Setelah Kepergian Rila



Bandara Juanda, pukul 11.00 WIB.

            Wira memperlihatkan riak wajah sayu, seakan-akan menahan kepergian Rila untuk mencari kerja di Sulawesi. Keinginan Rila untuk merubah taraf hidup memang sudah tertanam sejak lima tahun sebelumnya. Ia belum sempat membahagiakan kedua orangtuanya, dan kini ia menjadi tulang punggung keluarga.

            “Kau sudah mantap dengan niatmu?” tanya Wira.

            “Sudah. Tenanglah, aku pasti kembali,” ujar Rila seraya menggenggam erat tangan Wira.
            Sementara Wira masih melukiskan raut khawatir, ragu untuk melepas  Rila. Namun, ia berusaha tenang di hadapan gadis yang dicintainya. Kemudian Rila menanyakan satu hal penting yang tak pernah luput dari pikirannya.

            “Kau masih ingat janjimu padaku?”

            Wira mengangguk pelan.

            “Aku ingin kau melaksanakannya, Mas. Apa pun caramu. Aku ingin bukti kesetiaan dan bukan sekadar omongan belaka,”
pixabay.com

            Wira tidak menanggapi, ia memandangi Rila dengan seksama. Sorot matanya seakan tidak mengizinkan Rila untuk merantau. Sedangkan Rila jadi canggung dengan sikap Wira yang demikian. Kedua insan itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengalihkan pandangan pada lalu-lalang keramaian di Bandara Juanda. Sesekali Rila melirik jam tangannya, jenuh ia menunggu waktu keberangkatan. Wira masih saja gelisah. Dielusnya rambut Rila yang dibiarkan terurai, Wira tak tahu entah kapan bisa mengelus rambut kekasihnya lagi. Waktu yang akan bicara.
***
Bukit Tidar, Malang.
            “Darimana saja?” tanya Marwan.
            “Dari Bandara, mengantar Rila,” jawab Wira datar.
            Marwan hanya memandangi Wira yang lesu, wajah ditekuk dan rambut lusuh menampakkan ia sedang tak punya gairah untuk beraktivitas. Marwan berpikir jauh, tidak biasanya Wira berlaku demikian. Kalaupun ada masalah di tempat ia bekerja, Wira selalu bercerita. Entahlah, seminggu ini Wira menutup diri. Enggan bersuara pada Marwan. Sebagai saudara sepupu, tentu Marwan perlu tanggap dengan apa yang dirasakan oleh Wira.
            “Ada apa? Seminggu ini kau datar sekali,”
            “Rila,” jawab Wira seperti semula, datar.
            “Kenapa dengan Rila? Kau sakit hati dengannya?”
            Wira menggeleng.
            “Lalu apa? Tak biasanya kau menutup diri dariku.”

            Wira menghela napas perlahan, kemudian ia duduk di samping Marwan yang sedang asyik menikmati secangkir kopi susu hangat. Perlahan, Wira mengungkapkan apa yang sedang membebani pikiran dan hatinya.

            “Jujur, aku belum siap melepas Rila untuk merantau ke Sulawesi. Ada sesuatu yang mengganjal, entah itu apa,” terang Wira.

            Marwan mengernyitkan dahi, “Kau punya janji apa dengannya?”

            “Aku berjanji akan melamarnya lima bulan mendatang, dan dia masih terus mengingatkanku tentang itu.”

            Marwan mengangguk paham. Dipandanginya Wira sejenak, sepupunya ini memang sedang dilanda pailit. Gaji yang diterima perbulan hanya mampu untuk menghidupi Ayah dan Ibunya di rumah, sementara kebutuhannya sendiri terkadang masih terbengkalai.

            “Sudahlah. Kalian sekarang sudah dewasa dan bukan anak-anak lagi, kau bekerja dan Rila pun demikian. Tentu hasilnya akan digunakan sebagai bekal pernikahan nanti kan? Yang penting usaha dan doa jangan sampai putus,” sahut Marwan mantap.

            “Aku masih berat melepasnya, Wan,” sela Wira,

            “Berat? Kalau hubungan hanya begitu-begitu saja laksana sayur tanpa garam. Ini sudah garis yang harus kau lalui, sudahlah yang pergi akan kembali. Tak perlu kau khawatir. Rila mampu menjaga dirinya.”
            Wira hanya mengangguk mengiyakan.
            Adzan Maghrib berkumandang, mega merah masih menghias di cakrawala. Marwan bersiap untuk berjamaah, sementara Wira masih terbuai dalam lamunan. Marwan menepuk bahu Wira.

            Hussh! Maghrib maghrib ngelamun,” ujar Marwan seraya berlalu menuju masjid depan rumah.

            Wira hanya tersenyum tipis.

            Selepas Isya’ Marwan memesan dua bungkus nasi goreng di perempatan jalan. Kebetulan hari ini ia enggan berkutat di dapur. Aroma harum bumbu-bumbu rahasia menusuk, mengundang selera makan untuk bangkit dari peraduan. Sesampainya di rumah, Marwan meletakkan dua bungkus nasi goreng itu di meja tamu.

            “Wir, nasi goreng.” teriak Marwan dari ruang tamu.

            Senyap. Tak ada jawaban.

            “Kemana bocah ini? Jangan-jangan minggat lagi,” pikir Marwan.

            Marwan memeriksa semua ruangan, ia tak mendapati Wira di rumah. Sayup-sayup ia mendengar pembicaraan serius. Ia mencoba mendekati sumber suara, ternyata di samping rumah. Marwan mengintip dari balik dinding, Wira sedang bicara dengan wanita melalui gadgetnya. Siapa lagi kalau bukan Rila.

            Marwan pun membiarkan pembicaraan rahasia itu berlalu. Ia menuju ruang tamu untuk menyantap nasi goreng kesukaannya. Sepuluh menit kemudian, Wira kembali dengan raut muka sedikit lega. Melihat nasi goreng di meja tamu, segera ia mengambil piring. Rasa laparnya mulai terasa setelah sehari tertimbun dengan kegundahan.
            Selepas makan, Wira menceritakan apa yang dibicarakannya lewat gadget tadi.
            “Apa? Kau disuruh mendatanginya tanggal 28 bulan depan? Edan tenan!” sahut Marwan tak percaya.
            Edan piye maksudmu? Tanggal itu ulang tahun Rila,” sela Wira.
            “Wir, sak edan-edanmu nang arek wedok kau juga harus mikir. Kebutuhan di Malang ini saja seperti ini, sedangkan jangka beberapa bulan lagi kau mau nekad  ke Sulawesi. Uang darimana?” sahut Marwan tak kalah gemasnya.

            “Aku punya tabungan,Wan.  Nanti kuambil,”

            “Tabungan? Bukankah sudah kau berikan pada Ayah Ibumu minggu lalu?”

            Wira segera menuju kamar, ketika membuka dompetnya ternyata benar. Uang tabungannya sudah diserahkan pada Ayah dan Ibu minggu lalu. Wira bingung, ia harus menuruti permintaan Rila. Bagaimanapun caranya.

            “Wir, ora usah aneh-aneh. Cukup ucapkan selamat ulang tahun lewat telfon kan cukup. Apa salahnya?” Marwan menyarankan.

            “Aku ingin menemuinya, Wan.” sahut Wira.

            Halah, yoweslah karepmu!” Marwan kesal dan melanjutkan makan.

***
            Rila sampai di Donggala, Sulawesi dan mendapat saran dari seorang teman kuliahnya untuk bekerja di sebuah Kafe Remang-Remang. Rila semula berpikir panjang, ia sebetulnya enggan melewati jalan yang dianggap suram. Namun apa boleh buat, berbagai lamaran yang ia tawarkan di Malang tak membuahkan hasil sama sekali. Dengan perantauannya ini, ia ingin merubah taraf hidupnya. Setidaknya cukup untuk membangunkan sebuah rumah megah untuk kedua orangtuanya.

            Malam ini, Rila masih bersama tamunya, Jodi seorang pemilik kebun sayur terluas di Donggala.
            “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanya Jodi.

            Rila tersenyum seraya menuangkan anggur merah di cawan.

            “Aku butuh uang, Bang. Kerja di Malang tak ada hasil, aku nekad hingga sampai ke sini,”
            “Kau punya keluarga? Maksudku suami dan anak,” tanya Jodi.

            Rila menggeleng, “Aku masih sendiri,”
            “Tapi punya pacar kan?” Jodi cengar-cengir memandangi Rila.

            Rila tersipu malu. Ia enggan mengakui jika sebenarnya ia punya hubungan dengan seseorang yang kini jauh di sana. Rila menutup jati dirinya selama di perantauan. Ia pun sudah jarang mengirim kabar pada Wira. Rila pun mengalihkan pembicaraan dan mengajak Jodi untuk bernyanyi. Mereka larut dalam alunan kemesraan dan gelapnya dunia malam.

            Sementara di luar ruangan, Vina yang juga seorang pekerja malam sedang asyik video call dengan seorang lelaki. Nampaknya mereka lama tak berjumpa.

            Edan awakmu, Vin. Berapa tahun gak pulang, tau-tau jadi beginian,” ejek si lelaki.

            “Hahahaha. Babah wes,  ya inilah jalanku. Penting aku bisa makan, Wir,”

            Rila yang kebetulan keluar bersama tamunya terkejut dengan obrolan Vina. Saat lewat di sampingnya, Rila melihat wajah Wira terpampang di layar gadget. Rila segera berlalu untuk menghilangkan jejak. Sementara Wira yang memang sedang melepas rindu dengan Vina teman sekolahnya menaruh curiga.

            “Siapa yang barusan lewat di situ?” tanya Wira.
            Vina menoleh ke kana dan kiri. Lalu menggeleng.
            “Eh, tunggu. Kau bekerja di Kafe kan? Apa di situ ada anak Malang juga?” tanya Wira penasaran.
            Vina mencoba mengingat-ingat, lalu ia menjawab, “Ada dua. Sinta baru tiga bulan di sini, sementara satunya Rila udah lima bulan. Anak Malang semua. Kenapa, Wir? Kowe kepingin kenalan toh?” tanya Vina seraya tertawa kecil.
            Wira terdiam sejenak. Ia pun tidak melanjutkan video call dengan Vina.
***
            Enam bulan sudah Rila tak pernah mengirim kabar pada Wira. Pemuda itu mencoba mencari tahu melalui keluarganya di Singosari, hasilnya sama. Kalaupun Rila telfon atau mengirim pesan di whatssap, Rila tak pernah mengaku di mana keberadannya. Ia selalu mengatakan bahwa ia bekerja di sebuah butik di daerah Donggala. Begitu saja.

            Sementara Rila menutup jati diri dari semua orang yang dikenalnya, utamanya yang ada di Malang. Dan memang ia berhasil menyembunyikan identitasnya dengan rapi. Sebagai pekerja malam, hidupnya hanya dihabiskan untuk melayani lelaki hidung belang yang kurang belaian. Semua itu dilakukan demi uang. Tak terasa ia melupakan Wira yang selalu menunggu kepulangannya.

            Tepat hari Sabtu tanggal 28 September 2018, Rila memasuki usia dua puluh lima. Tahun ini agak berbeda, ia merayakan ulang tahunnya dengan seluruh kawan-kawan pekerja malam. Pukul 3 sore hari, ia sudah bersiap dengan dandanan layaknya kupu-kupu malam pada umumnya. Sedikit dadanya dibiarkan terbuka untuk menarik rangsangan dari para tamu.

            Rila tetap berhubungan dengan Jodi, pemilik kebun sayur yang terkenal gonta-ganti pasangan. Baginya, uang bukanlah apa-apa. Apa pun bisa ia beli, bahkan ia mampu membeli hukum setiap tahunnya untuk menghindari kejaran aparat. Jodi yang juga dikenal sebagai sindikat sabu masih menyembunyikan diri di balik remang-remang malam.
            Kembali di acara ulang tahun Rila, Kafe Remang-Remang itu telah ramai. Para tamu terdiri dari perjaka-perjaka kesepian, bapak-bapak hidung belang, dan berbagai serigala pencabut keperawanan berkumpul jadi satu. Jodi terlena dengan belaian Rila, sementara tanpa disadari Vina mengawasi dari kejauhan.

            Vina memang bejat, namun ia tidak terima dengan apa yang dilakukan Rila. Setelah ia kembali berkomunikasi dengan Wira, Vina pun tahu semua rahasia Rila. Vina geram melihat Rila mengkhianati sumpah setianya pada Wira. Ia pun merekam semua yang diperbuat Rila hari itu. Lalu dilaporkannya pada Wira.

            Sementara Wira yang berada di Malang ketar-ketir melihat rekaman video yang dikirimkan Vina. Sejuta rasa tak percaya meracuni hatinya. Wira masih menunggu kelanjutan dari pengamatan Vina.

            Tak lama, Vina tak dapat dihubungi. Wira kebingungan dan semakin tegang. Sementara di ruang tamu, Marwan dan beberapa tetangga dikejutkan dengan berita di salah satu stasiun TV yang mengabarkan gempa berkekuatan 7,7 SR tepat pukul 17.02.

            Wira bergegas menuju ruang tamu, ia menyaksikan berita yang berlangsung. Nampak kondisi di Palu, lebih-lebih wilayah Donggala digoncang getaran hebat yang meluluhlantakkan semua bangunan dan isinya. Orang-orang yang ada di kafe remang-remang tertimbun lumpur, hanya beberapa saja yang berhasil menyelamatkan diri. Sementara yang lain telah tewas.

            Marwan teringat, jika Rila berada di Donggala. Marwan segera menenangkan Wira, sementara Wira terus mengamati berita dan sesekali melirik whatssap barangkali Vina mampu menghubungi kembali. Lima belas menit kemudian, Vina mengirim voice note  pada Wira yang bunyinya, “Wir, aku berhasil menyelamatkan diri dari gempa yang terjadi. Tapi sayang, tempat kerjaku langsung tertimbun lumpur dan hancur. Aku tak tahu darimana semua itu datang, sekarang aku ada di posko,”

            Wira berkeringat dingin. Pikirannya semakin tegang. Ia membalas pesan itu.
            “Rila bagaimana, Vin?”

            Vina yang berhasil selamat menjadi tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya, namun apa boleh buat. Ia harus menyampaikan apa yang dilihatnya walau itu pahit.
            “Rila sudah tiada, Wir,”

           Pesan balasan dari Vina ini sangat mengejutkan Wira. Ia tak mampu berucap lagi, pikirannya sudah gelap gulita. Tak mampu berucap, dan hanya mampu meneteskan air mata penyesalan. Kekhawatiran yang selama ini bersarang dalam hidupnya terjadi sudah. Gempa dahsyat menjelang maghrib itu telah melumat kekasihnya. Apakah ini balasan pengkhianatan yang harus diterima Rila? Sementara Wira sendiri tak mampu menerima takdir yang sudah terjadi.

Alfath Wisnuwardhana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Pagi, Hari Ini.

Bocah Autis