Makan Nasi Brekat


Membahas tentang “kotoran” yang pertama terlintas dalam benakku adalah  diriku sendiri. Saat menulis catatan ini badanku masih kotor. Namun meskipun belum mandi, aku sudah mendapatkan sambutan hangat dari Ibu Negara dan pelukan indah dari dua bodygurd-nya. Coba bayangkan jika aku sudah mandi? Pasti kamu juga akan memelukku bukan? Sudah ngaku saja. Gapapa, aku pasti menolak kok. Hehehe!
Bukannya aku malas bersih-bersih, bukan! Aku tak sejorok itu. Ceritanya tadi aku pulang kerja selepas maghrib. Belum sempat ganti baju, ada tetangga mengundangku kendurian. Tidak mau terlambat, aku langsung cuci muka dan mengganti baju yang sudah bau kecut dengan baju koko yang harum mewangi sepanjang hari. Aku bahkan belum sempat mendapatkan cipika-cipiki dari Ibu Negara.
Namanya kenduri pastilah semua orang sudah tahu acaranya apa. Tak ada yang menarik untuk dibahas, kecuali sekotak “nasi brekat” yang lumayan menggoda. Aku pun pulang dengan harapan akan langsung menyantapnya ditemani Ibu Negara.
Sampai di depan rumah, Ibu Negara sedang menungguku di teras rumah. Senyumnya terkembang bak bulan purnama pada malam yang cerah. Ia menyalamiku dengan hangat. Tentu saja ia mencium punggung tanganku. Itu ritual wajib baginya. Bahkan dalam keadaan sedang ngambek pun ia tetap melakukannya. Masya Allah, dia adalah istriku yang paling hebat, karena tak ada saingannya. Kamu mau menjadi saingannya? Jangan deh ya? Cari lelaki lain saja yang sama gantengnya sepertiku. Heehehe!
Tiba-tiba dari dalam rumah dua anak lelaki yang gantengnya mirip bapaknya berlomba mendekatiku. Si Kakak yang menang, karena jangkauan kakinya lebih panjang. Ia meraih tanganku, mencium punggung tanganku. Si Adik meskipun kalah tetapi ia yang pertama memelukku. Indah ya? Banget!
Sekadar sharing ya? Bagiku momen rutin yang paling indah adalah ketika pulang kerja disambut kedua anakku. Mungkin itu hal biasa, tetapi tidak bagiku. Kau akan paham jika sudah merasakannya. Percaya atau tidak, kedua anakku selalu berlomba siapa yang paling dulu menyentuhku. Entah apa hebatnya dengan melakukan itu. Hanya saja, siapa pun yang menang akan tersenyum puas, sementara yang kalah akan sedikit cemberut. Padahal siapa pun pemenangnya pasti ia yang pertama kali mencium aroma kecut badanku. Ya, karena aku belum mandi, badan masih kotor.
Lupakan dulu perihal kedua bodyguard yang gantengnya mirip bapaknya itu. Sekarang saatnya makan nasi brekat ditemani Ibu Negara.
“Mau mandi dulu, apa langsung makan?” tanya istriku.
Sebenarnya pertanyaan itu sudah ia ketahui jawabannya karena setiap pulang selepas maghrib aku tidak langsung mandi. Pada akhirnya aku memang mandi, tetapi nanti selepas sholat isya, menggunakan air hangat.
“Mandi dulu!” jawabku sekadar meledek.
“Kalau begitu aku rebus air dulu!” ujar istriku yang aku yakin juga hanya meledek saja.
“Aku tak mau mandi air hangat.”
“Kenapa?”
“Karena berada di dekatmu, aku sudah merasa hangat!”
Eaaa!”
Abaikan percakapan itu. Kalau kutuliskan semua, pasti kau akan baper. Serius! Mengatakan kalimat yang membuat pipi Ibu Negara merona merah adalah hal biasa bagiku. Ia sudah kebal. Bahkan ia sudah hafal semua jurus mautku. Makanya kadang gombalanku tidak mempan lagi.
Kemudian sambil bercakap ringan, aku makan nasi brekat ditemani Ibu Negara. Sementara bodyguard-nya tampak sedang serius mengerjakan PR.
pixabay.com

“Nasi brekatnya enak!” ujarku.
“Enakan mana sama masakanku?”
“Kau belum pernah masak nasi brekat, jadi tidak elok kalau aku membandingkan dua hal yang berbeda.”
“Tinggal jawab saja apa susahnya sih?”
“Jawaban bohong apa jujur?”
“Apa saja, aku pasti percaya!”
“Kalau boleh bohong, nasi brekat ini lebih enak dari masakanmu!”
Speachless!  Ibu Negara tak berkutik. Ia sibuk menyembunyikan rona merah pada pipi.
“Tapi seenak apa pun makanan, pada akhirnya akan menjadi kotoran! Kandungan gizinya memang akan diserap tubuh. Kemudian akan menjadi energi. Sisanya harus berakhir di WC!” kataku.
Ibu Negara mencolek lenganku. “Ih, jorok! Sedang makan kok membahas kotoran?”

Akhmad Al Hasni

Kendal, 30 Oktober 2018, 19:20 wib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mulai dari Hari, Detik Ini, Dalam Diri

Bibir Pantai

Mata yang Hilang

Air di dalam Kertas

Alasan Pencipta