Lelaki dan Tas-tas yang Memberatkannya
Banyak
yang datang kepadaku, tetapi hanya Ia yang membuatku tertarik. Usianya sudah
tidak terbilang muda, meskipun belum layak disebut tua. Penampilannya cukup keren.
Rambutnya tersisir rapi, sedikit mengkilap. Pakaian yang ia kenakan serasi
dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Tampaknya ia tipe lelaki yang paham
mode.
![]() |
pixabay.com |
Wajahnya
lumayan tampan. Kuperhatikan sejak tadi, tidak sedikit wanita yang melirik ke
arahnya. Bahkan pernah kulihat ada seorang gadis remaja pendiam yang sering
mencuri pandang ke arahnya. Sepertinya ia tak menyadarinya karena terlalu asyik
memandang langit.
Aku
tak tahu namanya, tapi ia tahu namaku. Aku ada untuknya, juga untuk siapa saja,
tetapi aku tak berhak meminta siapa pun ada untukku. Bagiku hidup ini sesederhana
perihal datang dan pergi. Setiap kedatangan akan berakhir dengan kepergian. Dan
ia adalah salah satu kedatangan yang akan tergantikan oleh kedatangan lain.
Aku
selalu peduli kepada semua yang datang menemuiku, meskipun aku tahu tidak semua
peduli kepadaku. Termasuk lelaki berwajah lumayan tersebut. Aku bisa menebaknya
karena ia memandangku dengan sorot kosong.
“Hai!”
sapaku ramah.
Ia
melirikku sekilas, kemudian kembali menambatkan pandangan ke langit. Tampak
sekali kehadiranku tak diharapakannya. Padahal jarang-jarang aku menemui orang.
Orang-oranglah yang menemuiku. Entah seberapa rumit persoalan yang sedang ia
tanggung sampai-sampai tak acuh kepadaku.
“Kamu
siapa?” Ia mendongak, menatapku lekat-lekat.
“Aku
Senja.”
“Bohong.
Senja lebih cantik darimu.”
“Cantik
hanya perihal sudut pandang dan selera.”
“Aku
tahu itu.” Ia kembali memandang langit.
“Langit
tak pernah pergi. Ia akan ada di sana ada atau tanpamu. Ia jauh dari
jangkauanmu. Sementara aku selalu datang dan pergi dan selalu dekat dengan
siapa saja, termasuk dirimu.”
Ia
menyisir penampilanku. Pandangannya tidak tampak mesum, lebih cenderung berpikir,
barangkali sedang membandingkanku dengan sesuatu atau seseorang. “Iya, kamu
mirip Senja!”
“Sudah
kubilang, aku ini Senja.”
Lagi-lagi,
Ia memandang langit. Aku sadar, Ia tak ingin diganggu. Kedatangannya ke sini
bukan untuk menikmati keindahanku. Barangkali ia tersesat, entahlah.
Langit
semakin gelap. Gaun jinggaku berangsur keabu-abuan. Sebentar lagi aku harus
pulang. Aku bergegas pergi.
“Jika
benar kau Senja, seharusnya kau bisa membantuku.”
Baru
berjalan beberapa langkah terpaksa aku berhenti demi mendengar namaku disebut.
Aku menoleh kepadanya. Wajahnya tak seabai tadi. Tatapan matanya pun
mengisyaratkan harapan, tidak sekosong tadi.
“Apa
yang bisa kubantu?”
“Entahlah
kau bisa membantu atau tidak, tetapi kupikir kau bisa menjadi teman bicara yang
baik.” Gesturnya seolah sedang memohon. “Maaf jika tadi aku kurang peduli kepadamu.
Aku sedang menanggung beban berat.”
“Waktuku
tidak banyak,” ujarku.
“Sampai
berapa lama kau masih di sini?”
“Sampai
cakrawala menyembunyikan matahari.”
Ia
melirik arloji pada pergelangan tangan. “Masih ada waktu sekitar lima belas
menit lagi.”
Aku
mendekatinya, tidak bisa terlalu dekat seperti yang kuingin. Terlalu banyak tas
di sekitarnya. Semuanya berisi dan tampak berat. Tanpa menghitungnya aku yakin
jumlahnya lebih dari satu lusin.
“Banyak
sekali bawaanmu!” ujarku.
“Kamu
tidak merasa jijik?” Ia menyipitkan sebelah mata.
Aku
menggeleng.
“Sungguh?
Padahal tas-tasku menguar aroma busuk, bisa terendus dalam radius seratus meter.
Dulu aku selalu muntah, sekarang sudah terbiasa.”
“Aku
terkejut mendengar pengakuanmu.”
“Kenapa?”
“Karena
kuperhatikan tak ada satu pun orang yang merasa terganggu oleh tas-tas itu.”
Dahi
kirinya mengernyit. Hidungnya mengendus-endus ke arah tas-tas di sekitarnya.
Beberapa detik kemudian ia menutup hidung.
“Barangkali
hanya perasaanmu saja,” tebakku. “Kalau boleh tahu apa sebenarnya isi tas itu?”
Perlahan-lahan
Ia menyingkirkan telapak tangan dari kedua lubang hidung. Sekarang ia menatapku
aneh. “Kamu yakin ingin tahu?”
Aku
mengangguk.
Ia
menatapku ragu.
“Kalau
kau tidak keberatan untuk mengatakannya.” Aku berusaha meyakinkannya kalau aku
siap mendengarnya.
Ia
melenguh panjang. Pandangannya kembali tertambat ke langit-langit. sementara
waktu terus berjalan. Matahari perlahan turun, mendekati cakrawala. Sebentar
lagi gelap berkuasa.
“Waktuku
tinggal sebelas menit.”
Ia
menatapku sedih. “Tas-tas ini tidak mau kutinggal. Talinya saling terkait. Dan
yang paling besar terikat di tanganku. Tak bisa kulepas. Begitu beratnya sampai
aku harus menyeretnya saat berjalan.”
Kuperhatikan
memang tas-tas itu saling terkait antar talinya. Tak bisa kubayangkan betapa
tersiksanya lelaki itu harus menyeretnya ke mana pun ia pergi.
“Pisau
paling tajam pun tak bisa memotong tali-talinya. Selain berat tas-tas ini
sangat bau. Aku sudah lelah. Rasanya aku ingin mati saja ketimbang harus
menanggung ini semua.”
“Sejak
kapan kau menanggung ini semua?”
“Sejak
aku bertaubat!”
Pengakuannya
sangat mengejutkanku.
“Dulu
aku pendendam, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
Sampai akhirnya aku sadar sedang menderita penyakit hati. Aku pun bertaubat.
Pada suatu ketika aku bertemu seorang guru agama. Beliau mengatakan bahwa
taubatku pasti diterima Tuhan, tetapi dosa kepada manusia baru bisa diampuni
jika aku sudah meminta maaf kepada orang-orang yang kuzalimi.”
“Dan
kau meminta maaf kepada mereka?”
Hening.
Ia tak menjawab pertanyaanku, hanya air mata yang mengalir.
Aku
mendekatinya. Pelan-pelan kuraih pergelangan tangannya, sekadar menguatkan
hatinya.
“Bagaimana
aku bisa meminta maaf kalau mereka sudah mati akibat perbuatanku.” Ia
memejamkan mata kuat-kuat. Tampak sekali ia sedang menyesali perbuatannya di
masa lalu.
“Kau
membunuh mereka?”
Ia
menggeleng. “Mereka mati karena kelaparan, penyakit, kecelakaan, dan berbagai
sebab. Semuanya tak lepas dari perbuatan zalimku. Aku membunuh mereka secara
tidak langsung.”
“Tapi
kau menyesalinya. Aku percaya Tuhan maha tahu.” Kuremas pergelangan tangannya
dengan lembut.
Dengan
sopan Ia melepaskan tanganku dari pergelangan tangannya. “Aku sangat
menyesalinya. Aku takut dosaku pada mereka akan menjerumuskanku ke neraka.
Lebih baik aku disiksa di dunia dari pada di sana. Maka setiap malam aku
memohon kepada Tuhan untuk menyegerakan siksaku. Hingga akhirnya, di suatu pagi
aku terbangun dengan puluhan tas terikat di badanku. Baunya sangat menyengat
dan sangat berat.”
“Kau pernah membuka isinya?”
Ia
mengangguk dengan air mata terus berlinang. “Isinya kotoran busuk!”
Akhmad Al Hasni
Kendal, 31 Oktober 2018,
10:10 wib.
Komentar
Posting Komentar