Garbage

Setiap  orang  tidak  ingin  memiliki hal yang satu ini meski  dengan  mudah  didapatkan. Ucapan, tindakan  bahkan hanya  berkedip  saja, bila diharamkan, sesegera  mungkin  hal  ini  telah  dimiliki.

Setiap  orang  ingin  membuangnya  jauh-jauh, sebab berat  bagi  mereka  memanggulnya  seumur  hidup. Karena  kelak, di  suatu  masa  yang  tak  teraba  bahkan  oleh  akal  kita, semua  akan  dimintai  pertanggungjawaban. Dan  hal  yang  sedang  dimaksud  adalah….

***
pixabay.com

Ini malam  yang  begitu  sunyi, Darma  tak  menemu  bintang  di  langit  kelam. Ia  hanya  melihat  pendar cahaya  perak rembulan bergelayut  di  sana. Sesekali, angin  malam  menerpa wajah  melipunya, dan  itu  membuat  dahinya  mengernyit, matanya  menyipit, kedua  tangan  bersedekap, oh, malam  panjang  dengan  gigil menambah  ketiadaan.
Lampu-lampu  di  pinggir jalan  bersemburat  remang-remang, membuat bayangan  pria  berusia  enam  puluh  tahun  itu  hidup  di  trotoar. Bayangan  hitam  yang  senantiasa  mengikuti  langkah  kakinya, bersebelahan dengannya  tapi  tidak  dapat  tersentuh, bahkan  untuk  memukul  mundur  pun  tidak  mampu.

Ke  mana  lagi  kakinya  harus  melangkah? Setiap  jalan  telah  ia  jejaki. Satu hal yang  ingin  ia  cari. Tempat  sampah!

Sederhana  bukan? Laki-laki itu  hanya  mencari  tempat  sampah  untuk  membuang  karung  yang  sedang  ia  panggul. Entah, sudah  berapa  lama  sampah  itu  ia  miliki. Pastinya  adalah, setelah usia  akhil  baliq  dan  ia  sudah  mengerti  mana  yang  buruk  juga  baik, karung  itu  terisi  sampah  dengan  sendirinya.

Sekarang, sampah  itu  sudah  tidak  terhitung lagi  banyaknya. Soal  berat, tidak  usah dipertanyakan, sudah  barang  tentu  tak  dapat  dikatakan. Tahukah  apa  yang  ia  dapati  sekarang? Di  hari tua  yang  sepi, di  usia  renta  yang  papa, tentu  saja  penyesalan!
“Oh, andai  dulu  aku  tidak  berbuat  demikian. Tuhan!” rintihnya  sembari  tetap  memanggul  karung. Kaki  ringkihnya  terus  menyusuri  setapak  jalan  di  trotoar yang  lengang.

“Tuhan…,” begitu  saja  rintihnya. Terdengar  berat, hendak  berkata  banyak  tapi  tercekat. Pangkal  tenggorokannya  tak  mampu  bereaksi, lalu  mata  saja  yang  bisa  berbicara.
Bagaimana  mata  bisa  berbicara? Tentu  saja  dengan  airmata. Tuhan  tidak menciptakannya sebagai  hal  yang  sia-sia. Bilamana orang-orang beranggapan bahwa  airmata  adalah  wujud  kelemahan, ketidakberdayaan…. Hei! Apakah  mereka  sedang  membuat penghakiman  tentang  ciptaan  Tuhan? Apa  yang  salah  daripadanya? Bahkan  laki-laki tua  itu  pun  selalu  menangis  di  sisa  usianya.

Selain  berjalan, memanggul  dan  terbata-bata  menyebut  asma-Nya, matanya  tak  pernah  berhenti  berlinang airmata. Sesekali  ia  merasa  takjub, bahkan  ketika  waktunya habis  untuk  menangis, mengapa  mata  air  itu  tak  pernah  kering? Habis  barangkali? Tidak! Airmatanya  tetap  deras, seolah-olah mengerti  bahwa  sesak  dan  sesal  di  hidupnya tak  akan  berakhir.

Ia  sering  bertanya, sampai  kapan perjalanan  ini  menemui  muara? Hingga  ia  bisa  lenyapkan  karung  sampah  di  panggulnya  itu. Sampah  bukan  sembarang  sampah, sebab  untuk  membuangnya  sangat  tidak  mudah.

Beberapa kali  ia  menjumpai  tempat  pembuangan sampah, baik  sementara  maupun  akhir, hasilnya? Tetap  saja, tidak  cukup untuk  menampung  sampah  miliknya. Atau  justru  penolakan  demi  penolakan yang  ia  terima. Malang  betul  ia!

Di  suatu  senja, usai  hujan  mengguyur  jalanan, ia berjalan  melewati  lorong  dan  tembus  sampai  kelokan. Di  sana  ia  melihat  sebuah  kendaraan  besar, semacam truk, tapi  lebih  besar  lagi. Tertulis: Garbage, feed  me  with  your  trash!

Matanya  membelalak, sebentar  kemudian  ia  melonjak, girang  bukan  kepalang. Bagaimana  tidak? Truk  itu  adalah  kendaraan  pengangkut sampah. Bacakan? Feed  me  with  your trash!  Itu  artinya, segala  macam  sampah  siap  diangkut  dan  diterima.
“Ah, semoga  saja  ini  adalah  perjalanan terakhirku  dan  sampah  ini,” ia  memejamkan  mata  dan  lanjut  berkata, “Semoga  dibuang  pada  tempatnya.”

Ia  berjalan  mendekati truk  sampah  itu. Tinggi  badannya  hampir 160 cm  hanya  sepadan  dengan  tinggi  roda  truk. Alhasil, kepalanya dibuat  mendongat  untuk  melihat  seberapa  megahnya  kendaraan  pengangkut  sampah.

“Ini  tinggi  sekali! Bagaimana  cara  membuangnya? Di  mana  orang  yang  mengendarainya?”

Tiba-tiba, seseorang wanita yang  sekujur tubuhnya  bercahaya  datang  menghampiri. Lengkung  bibirnya  membentuk  segaris  senyuman, hidungnya  seruncing  paruh  elang, mata  yang  menatap  penuh  makna  itu  berteduh  pada  deretan  alis  dan  bulu  mata  hitam dan  lebat.

Wanita  itu  menyodorkan sebuah  kunci  dengan  tangan  kanannya. Darma  menatap  cemas, bukan, lebih  tepatnya  bingung  dicampur curiga. Dalam  benaknya  bertanya-tanya maksud  kedatangan si  wanita  dan  mengapa  ada  kunci  yang  diserahkan  padanya?
“Maaf…,” Darma  berkata  perlahan. “Saya  hanya  mau  numpang  membuang  sampah  ini.”

“Dan… Ini  kunci  apa, Nona?”

Wanita  itu  masih  diam  dengan memasang  wajah  yang  sama, tersenyum  manis  sembari tangannya  tetap  menyodorkan kunci.

“Nona… Ini  apa?”

“Ambil!” suaranya  mengalun  pelan, terdengar  merdu  bak  nyanyian  pecinta  kesunyian. Barangsiapa  mendengarnya, pasti  akan  merasa  tenang. Tak  terkecuali  Darma. Beberapa  jenak  ia  terbuai  dengan  suara  wanita  itu, rasanya  amat  damai.
“Kau  boleh  membawa  truk  sampah  ini  untuk  membuang  sampahmu.”
Darma terperanjat, seperti  mendengar  gelegar  petir  di  musim  kemarau panjang.

“Aa… Aa… Apa? Apa  maksudmu Nona?”

“Sampah  itu  milikmu, kau  yang  mengumpulkannya  jadi  kau  juga  yang  harus membuangnya.”

“Kenapa  truknya juga  untukku? Aku  kan  hanya  mau  membuang sampah  ini?”
“Enak  saja! Kau  yang  punya  sampah  lalu  kau  berikan pada  orang  untuk  membuangnya?” Wanita  itu  berkacak  pinggang. “Itu  adalah  sampahmu. Kau  tumpuk  bertahun-tahun sepanjang  usia. Kau  harus  bertanggungjawab  dan  hanya  kau  yang  bisa  membuangnya sendiri.”

“Selama  ini  kau  ke  mana? Baru  setelah  tua  kau  sesali! Hidup  selama  ini  kau  sia-siakan, dan  inilah  yang  harus  kau  dapatkan. Sampahmu. Silakan  ambil  kunci  ini, ambil  mobil  ini  dan  bawa  sampahmu  pergi!”

Wanita  itu  menyerahkan  paksa  kunci  itu  dan  tentu  saja  Darma  tak  bisa  menampiknya. Ia  sadar, semua  ini  adalah  hukuman, ganjaran  dari  Tuhan. Ia  yang  membawanya, ia  pula  yang  harus  menanggungnya.

Pelan, ia  menaiki  truk  sampah di ruang kendali usai karung diletakkan di bagian  belakang. Kunci  ia  masukkan  dan  sebentar  kemudian mesin  mulai  dinyalakan.
“Aku  akan  membawa  dosa-dosaku ini  Tuhan. Menujumu  dan  siap  mendapat balasan  atas  kelalaianku.”
Dan  kendaraan  besar  itu  melaju  bebas  di  jalanan  tak  berbatas.

Kharisma  De Kiyara
Magetan, Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bibir Pantai