan.
Kedua mata lelaki itu tajam seperti mata elang. Kata-kata yang diucapkannya lugas dan jelas. Lika suka. Lika suka laki-laki dengan penuh percaya diri seperti ini. Pria ini bisa menjadi pembicara yang hebat dan membelanya saat dia tak harus adu mulut dengan orang lain.
Kedua mata lelaki itu tajam seperti mata elang. Kata-kata yang diucapkannya lugas dan jelas. Lika suka. Lika suka laki-laki dengan penuh percaya diri seperti ini. Pria ini bisa menjadi pembicara yang hebat dan membelanya saat dia tak harus adu mulut dengan orang lain.
Musim pun berjalan. Dingin kini berubah semi. Bunga-bunga sakura bermekaran di luar jendela. Kelopaknya beterbangan sampai ke dalam rumah membuat suasana bertambah romantis. Hari itu pria bertopi bundar menyerahkan sebuah cincin pada Lika.
“Maukah kau menikah denganku?” ungkapnya lembut.
Lika mengangguk bahagia. Sebuah rasa bahagia membuncah tak terkira dalam benaknya.
Lika mengangguk bahagia. Sebuah rasa bahagia membuncah tak terkira dalam benaknya.
“Jadi, apakah aku kini bisa memiliki ruangan berpintu merah di sana?”
Tiba-tiba saja kedua mata Lika memerah. Langit berubah pekat. Semi yang awalnya menjadi background hari itu berganti iringan pekat awan hitam dari langit barat. Suara guntur memekakkan telinga. Hujan turun mengguyur bumi dengan cepat. Seluruh bunga-bunga yang sempat mekar berguguran di atas tanah. Lika dengan kemurkaannya menunjuk arah pintu keluar.
Tiba-tiba saja kedua mata Lika memerah. Langit berubah pekat. Semi yang awalnya menjadi background hari itu berganti iringan pekat awan hitam dari langit barat. Suara guntur memekakkan telinga. Hujan turun mengguyur bumi dengan cepat. Seluruh bunga-bunga yang sempat mekar berguguran di atas tanah. Lika dengan kemurkaannya menunjuk arah pintu keluar.
“Pergi!”
Hari itu pun berakhir.
oOo
Empat musim berjalan pada lorong waktu yang terus bergerak tanpa mau menunggu membaiknya suasana hati Lika. Sapu murung di pojokan ruangan membiarkan debu menutup seluruh lantai rumah. Begitu pun dengan Kemoceng yang merasakan kegalauan hati sang tuan selama empat musim membuatnya malas membersihkan pot-pot. Alhasil tanaman-tanaman hias mati kekeringan di dalam rumah. Gorden merana karena tak bisa lagi merasakan angin semenjak daun jendela ditutup dan tak pernah dibuka kembali. Hanya suara tuk tuk tuk reranting dari luar jendela yang buram karena berdebu. Empat musim pun terasa seperti empat puluh purnama berlalu dalam kepedihan.
Lika mengurung diri di dalam kamar berpintu merah. Tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya sejak hari di mana lelaki bertopi bundar diusir di bawah hujan lebat dan gemuruh guntur. Hanya suara tangis lamat-lamat terdengar dari dalam.
Lika mengurung diri di dalam kamar berpintu merah. Tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya sejak hari di mana lelaki bertopi bundar diusir di bawah hujan lebat dan gemuruh guntur. Hanya suara tangis lamat-lamat terdengar dari dalam.
Sapu bertambah pilu. Ia tidak sanggup membiarkan tuannya berada dalam kesedihan berkepanjangan.
Ting tong
Ting tong
Sampailah pada satu satuan waktu ketika detik berjalan begitu lamban sebuah suara bel membangunkan semuanya. Jam berdentang di atas dinding. Begitu pun Kemoceng berlarian girang di atas lantai menimbulkan suara gaduh tak terbayangkan. Debu-debu beterbangan, gorden terbatuk-batuk, bunga kaktus sesak napas, dan jendela mendengus.
“Ada yang datang! Ada yang datang!” Kata-kata gaduhnya tak membuat Lika keluar dari ruangan berpintu merah. Sapu berjalan menghampiri pintu, mengintip dari balik celah-celah kunci.
“Seorang pria!” katanya senang.
“Seorang pria!” katanya senang.
Susah payah Sapu dan Kemoceng bekerja sama membuka pintu. Setelah pintu terbuka keduanya berpura-pura tergeletak seperti benda-benda mati pada umumnya.
“Uhuk, permisi?”
Pria itu memiliki wajah yang bersih tanpa sehelai pun kumis atau janggut. Rambutnya yang dicepak disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kemeja santai dengan kedua lengan yang digulung sampai ke siku. Ia terbatuk-batuk begitu mendapati ruangan yang sangat berdebu.
Pria itu memiliki wajah yang bersih tanpa sehelai pun kumis atau janggut. Rambutnya yang dicepak disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kemeja santai dengan kedua lengan yang digulung sampai ke siku. Ia terbatuk-batuk begitu mendapati ruangan yang sangat berdebu.
“Permisi?” katanya lagi, namun tak mendapat sahutan dari si pemilik rumah.
Dengan telaten dan sabar lelaki berkemeja putih membersihkan debu-debu di dalam ruangan. Sampai ruangan tersebut kembali seperti semula. Ah catnya terlihat sangat kusam. Lelaki berkemeja putih kembali untuk membeli beberapa peralatan mengecat dinding. Ruangan yang semula suram disulap menjadi berwarna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Dengan telaten dan sabar lelaki berkemeja putih membersihkan debu-debu di dalam ruangan. Sampai ruangan tersebut kembali seperti semula. Ah catnya terlihat sangat kusam. Lelaki berkemeja putih kembali untuk membeli beberapa peralatan mengecat dinding. Ruangan yang semula suram disulap menjadi berwarna. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Lika jelas terkejut saat keluar dari kamar menemukan rumahnya berubah warna. Lebih terkejut lagi menemukan seorang pria tengah berdiri di counter dapur, mengenakan celemek, sambil menuangkan air panas pada teko berisi daun teh.
“Kau siapa?”
Lelaki berkemeja putih terperanjat nyaris menumpahkan air panas di tangannya. Ditatapnya lekat Lika dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Inikah si pemilik rumah yang tak pernah menunjukkan dirinya?
“Aku hanya musafir yang tak sengaja menemukan tempat ini.”
Lika ingat sekali kurang lebih seratus laki-laki yang ia usir dari rumahnya karena selalu menginginkan kamar berpintu merah miliknya. Mereka semua itu sama saja. Sama jahatnya seperti antagonis dalam cerita-cerita. Entah ribuan yang tak ia izinkan masuk ke dalam rumahnya. Dan kini satu pria masuk tanpa izinnya, dengan tidak tahu etika dia mengubah warna rumah Lika?
Lelaki berkemeja putih terperanjat nyaris menumpahkan air panas di tangannya. Ditatapnya lekat Lika dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Inikah si pemilik rumah yang tak pernah menunjukkan dirinya?
“Aku hanya musafir yang tak sengaja menemukan tempat ini.”
Lika ingat sekali kurang lebih seratus laki-laki yang ia usir dari rumahnya karena selalu menginginkan kamar berpintu merah miliknya. Mereka semua itu sama saja. Sama jahatnya seperti antagonis dalam cerita-cerita. Entah ribuan yang tak ia izinkan masuk ke dalam rumahnya. Dan kini satu pria masuk tanpa izinnya, dengan tidak tahu etika dia mengubah warna rumah Lika?
“Apa yang kau lakukan pada rumahku?”
Lelaki itu tersenyum santai. Ia mengambil dua cangkir teh lantas menuangkan teh racikannya. Menyodorkan satu untuk Lika di atas meja makan.
Lelaki itu tersenyum santai. Ia mengambil dua cangkir teh lantas menuangkan teh racikannya. Menyodorkan satu untuk Lika di atas meja makan.
“Duduklah terlebih dahulu. Tak perlu terlalu serius.” Kalimat laki-laki itu tidak terdengar seperti sebuah perintah namun cukup membuat Lika tenang mengikuti arahannya.
Pria berkemeja putih memerhatikan wajah Lika dan mulutnya yang terus ditekuk ke bawah.
“Kau memerlukan warna untuk membuat hidupmu bahagia.”
Pria berkemeja putih memerhatikan wajah Lika dan mulutnya yang terus ditekuk ke bawah.
“Kau memerlukan warna untuk membuat hidupmu bahagia.”
“Siapa yang mengatur bahagia atau tidaknya hidupku adalah aku sendiri. Karena ini adalah hidupku. Kau tak perlu turut campur.”
Pria berkemeja putih menarik cangkir teh menyeruputnya sedikit. “Walaupun sedikit, sesekali angkatlah sudut bibirmu ke atas. Tersenyum akan membuat perasaanmu membaik.”
Pria berkemeja putih menarik cangkir teh menyeruputnya sedikit. “Walaupun sedikit, sesekali angkatlah sudut bibirmu ke atas. Tersenyum akan membuat perasaanmu membaik.”
“Pergilah. Aku tidak membutuhkan ceramahmu.”
Tanpa perlawanan lelaki berkemeja putih pergi dari rumah Lika. Lika memperhatikan dalam diam gradasi warna di dalam rumahnya, memang indah. Sedikit senyum terulas dari wajahnya. Ah rasanya memang jauh lebih baik setelah empat musim berlalu dengan menyedihkan.
Tanpa perlawanan lelaki berkemeja putih pergi dari rumah Lika. Lika memperhatikan dalam diam gradasi warna di dalam rumahnya, memang indah. Sedikit senyum terulas dari wajahnya. Ah rasanya memang jauh lebih baik setelah empat musim berlalu dengan menyedihkan.
Setelah hari itu Lika seolah tersihir akan kata-kata lelaki berkemeja putih. Ia kembali bisa tersenyum menyambut suara-suara burung di pagi hari. Angin sepoi-sepoi menerpa gorden dengan tenang. Lika pun mulai menunggu kedatangan lelaki berkemeja putih.
oOo
Ting tong
“Ada yang datang!” teriak Kemoceng girang. “Dia lelaki berkemeja putih!”
Lika terperanjat dari posisinya duduk di kursi. Ia bergegas menata wajahnya agar terlihat cantik. Memoles sedikit bibirnya dengan gincu. Menguncir rambutnya. Sebelum kemudian membuka pintu dengan malu-malu.
Lika terperanjat dari posisinya duduk di kursi. Ia bergegas menata wajahnya agar terlihat cantik. Memoles sedikit bibirnya dengan gincu. Menguncir rambutnya. Sebelum kemudian membuka pintu dengan malu-malu.
“Hai,” sapa lelaki berkemeja putih.
Lika mempersilakan lelaki berkemeja putih masuk dan duduk di atas sofa. Ia membenahi beberapa toples makanan ringan dan beberapa jenis minuman dalam gelas bening.
Musim kembali berjalan. Dingin berganti semi. Semi selalu menjadi musim yang indah sebab pada saat itu bunga-bunga sakura bermekaran menguarkan semerbak wangi yang tak tertahankan. Musik blues mengalun menenangkan suasana rumah. Setelah panjang lebar mengobrol menghabiskan hari bersama lelaki berkemeja putih Lika pun tertidur.
Lika mempersilakan lelaki berkemeja putih masuk dan duduk di atas sofa. Ia membenahi beberapa toples makanan ringan dan beberapa jenis minuman dalam gelas bening.
Musim kembali berjalan. Dingin berganti semi. Semi selalu menjadi musim yang indah sebab pada saat itu bunga-bunga sakura bermekaran menguarkan semerbak wangi yang tak tertahankan. Musik blues mengalun menenangkan suasana rumah. Setelah panjang lebar mengobrol menghabiskan hari bersama lelaki berkemeja putih Lika pun tertidur.
Sapu pulas. Kemoceng terlelap. Gorden terhanyut. Jendela terbuai. Suasa yang begitu nyaman untuk semua orang.
Diam-diam lelaki berkemeja putih berjalan mendekati pintu berwarna merah di sudut ruangan. Ia membuka kemeja putih yang dikenakannya. Di dalam kemeja lelaki itu menggunakan sebuah kaos berwarna merah. Di punggung dan dadanya tertulis dengan huruf besar,
ANTAGONIS
Diam-diam lelaki berkemeja putih berjalan mendekati pintu berwarna merah di sudut ruangan. Ia membuka kemeja putih yang dikenakannya. Di dalam kemeja lelaki itu menggunakan sebuah kaos berwarna merah. Di punggung dan dadanya tertulis dengan huruf besar,
ANTAGONIS
Tiba-tiba saja senyuman yang semula manis dan lembut berubah menjadi seringaian jahat. Didobraknya pintu bercat merah dengan paksa. Lika terperanjat bangun karena kaget, begitupun semua penghuni rumah.
“TIDAAAKKK!!!” Lika menjerit keras.
Ia berusaha mengumpulkan nyawanya sehabis tidur lalu berlari menuju pintu merah miliknya. Terlambat. Lelaki berkemeja putih, bukan, lelaki berkaos merah yang menyamar dengan kemeja putih sudah terlanjur masuk dan mengobrak-abrik seisi kamar.
Ia berusaha mengumpulkan nyawanya sehabis tidur lalu berlari menuju pintu merah miliknya. Terlambat. Lelaki berkemeja putih, bukan, lelaki berkaos merah yang menyamar dengan kemeja putih sudah terlanjur masuk dan mengobrak-abrik seisi kamar.
“HAHAHAHA … ”
Terdengar tawa jahat laki-laki berkaos merah di dalam kamar. Laki-laki berkaos merah meraih sebuah tongkat baseball lalu menghancurkan semuanya. Ia melemparkan jam beker kesayangan Lika. Memecahkan bingkai berisi foto kenangan Lika. Memusnahkan lampu tidur, pot bunga, nakas, lukisan. Merobek pakaian-pakaian dalam lemari. Menggunakan sebilah belati dicabik-cabiknya tempat tidur bersprei putih hingga isi kapuknya beterbangan ke luar kamar. Ia lantas menumpahkan darahnya sendiri memerahkan semua benda di dalam kamar.
“Mengapa kau lakukan ini?”
Lika hanya tersedu-sedu di ambang pintu. Tak ada yang bisa ia lakukan. Ia meringkuk memeluk lutut dengan tubuh gemetar.
Lika hanya tersedu-sedu di ambang pintu. Tak ada yang bisa ia lakukan. Ia meringkuk memeluk lutut dengan tubuh gemetar.
Dengan tatapan nyalang lelaki berkaos merah menatap Lika. Ia pun kembali tertawa puas.
“Kau terlalu pilih-pilih, dasar jalang!” umpatnya sambil tertawa.
“Hentikan!”
“Kau terlalu pilih-pilih, dasar jalang!” umpatnya sambil tertawa.
“Hentikan!”
Lika menangis menutup kedua telinganya. Tawa laki-laki berkaos merah membuat pendengarannya sakit. Tidak. Kamar yang dijaganya baik-baik, haruskah hancur seperti ini?
“Hentikan!”
Seluruh air mata jatuh membanjiri wajahnya. Semi mendadak berubah hujan dan guntur. Gelap menutup permukaan bumi. Langit pun menangisi malam menyedihkan Lika dan seorang Antagonis tak berhati yang menghancurkan hidupnya.
“Hentikan!”
Masih dengan tangisan Lika yang mendayu-dayu mengisi kehampaan.
Masih dengan tangisan Lika yang mendayu-dayu mengisi kehampaan.
Liara Divya
-Selesai-
Rengasdenglok, 13 November 2017 1:30AM
Komentar
Posting Komentar