Malingin Malin!

Di luar, hujan terdengar gaduh, meriuh antara lorong- lorong panjang kota tua. Malam kian mengabut, pelacur semakin akut di gerai ranjang; konyol terkapar. Tikus kunjung lapar, huru hara di selokan nalar, berbincang-bincang tentang uang.

“Minitor Ing. Kau duluan jalan, biar aku yang ngurus transaksinya.”

“86 Mal. Aku tunggu di tempat biasa.”

Pajero hitam milik temanku melesat di bawah deras guyuran hujan.
Selang beberapa waktu, transaksi pun usai. Urusanku dengan si Gendut Mami yang bertato kupu-kupu menyedihkan terlihat di lehernya pun sudah berbuah kata sepakat. ” Mau pesta ya mas? Pesan wanita borongan segala” selidiknya sembari menghitung beberapa uang.
Aku hanya mengedip, lalu berjalan keluar menelusuri gang kecil. Bertubi hujan menerpa, menerka-nerka tawa kecilku.
pixabay.com

“Diam di tempat. Anda sudah kami kepung.” Dari belakang, beberapa orang membekuk tubuhku hingga tersungkur. Tanganku di ikat, kepalaku di songkok, semua terlihat gelap, hujan kian nyaring, berkawan dengan serine.

*
Namaku Jamal Santoso. Hidup asing sudah menjadi bagian keseharianku. Karena terlahir kaya sepertiku seringkali di doktrin “Berteman itu harus sederajat dengan kita.” Dari pada menyekal orang tua, lebih baik mengungsi dari keramaian. Setidaknya itu rasa nyamanku.
Aku iri dengan mereka yang tertatih mengelola usaha sendiri, tentunya bukan karena embel-embel bantuan dari keluarga. Itulah saat ini sedang aku perjuangkan, menyewa ruko kecil, dengan sedikit renovasi dan inilah usahaku “Rumah kopi masa kini” yang telah memiliki cabang di berbagai kota.

Ayahku bekerja di perusahaan terbesar di kota ini. Jabatannya cukup menarik; wakil direktur. Sedangkan ibuku hanya ibu-ibu sosialita yang mondar-mandir bersama teman arisannya.

Dalam jangka waktu tertentu, aku selalu di ajak ayah ke villa perusahaan, untuk pertemuan dengan rekan-rekan kerjanya. Layaknya di sebut sebuah pesta bulanan. Dan sialnya aku harus mengindahkan ajakan ayah.

Malam cukup apik, bulan utuh di pucuk-pucuk pinus. Beberapa kolega-kolega ayahpun terlihat belum semuanya berdatangan. Setidaknya kami belum terlambat.
Usai saling menyapa dengan sedikit berbincang-bincang, aku memilih menikmati sepoi angin di luar.

“Yah, aku ngadem di luar bentar ya.”
“Jangan lama-lama ya, gak enak.” Timpal ayah. Aku pun berlalu menuju taman samping villa itu.

Aku duduk di bawah pohon randu, di samping kolam kecil dengan taburan teratai warna-warni dan tanaman rambat berpadu di ketepian tampak kian teduh. Selayang pandang ke depan, Di ketinggian puncak, aku seperti berlayar di pendar lampu-lumpu kota. Interior taman yang indah. “Akh! Villa ini terlalu malang di gunakan untuk pesta tak karuan ini.” Serapahku sendiri.

“Ya, aku sepakat.”
Seseorang terdengar menyeru ucapanku.
Sentak, aku tertagun mendengar suara itu, celingak-celinguk memastikan siapa yang berbicara. Aku sudah memastikan, tidak seorangpun di taman ini.
“Mungkin perasaanku saja.” Aku menyandarkan tubuh di bawah pohon itu, angin berlalu.
“Hey! Mencariku?”
Seseorang meloncat dari atas pohon.
Aku terperanjat, darahku mengalir cepat, berkali-kali mengupat yang sesat.
“Haha, maaf mengagetkanmu, sebelum kau ke sini, aku sudah berada di pohon itu.” Sanggahnya menenangkan situasi.

Samar, ku lihat seseorang berdiri di hadapanku, menjulurkan tangang kanan yang penuh dengan tato, terlihat sedikit kekar cocok dengan kaus oblong dan celana jens pendek yang dia pakai, tapi tidak dengan sendal jepit miliknya.
“Aku Ing. Kau Jamal Santoso anak dari wakil direktur Sukajadi Grup bapak Santoso bukan?!”

Aku sedikit heran, dia cukup tau tentang aku dan keluargaku, padahal, aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya.

“Ing?” Ku yakinkan lagi namanya.
“Sebut saja Intelegent Gersang. Selebihnya kau tidak perlu tau.”
Di situlah aku pertama kali mengenal si Ing. Dia datang dengan menawarkan pertemanan.
“Lain kali, aku ingin berbicara banyak denganmu” serunya seraya berjalan meninggalkanku.
Malam kian gusar, aku kembali bergabung ke ruangan pertemuan. Walau membosankan.

 Setidaknya aku tidak ingin mencoreng muka ayah.
Beberapa hari usai malam itu, seperti biasa, menjelang malam aku sudah menyepi di ruangan kerjaku. Mendata laporan dari Staf-staf cabang.

“Driing! Driing!”
“Ya halo, selamat sore.”
“Hey! Ini aku, Ing. Yang di villa kemarin, masih ingat?” Serunya di balik gagang telepon.
“Oh! Iya, ada yang bisa saya bantu?” Jawanku dengan sedikit heran. Selain staf dan karyawan kafe, tidak ada lagi yang tahu nomor telepon ruang kerja ku ini.
“Banyak. Sebelumnya aku sudah mengatakan, aku akan berbicara banyak denganmu. Anggap saja ini penting. Apakah kau mempunyai waktu luang?”
“Dan aku sudah berada di kafe milikmu.” Sambungnya membuatku lebih penasaran lagi.
Aku beranjak keluar ruangan, di kejauhan dia tampak melambai, seperti sudah menduga kedatanganku dari mana. Suasana di kafe saat itu tidak begitu ramai. Aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
“Aku tidak mau bicara di sini, terlihat fulgar, aku butuh tempat yang layak untuk satu hal penting.” Dia berdiri dengan tatapan misteri.
Dengan rada kebingungan di kepala, aku perkenankan ia masuk ke ruang kerjaku. Ruang ini sudah cukup privasi untuk (katanya) hal penting itu.
“Interior ruangan yang bagus. Cukup nyaman” basa-basinya sembari menyandarkan tubuh ke sofa.
“Ok! Langsung saja. Mungkin kau masih kebingungan siapa aku dan maksud kedatanganku.” Aku mangguk dan mendengarkan lagi penjelasan tentangnya.
“Mungkin kau tak begitu mengenalku, tapi sebaliknya, aku telah lebih jauh memperhatikanmu.” Sambungnya karena menyadari ke terkejutanku. Karena selama pertemuan di villa, aku tidak pernah sakalipun melihatnya, kecuali malam kemunculannya se tiba-tiba itu. Dan di malam itu pun dia tidak terlihat dalam ruangan pertemuan itu.
“Lalu, apa mau mu?.” Bingung dan rasa penasaranku kian menggebu.
“Aku mau kau menjadi partnerku.”
Dia melempar subuah map dari balik jeket kulitnya. Matanya membara keyakinan. Perlahan aku buka map itu.
“Apa ini?.”

Jantungku memompa cepat, marah, kecewa, kasihan, miris; berpadu-satu dalam kepalaku. Dia menyugukanku dengan list para tersangka korupsi, dengan detail nominal hasil korupsi itupun terpapar rapi di list itu. Tanda tanya kian memuncak di kepalaku.

“Apa maksudnya dengan list bejat ini?” Kutukku menunjuk map itu.
“Haha! Aku suka semangatmu. Mungkin kau sudah mengetahui sebelumnya, bahwa akhir-akhir ini para tikus telah banyak di ringkus oleh kucing, dan aku ingin kita menjadi musang yang lebih dulu menjamah makanan tikus.”
Pada saat itu aku benar-benar belum sepenuhnya mengerti apa tujuannya. Lamat sangat lamat, dia berualang kali menjelaskan, meyakinkan keraguanku kepadanya. Aku belum sepenuhnya yakin dengan sebuah rangkaian renca yang begitu apik dia sugukan.
“Aku ingin kita menjadi maling. Tepatnya, malingin maling dari sampah rakyat ini.”

Dia menggebu, suaranya terdengar berat, menghantam sanubariku untuk bertindak. Aku adalah salah satu orang dari jutaan rakyat yang mengutuk para koruptor di tanah pertiwi ini.

“Lalu, setalah mendapatkan uang itu, apa yang kau lakukan? Segahku di sela-sela pembicaraannya.

“Ikutlah denganku keluar sebentar. Kau akan mendapatkan semua jawabannya.”

Pada saat itu gelap sudah mengawang, burung-burung beranjak pulang. Entah bagaimana, aku mengikuti kemauannya, mungkin karena penasaranku tak kunjung reda.
Kita menelusuri jalan-jalan di kota tua ini, mobilnya melesat seperti sudah tahu tujuanya. Dia menumbus gang-gang kecil, kumuh, terlihat menakutkan. Mobil berhenti di pinggiran. Kami turun dan menapak diantara bekas genangan hujan. Dia membawaku melewati lorong-lorong panjang, jalan terlihat samar. Aku sempat ragu, dia akan memperoleh kepuasan untuk membunuhku. Seketika ketakutanku di tepis oleh segelintiran pasangan yang nongkrong di berbagai pojok. Bercumbu, penuh gairah, dan ada pula yang menawarkan diri kepada kami.

“Kenapa kau membawaku ke sini?” Bisik ku karena tidak menyangka dia akan membawaku ke tempat yang senonoh itu.

“Tidakkah kau lihat! Ini baru satu tempat. Lihatlah! berapa banyak kebutuhan menjadi alasan seorang untuk menjadi kotor, menggadaikan kehormatan untuk uang. Buka matamu Jamal. Dimana pemerintah?!”

Aku merinding mendengar lirih suaranya.

“Apa hubungannya dengan ini?” Tegasku meyakinkan.
“Aku ingin menebus semua para tunasusila ini. Dan mendirikan pelatihan keterapilan kemudian menyuluhkan modal untuk usaha mereka. Dengan semua uang jerih payah koruptor itu, aku pikir sudah memadai semuanya.” Malam kian bergeming kala dia menyerukan mimpi kepadaku. Aku terperangah bersandar di dinding lorong sempit. Bagaimana dia memiliki nalar yang sama sekali tidak akan terpikirkan oleh siapapun.
“Jadi, kau mau mencuci kotoran dengan air keruh?” Cegahku meyakinkan lagi.

“Setidaknya kita tahu uang korupsi itu kemana.”

Dia menjulurkan tangan, kali ini dengan menawarkan kata sepakat. Dan akupun menyetujuinya.

Waktu kunjung berlalu, renca malingpun kian rampung. Beberapa target telah di ratakan. Kami memiliki banyak anggota handal yang sudah terlatih, tapi tak pernah saling tatap muka. Kami berkemunikasi melalui pesan kode dari tim cyber. Hanya si Ing yang mengenal individu dari kami. Sedangkan aku bergerak di bidang segala transaksi.

“Mal, bagaimana menurutmu dengan ini? Ini target terakhir kita.” Dia memberikanku list mangsa baru, yang belum terendus oleh pihak kepolisian. Tapi kami semua bukti kuat telah dulu kami dapatkan. Aku tercengang, hatiku kian mencabik. Bagaimana mungkin nama ayahku terdaftar sebagai target operasi. Dadaku berkecamuk, bagaimana ayah juga terjerumus dalam hal yang dihinakan masayarakat ini.

“Lakukan bagaimana semestinya Ing.”

“Tapi ayahmu?”

“Ayahku privasiku, koruptor itu target kita. Jadi lakukan saja.” Napasku sesak, kian berat aku harus menerima apa yang telah terjadi.

Mengenyampingkan semua gejolak di hati.
Selang beberapa waktu, pengalihan uang sudah rapi terkendali. Malam itu, Aku bersama Si Ing menjamah induk dari kupu-kupu malam. Itu tempat perlabuhan terkhir kami. Menawarkan wanita dengan jumlah uang yang besar. Malam itu, seperti biasa, si Ing mengiring para pekerja sek itu ke mobilnya. Dan aku, tentunya menyelesaikan transaksi dengan mucikari biadap.

*

Malam selalu penuh dengan teka-teki yang panjang. Aku di segel di dalam bui, terperangah di bully sepi.

“Jamal, ini ada telepon untukmu.” Salah satu polisi penjaga menyodorkan gagang telepon kepadaku.
“Halo!”
“Halo! Kau akan segera bebas Mal?”
“Bangsat kau Ing.” Aku mengupat sendiri di balik jeruji.

Dua hari usai kejadian, aku di bebaskan, karena tidak ada secerca buktipun atas tuduhan penculikan uang dan prostitusi. Aku menghela napas. Mengurai cerita, lalu tertawa, “Intelegen Gersang biadap” cetusku sendiri.
Sampai hari itu, aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentangnya.


Budiman
Batam, 13-11-2018
Pukul 00: 45 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis