Roda Kehidupan
“Juru Kunci menghilang!Juru kunci Roda Kehidupan menghilang!”
TeriakanBarmangan lebih dulu terdengar sebelum tubuhnya benar-benar sempurna terlihat. Selang beberapa detik kemudian, bayangannya jatuh pada lantai teras bersamaan dengan tubuh kuyupnya yang menyeruak dari balik hujan.
Wheelly yang sedang duduk di teras, segera bangkit, menghadang Barmangan. Jari telunjuknya teracung lurus ke arah sepatu kanan Barmangan. “Berhentilah sebelum kakimu menyentuh welcome! Berani menginjaknya, kutukar wajahmu dengan keset itu!”
Barmangan buru-buru menahan kaki kanannya, agar sepatunya tidak menyentuh keset. Ia mengelus dada sambil nyengir kelinci. “Welcomemasih lebih berharga dari wajahku rupanya?” keluhnya sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan untuk mengurangi gigil.
pixabay.com |
“Kau bisa melepas sepatunya dulu bukan?”
“Lupa!”
Whelly menatap Barmangan kesal campur iba. “Kalau otakmu bisa dibongkarpasang, mungkin kau lupa membawanya ke sini.”
Barmangan menganggap sindiran Wheelly sebagai candaan. Alih-alih tersinggung, ia garuk-garuk kepala sambil nyengir. Dalam banyak hal, ia tak pernah tersinggung dengan setiap nada ketus sahabat sejak kecilnya itu.
“Tunggu di situ!” hardik Wheelly, lantas masuk ke dalam rumah, membiarkan Barmangan kedinginan. Beberapa menit kemudian ia keluar, membawa sehelai handuk dan satu setel pakaian. “Kau lap dulu rambut dan tubuhmu. Pastikan tak setetes pun air membasahi lantaiku saat kau melangkah masuk menuju kamar mandi. Jangan lupa, lepas sepatumu dulu!”
Sebenarnya Barmangan sudah tidak sabar ingin mengabarkan sebuah berita penting kepada Wheelly, namun mengingat tubuhnya sudah menggigil, ia menundanya. Setelah melepas sepatu, ia mengelap tubuh dan pakaian, kemudiansegera masuk, menuju kamar mandi.
Wheelly geleng-geleng kepala. Selalu begitu setiap kali ia bertemu dengan Barmangan. Ia tak habis pikir, orang dengan intelijensia rendah seperti sahabatnya itu bisa menjabat perangkat desa. Ia yakin, keluguan dan kebodohan sahabatnya itu telah dimanfaatkan oknum tertentu di balai desa.
Dari awal, Wheely sudah memperingatkan Barmangan agar jangan mau menerima pekerjaan sebagai perangkat desa. Alasannya, di samping tugas-tugas di pemerintahan cukup berat juga khawatir akan diperalat orang-orang tertentu. Tetapi, ia tak tega menghancurkan harapan sahabatnya itu yang sangat senang bisa memakai seragam.
“Kau pikir aku sekolah hanya untuk menyenangkan bapak dan ibuku saja? Tidak, Wheelly! Aku ingin ijazahku bisa ditukar dengan seragam ini!” ujar Barmangan kala itu, sembari mengusap-usap pin nama bertuliskan Barmangan Udud. Itu adalah nama lahirnya.
Wheely tak bisa berbuat banyak. Ia hanya tersenyum masam. Di desanya, seragam adalah simbol harga diri.Semua aparatur Negara meskipun hanya level desa, akan selalu dihormati. Mereka akan ditempatkan pada derajat tinggi. Mereka dianggap selalu benar. Mereka akan didahulukan pada setiap antrian. Begitu juga anak-anak, istri, pacar, bahkan selingkuhan mereka pun akan ikut dimuliakan.
Manusiawi jika Barmangan merasa seperti mendapatkan durian runtuh ketika tiba-tiba sepucuk surat menyatakan dirinya diterima sebagai salah satu perangkat desa. Tak penting apapun jenis pekerjaannya, yang penting mendapatkan seragam seperti yang dikenakan Pak Kades.
Itulah alasan kenapa dulu Wheelly tak kuasa membujuk Barmangan agar menolak pekerjaan tersebut. Padahal ia yakin sahabatnya akan menuruti semua kata-katanya. Namun, jika melakukannya, ia tak mau di kemudian hari menjadi cercaan keluarga Barmangan. Bisa-bisa ia dituduh dengki.
Barmangan kembali dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian pinjaman Whelly yang tampak kedodoran pada badannya. Tubuh sahabatnya itu memang lebih besar ketimbang dirinya. Sehingga, ia harus melipat lengan baju dan bagian bawah celana.
“Kau letakan di mana seragam basahmu?” Wheelly menatap Barmangan curiga. Ia bertanya sambil berharap dugaannya salah. “Jangan bilang kau meninggalkannya pada gantungan baju kamar mandi!”
Barmangan cengar-cengir. Senyumnya tanpa dosa sama sekali. “Kau memang hebat, selalu tahu dengan apa yang kulakukan!” ujarnya. Kemudian ia mengempaskan tubuh pada sofa di ruang tamu.
“Sebelum pulang, nanti kau ambil baju basahmu. Cuci sendiri di rumah! Di sini bukan laundry!” Wheelly menatap sebal Barmangan. Ia duduk bersebelahan dengan sahabatnya itu.
“Aku tak pernah mencuci baju sendiri. Istriku yang melakukannya,” ujarnya meluruskan.
Siapa saja yang tidak mengenal Barmangan, pasti akan menganggap ucapan lelaki berusia kepala tiga itu sebagai candaan. Pada kenyatannya, ia mengatakan itu dengan mimik protes, menjelaskan secara serius kepada Wheelly.
“Baik, istrimu yang mencuci. Bukan kamu! Aku baru tahu sekarang,” keluh Wheelly dengan nada mengumpat. Sungguh ia tak mengerti dengan dirinya yang bisa akrab dengan orang seperti Barmangan sejak kecil.
Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Barmangan segera memberitahukan kabar yang menurutnya sangat penting. “Juru Kunci Roda Kehidupan menghilang!” Ia menatap Whelly lekat-lekat. Ekspresi wajahnya menunjukkan keprihatinan mendalam.
Ekspresi Whelly lebih menunjukkan keprihatinan, mendengar ucapan Barmangan. Ia prihatin kepada sahabatnya yang mudah percaya kepada kabar-kabar menyesatkan.
“Kamu pasti terkejut bukan?”
“Iya, aku terkejut kamu memercayainya.”
“Aku yakin, kamu baru mendengarnya dariku. Aku tidak menyalahkan warga desa yang enggan memberitahumu. Kamu sendiri yang jarang membaur dengan mereka.”
Wheelly mendengus kesal. “Kamu rela hujan-hujanan demi memberitahukan kabar burung ini kepadaku? Aku terharu!”
“Tak perlu berterima kasih. Sebagai sahabat, sudah selayaknya aku memberitahumu agar kau tidak ketinggalan informasi sepenting ini.” Barmangan tersenyum bangga. “Ini bukan kabar burung. Kau harus yakin itu!”
Wheelly menelan ludah. Ia tak akan membiarkan Barmangan terus mengoceh soal kabar menyesatkan itu. “Jadi sebagai perangkat desa, apa yang akan kau lakukan menyikapi berita ini?”
Barmangan terpaku. Ia sama sekali tak menduga akan mendapatkan pertanyaan semacam itu.
“Kau dan orang-orang di balai desa itulah yang harus bertanggungjawab dengan menghilangnya juru kunci roda kehidupan. Jika tidak segera diketemukan, kalian yang pertama kali akan merasakan akibatnya.”
Lidah Barmangan mendadak kelu. Sekarang di benaknya terbayang hal-hal buruk yang kemungkinan bisa menimpanya.
“Kalian harus mencarinya. Jika tidak bisa melakukannya, lebih baik lepaskan seragam kalian.”
“Aku sudah melepaskan pakaian seragam tadi. Aku gantung di kamar mandi. Nanti kubawa pulang. Biar istriku yang mencucinya. Di sini kan bukan laundry.”
Wheelly mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia kehabisan akal untuk mencari kalimat yang tepat agar Barmangan paham maksud ucapannya. Namun melihat wajah lugu sahabatnya itu, tiba-tiba saja terbersit ide di benaknya.
“Barmangan, kau tahu siapa sebenarnya juru kunci Roda Kehidupan?”
Barmangan menggeleng. “Siapa?”
“Kemarilah!” Wheelly memberi isyarat kepada Barmangan agar mendekatkan telinganya.
Barmangan menurut. Ia membiarkan Wheelly membisikkan banyak kalimat. Mendadak wajahnya terperangah. Reflek ia membekap mulut menggunakan telapak tangan kanan. Beberapa detik kemudian, ia menatap sahabatnya dengan sorot mata tak percaya. “Kenapa kau baru memberitahuku?”
***
Warga desa Ndeso Bingit bukanlah orang-orang bodoh. Warga aslinya keturunan orang-orang cerdas. Kakek nenek mereka adalah para tawanan politik pada zaman kolonial Belanda pada awal abad 20. Para tawanan itu diisolasi di sebuah pemukiman dekat hutan pinus. Mereka dipaksa bekerja siang malam untuk membangun sebuah bendungan. Bendungan itulah yang pada kemudian hari terkenal dengan sebutan Roda Kehidupan.
Entah siapa yang pertama kali menyebut bendungan itu dengan nama Roda Kehidupan. Barangkali karena pada bendungan tersebut terdapat kincir roda yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sehingga dinamakan begitu. Spekulasi pun bermunculan, meski pada akhirnya nama tidaklah begitu penting bagi warga.
Selain sebagai penampung air bagi keperluan irigasi, Roda Kehidupan juga memiliki pembangkit listrik tenaga air. Sayang arus listrik itu dipasok untuk keperluan VOC semata. Warga desa tidak berhak menikmatinya.
Sejak Belanda meninggalkan Negeri ini, Roda Kehidupan nyaris tak terurus. Fungsinya sekadar penampung air semata. Pembangkit listrik dinonaktifkan karena alasan mahalnya biaya perawatan. Turbin tua buatan Jerman itu pun mangkrak selama hampir empat windu.
Binfulan, kepala desa Ndeso Bingit pada dekade 80-an, berupaya menghidupkan lagi Roda Kehidupan. Ia berupaya memfungsikan kembali generator dan turbin agar bisa menghasilkan listrik. Meskipun hanya pada skala kecil dan lingkup terbatas, untuk kali pertama desa terpencil tersebut merasakan manfaatnya. Mereka mulai meninggalkan lampu teplok, petromaks, dan mulai akrab dengan benda-benda elektronik. Malam-malam mereka menjadi lebih terang. Hari-hari mereka tidak lagi sunyi. Mereka menikmati perubahan baik itu dengan biaya murah.
Sekali lagi, warga desa Ndeso bingit bukanlah orang-orang bodoh. Hanya saja, mereka terbiasa memercayai hal-hal mistis. Berfungsinya kembali Roda Kehidupan dianggap sebagai berkah dari roh-roh halus, korban kekejaman kerja paksa pada zaman kolonial. Setiap terjadi kerusakan teknis, mereka berlomba-lomba menyiapkan sesaji, alih-alih ikut membantu memperbaikinya.
Keterbatasan sarana dan terpencilnya lokasi, membuat Ndeso Bingit menjadi desa yang tertinggal. Tiang-tiang listrik sulit menjangkau medannya yang naik, turun, dan terjal. Belum lagi, wilayah mereka dikelilingi sungai yang cukup deras dan lebar. Satu-satunya kemajuan teknologi yang mereka miliki adalah Roda Kehidupan, warisan Belanda yang mereka percaya sebagai berkah dari para roh halus.
Semakin lama, Roda Kehidupan semakin tua. Lambat laun, turbin dan generator melemah, kemudian mati untuk kedua kali. Setiap hari warga melakukan ritual, memanggil para roh halus yang mereka percayai sebagai juru kunci. Berbagai macam sesaji mereka hidangkan, namun tidak ada perubahan sama sekali. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan bahwa juru kunci Roda Kehidupan menghilang.
***
“Begitulah ceritanya, Bar!” Wheelly menutup cerita tentang asal-asal Roda Kehidupan kepada Barmangan.
Barmangan melongo, menatap kosong mata Wheelly. “Bagaimana kau bisa tahu? Padahal kau belum lahir waktu itu.”
Ingin sekali Wheelly menjambak rambut Barmangan. Tetapi, selain ia tidak tega melakukannya, juga karena sahabatnya itu gundul. Yang bisa ia lakukan hanya mendengus panjang, sambil mengutuk Barmangan menjadi kodok.
“Baiklah, kau memang pintar, Wheelly! Aku tidak meragukannya. Buktinya di desa ini hanya kamu yang memiliki keset bertuliskan bahasa Belanda.”
“Itu bahasa Inggris!”
“Oohh!” Barmangan terkagum-kagum. “Welcome artinya keset kan?”
“Kamu memang cerdas!”
Barmangan tersenyum gembira. Hidungnya kembang kempis. Perasaannya melambung tinggi. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada orang yang memujinya seperti itu. Ia percaya dengan pujian Wheelly karena ia percaya sahabat sejak kecil adalah orang paling jujur sedunia.
Tidak mau terlalu jauh terjebak pada kekonyolan, Wheelly segera kembali ke topik. “Jadi, kenapa Pak Kades tidak mau memperbaiki Roda Kehidupan, itu karena ia sedang mengajukan anggaran proyek pengadaan listrik bertenaga diesel. Dengan begitu, ia punya banyak celah untuk bisa mengutak-atik angka-angka.”
“Angka?”
Wheelly menatap kosong Barmangan. Ia ragu apakah penjelasan yang akan ia katakan selanjutnya bisa ditangkap sahabatnya itu atau tidak. Namun, ia merasa perlu menyampaikannya karena yang ada di hadapannya adalah salah satu perangkat desa. Dan ia merasa perlu menjauhkan Barmangan dari masalah.
“Pak Kades sengaja membiarkan isu tentang menghilangnya juru kunci Roda Kehidupan agar warga melupakannya. Dengan begitu, proyeknya akan berjalan mulus.”
“Bagaimana kau bisa bilang begitu?”
“Seperti kau tahu, aku adalah teknisi Roda Kehidupan. Pak Kades pernah memintaku terlibat dalam proyeknya, tetapi aku menolak. Aku lebih tertarik menghidupkan Roda Kehidupan. Selain biayanya lebih murah, juga mengandung historis. Desa kita bisa menjadi tempat wisata.”
“Wisata seperti di Bali?” Mata Barmangan berbinar. Ia membayangkan indahnya pantai Kuta seperti yang pernah ia lihat di kalender, dimana banyak turis asing sedang berjemur di atas pasir putih dengan hanya mengenakan celana dalam.Namun mendadak wajah cerahnya meredup. “Tapi desa kita tidak ada pantainya.”
Wheelly menyesal telah berbicara banyak kepada Barmangan.
Akhmad Al Hasni
Kendal, 20 Februari 2018.
Untuk Teh Indah Wulan Cahya. Tetaplah menjadi roda yang rela bersentuhan dengan kotor dan kerasnya jalan. Meskipun tak banyak orang menyadari pentingnya. Meskipun orang lebih memuji performa mesin dan bagusnya bodi kendaraan. Toh pada akhirnya orang akan menyadari pentingnya roda ketika bannya kempes. Maka, janganlah pernah kempes semangatmu, Teh!
Komentar
Posting Komentar