SARUNG KOTAK-KOTAK DAN SEKUMPULAN LARON
Tuk!
Hening. Hanya terdengar tarikan napas berat.
Tuk!
Hening. Hanya terdengar embusan napas perlahan.
Tuk!
Mencekam.
Tuk!
Tetesan-tetesan air terus jatuh dari genting bocor, menghujam genangan isi panci yang tak bergeser dari tempatnya sejak gerimis turun satu jam lalu di atas kasur. Percikannya ke mana-mana, membasahi sprei kumal. Ketukannya konstan, memecah keheningan malam. Bunyinya menimbulkan kesan mencekam.
Di sebelah panci, Lindan meringkuk. Matanya mengawasi kain gorden yang terkibar-kibar, digebah angin yang menelisik melalui celah-celah ventilasi jendela. Bukan lantaran hawa dingin saja yang membuatnya berlindung di balik sarung kumal. Perasaan takutlah yang sedang menguasai dirinya.
pixabay.com |
Lindan merasakan ada yang aneh malam ini. Ia tak tahu kenapa. Baginya lebih baik tidak memikirkannya. Namun semakin abai, semakin gelisah hatinya. Pikirannya dijejali cerita-cerita mistis yang pernah ia dengar tentang keangkeran rumah ini.
Sebelumnya ia tak pernah percaya kepada hal-hal mistis. Segala sesuatu yang tidak bisa dinalar dengan logika menurutnya tak perlu didengar. Maka itu, ia mengabaikan saran teman-teman kerjanya agar tidak mengontrak rumah ini.
“Tidak masuk akal rumah sebesar itu disewakan dengan tarif 200 ribu perbulan. Lokasinya di tengah kota pula. Pasti ada yang tidak beres,” komentar bosnya setelah Lindan berhasil mendapatkan kasbon darinya.
Lindan hanya tersenyum. Masuk akal atau tidak, baginya yang penting bisa menyewa rumah murah dan lokasinya dekat dengan tempat kerja.
Lain lagi dengan teman kerjanya yang ucapannya terdengar menakut-nakuti.
“Aku juga hampir mengontrak rumah itu. Tetapi setelah tahu kalau rumah itu sudah tidak ditempati selama beberapa tahun, aku mencari rumah lain. Coba pikir, kenapa rumah kontrakan di sekitarnya yang tidak lebih baik tapi tarifnya lebih mahal malah laku. Pasti ada alasannya, kenapa orang enggan menempatinya.”
Lagi-lagi Lindan hanya tersenyum. Jika menyewa rumah itu, uang kasbonnya masih tersisa lumayan banyak, ketimbang menyewa rumah lain. Maka ia mantap untuk memilihnya sebagai tempat tinggal.
Kemarin, ketika ia sedang membersihkan teras rumah, seorang ibu-ibu mendekati Lindan. Tanpa ditanya, ia bercerita tentang keanehan-keanehan rumah ini.
“Sudah bertahun-tahun rumah itu kosong. Konon yang punya rumah stres karena diganggu makhluk halus. Tidak tahan menanggung depresi, ia tewas gantung diri. Namun jasadnya tidak pernah diketemukan. Beredar rumor, kalau ia menjadi sekumpulan laron. Oleh anaknya, rumah itu akhirnya dijual. Pemilik rumah yang baru pun tak tahan diganggu makhluk halus. Maka, rumah itu akhirnya disewakan. Tapi tak ada orang yang betah tinggal di rumah itu, Pak.”
“Ada-ada saja.” Lindan terkekeh tanpa bermaksud menyinggung perasaan ibu-ibu tersebut. “Memangnya makhluk halus seperti apa yang tinggal di rumah ini?”
“Ada yang bilang, katanya sering terdengar suara-suara rintihan. Kadang tangisan menyayat. Kadang juga penampakan. Rumah itu juga dipenuhi laron. Laron-laron itu jelmaan pemilik rumah pertama dan akan mengisap darah siapa saja yang berada di dekatnya. Hii.. seram pokoknya!” Ibu-ibu itu bergidik sendiri.
“Ibu pernah mendengar atau melihat sendiri?”
Ibu-ibu itu menggeleng, menatap Lindan aneh. Tanpa permisi, ia berlalu. Pandangannya terus tertambat ke rumah itu sambil sesekali bergidik.
Lindan masih tak percaya, meskipun bukan satu orang saja yang bercerita tentang keanehan rumah itu. Seorang lelaki remaja bertato yang tinggal di rumah sebelah malah lebih seram lagi ceritanya. Ia adalah seorang pedagang asongan di terminal.
“Sekitar jam sebelas malam, sepulang jualan, saya tidak langsung tidur. Saya duduk di teras rumah sambil menghitung uang yang saya dapat malam itu. Sayup-sayup saya mendengar suara pintu rumah itu berderit, terbuka sendiri. Padahal malam itu angin tidak begitu kencang. Saya pandangi pintu itu lekat-lekat sambil bersiap masuk rumah. Tak lama berselang keluarlah serombongan laron-laron, terbang menuju utara, lantas menghilang begitu saja. Setelah itu, Brakk! Daun pintu menutup sendiri dengan cepat, seperti dibanting seseorang. Saya perhatikan tidak ada orang di situ. Keruan saja saya langsung masuk ke rumah, tak memedulikan uang di teras. Besoknya, saya mendapati uang-uang itu masih utuh, bahkan sudah tertata rapi! Reflek saya cium uang itu. Baunya seperti kemenyan!”
Lindan sama sekali tak terpengaruh dengan semua cerita mistis itu. Kemarin, ia tetap tidur nyenyak pada malam pertama menempati rumah ini. Tak ada keanehan apa-apa, kecuali kaos lusuhnya yang tiba-tiba sudah tergantung sendiri di gantungan baju pada pintu kamar. Itu pun ia lupa, apakah ia meletakkan begitu saja kaos itu di atas kasur, atau ia memang telah menggantungnya? Ia tidak ingat pasti karena malam itu sudah mengantuk.
Ini adalah malam kedua Lindan menempati rumah ini. Tadi sepulang kerja, ia langsung rebahan di atas kasur. Tiba-tiba terdengar suara petir yang seolah-olah berada persis di atas genting kamarnya. Bersamaan dengan itu gerimis turun. Airnya mericih ditingkahi angin kencang. Pintu jendela kamar terbuka sendiri. Buru-buru ia menutupnya sambil mengumpat pada diri sendiri karena lupa menguncinya. Saat tangannya meraih daun jendela. Petir kembali menyambar. Posisinya persis di depan jendela kamar. Dan, mendadak pintu itu menutup sendiri dengan keras, membuatnya terjengkang.
Ia mengabaikan pintu jendela. Buru-buru diraihnya sarung, lantas meringkuk. Tak lama berselang lampu padam. Sialnya, genting kamarnya bocor. Mau tak mau ia harus mencari tempat untuk menampung airnya.
Dengan langkah gamang, Lindan menyusuri kegelapan menuju dapur. Ia tak mengerti kenapa langkahnya terayun ke sana. Padahal seingatnya, ia belum memiliki perabotan. Namun, ia tak mau terlalu lama berpikir.
Dalam keadaan gulita Lindan meraba-raba rak yang berada di samping washtafle. Tak ada apa-apa, kecuali sebuah panci yang dipenuhi sarang laba-laba. Tanpa membuang waktu, ia meraihnya, kemudian ia gunakan untuk menadah tetesan-tetesan air gerimis.
Beberapa menit kemudian, lampu kembali menyala. Ia bersorak gembira. Namun tiba-tiba wajahnya pucat pasi ketika pandangannya tertambat ke dalam panci yang airnya mengental, berwarna merah seperti darah. Baunya anyir. Seketika merinding bulu romanya. Ia mengerjap-erjap, berusaha tidak memercayai penglihatan sendiri. Pada kerjapan ketujuh, air tersebut kembali berwarna bening.
Lindan merasa takut. Ia segera meringkuk di sudut kasur sambil menutupi badan menggunakan sarung kumal. Ia pejamkan mata kuat-kuat, mencoba menghalau pikiran-pikiran asing yang baru kali ini hinggap di benaknya. Cerita-cerita seram yang pernah ia dengar pun mendadak mengiang-ngiang.
Perlahan tapi pasti, ketakutan Lindan semakin besar. Hatinya mulai resah, mengingat kembali cerita tentang suara-suara rintihan, tangisan menyayat, penampakan, dan laron-laron misterius. Juga cerita tentang terbuka dan tertutupnya sendiri pintu depan rumah. Selama sejam terakhir, ia diteror pikirannya sendiri.
Sekarang Lindan baru ingat, kalau dirinya tak punya sarung. Sudah lama ia tak memilikinya. Ia sudah tak pernah salat sejak ditinggalkan istrinya lima tahun lalu. “Jadi, sarung siapa ini?” gumamnya. Seketika, bulu-bulu halus di pergelangan tangannya berdiri.
Mengingat sarung, serta-merta ingatan Lindan melayang ke peristiwa tujuh tahun lalu.
“Abang kubelikan sarung agar semakin rajin salat malam.” Puspi menyodorkan sebuah sarung baru kepada Lindan. Istrinya itu mengulum senyum bahagia.
Lindan terkejut sekaligus bahagia. Diterimanya sarung tersebut dengan pandangan tak percaya. Ia mengusap-usap kain bermotif kotak-kotak, berwarna cokelat. Bahannya sangat halus, lebih halus dari pipi istrinya.
“Kau punya uang?” Lindan bertanya heran, mengingat ia tak pernah memberi uang lebih. Gajinya bahkan selalu habis sebelum waktu gajian tiba. Tetapi ia tak pernah mengeluh demi mendapati istrinya selalu tampak bahagia. Perempuan itu menerima dirinya dengan segala kekurangan.
“Kujual rumah peninggalan ayah, Bang!” Puspi tersenyum getir, namun guratan bahagia lebih menguasai wajah cantiknya. “Akan kuserahkan uang itu kepada Abang untuk dijadikan modal usaha. Sekarang aku sudah tidak memiliki apa-apa. Orang tua sudah tidak ada. Rumah warisan sudah dijual. Hanya Abang satu-satunya yang kumiliki. Berjanjilah kau tetap berusaha menjadi lelaki salih, meski ketampananmu akan dimakan usia.”
“Aku berjanji, Puspi!” ucap Lindan sembari memeluk Puspi.
Sejatinya, Lindan adalah lelaki penyayang. Ia juga seorang yang taat kepada ajaran agama. Dulu ketika masih miskin, ia selalu menyempatkan salat berjamaah di masjid. Malamnya di rumah, ia bersujud di atas sajadah untuk melakukan salat tahajud. Selepasnya, ia menghabiskan dua pertiga malam untuk bermunajat. Hidup dan mati ia serahkan kepada Tuhan.
Uang pemberian istri, Lindan gunakan untuk modal usaha. Ia menjadi pemasok jersey dan merchandise tim-tim sepak bola. Usahanya berkembang pesat. Namun kesibukan telah membuatnya lalai. Awalnya ia mulai jarang menunaikan salat malam. Lama-lama, ia meninggalkan semua salat wajibnya.
Setiap kali Puspi menasehati, Lindan hanya diam, tidak mengindahkannya. Itu membuat istrinya kesal. Pertengkaran pun kerap terjadi. Bertambahnya kekayaan tidak lantas membuatnya bahagia. Ia semakin semangat mengejar harta, tetapi hatinya merasa hampa. Kehampaannya mencapai kesempurnaan saat istrinya meninggalkannya.
“Abang sudah berubah! Aku selalu terbiar sendiri, memeluk bantal guling pada malam-malam sepi. Sekarang aku sadar, jika Tuhan saja bisa Abang tinggalkan, apalagi aku? Lebih baik aku pergi saja dari rumah ini.”
Kepergian Puspi tidak begitu merisaukan Lindan, awalnya. Namun seiring berjalannya waktu, ia merasa gelisah dan kesepian. Tidak ada lagi orang yang setiap pagi menyediakan kopi panas. Tidak ada lagi orang yang merelakan keningnya untuk dikecup setiap akan keluar rumah. Tidak ada lagi orang yang menyambutnya di pintu ketika ia pulang. Tidak ada lagi kepala di lengannya ketika ia terjaga dari tidur. Dan tidak ada lagi senyum manis yang menyambutnya setiap bangun pagi.
Lindan menjadi murung. Ia dicekam kesepian. Semangatnya menurun drastis. Baru ia sadari, kekayaannya tidak bisa mengekalkan kebahagiaan. Ia butuh seorang untuk berbagi rasa. Ia butuh bahu untuknya bersandar. Ia butuh senyum yang akan meredam semua penat. Lebih mengenaskan lagi, ia kehilangan sandaran hidup. Setelah istrinya pergi, Tuhan pun serasa jauh.
Sarung bermotif kotak-kotak berwarna cokelat, simbol harapan seorang istri yang ingin memiliki suami salih. Sarung itu membuatnya sedih. Namun alih-alih mencari istri dan bertaubat, ia semakin kehilangan semangat hidup. Dengan sarung itu, ia pernah mencoba gantung diri. Beruntung, pembantu rumah memergokinya.
Lindan depresi berat. Usahanya terbengkalai, sampai bangkrut. Satu persatu kekayaannya habis. Puncaknya, ia menjual rumah. Dan, ia pun menjadi pengangguran. Dalam keadaan seperti itu, ia berusaha mencari keberadaan istrinya. Seluruh sudut kota sudah ia datangi. Sepanjang jalan sudah ia telusuri, namun sampai saat ini ia tak menemukan jejak Puspi.
Untuk bertahan hidup, Lindan bekerja apa saja. Kadang ia menjadi kuli bangunan, kadang ia memulung. Apa saja ia lakukan agar bisa bertahan hidup. Ia tak mau menyerah sebelum menemukan Puspi. Ia tak mau mati sebelum meminta maaf kepada istrinya.
Nasib baik mulai berpihak kepadanya. Bos pengepul barang-barang rongsok mengangkatnya sebagai juru timbang. Ia mulai mendapatkan penghasilan tetap, sehingga bisa menyewa rumah ini.
Tuk!
Ketukan tetesan air gerimis tak serapat tadi, meskipun masih terdengar mencekam. Perasaan takut masih menguasai hati Lindan. Sekarang ia sadar, sarung yang menutupi badannya mirip dengan sarung pemberian istrinya dulu.
Dengan berdebar-debar, Lindan memerhatikan sarung secara seksama. Semakin lama, ia semakin yakin kalau sarung itu miliknya. Tetapi bagaimana sarung ini bisa berada di rumah ini?
“Aku yang membawa sarung itu ke sini!” terdengar suara menggema ke seluruh sudut kamar. Suaranya berat, seperti diucapkan laki-laki dewasa.
Lindan terkesiap. Reflek, ia menarik kedua kakinya. Pandangannya mengawasi sekitar, mencari sumber suara. Tak ada siapa-siapa. Seluruh bulu-bulu halus pada tubuhnya menegak. Tengkuknya mulai basah oleh keringat dingin.
“Kau serakah, Lindan!”
Lindan beringsut. Wajahnya pucat. Ia semakin takut mendengar namanya disebut. “Siapa kau? Jangan ganggu aku!”
“Kau serakah, Lindan! Kau tidak tahu diri!”
Lindan celingukan. Ia merasa suara itu sangat dekat, tetapi ia tak mendapati siapa-siapa. “Tampakkan dirimu! Jangan menakut-nakutiku! Aku tidak percaya hantu!”
“Aku bukan hantu! Kau yakin ingin melihatku?”
Lindan terdiam ragu. Matanya terus mengawasi sekeliling. Perasaan takutnya semakin sulit diredam.
“Kau akan menyesal setelah melihatku!”
Tiba-tiba, dari ventilasi kamar menyeruak sekumpulan laron. Jumlahnya sangat banyak, memenuhi ruangan kamar. Lindan menjerit histeris ketika laron-laron itu merangsek ke arahnya.
Akhmad Al Hasni
Kendal, 01 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar