Jejak di Mimpi
Siapa yang bisa menebak akan bermimpi apa di kala terlelap atau paling tidak menentukan sendiri perjalanan fana di alam bawah sadar? Paling tidak sebab itulah–ketidakberdayaan menentukan topik di mimpi– yang membuat orang-orang menyebutnya kembang tidur.
Seperti halnya Dara, ia adalah seorang pemimpi yang tidak bisa membuat sebuah cerita dalam mimpi di tidurnya. Ia suka berandai-andai sebelum tidur, bagaimana bila hidupnya begini, bagaimana bila bentuk tubuhnya langsing begitu, bagaimana bila orang-orang terkasihnya yang pergi bisa kembali. Semua adalah mimpinya, fana. Dan ia menyukainya.
Kata orang, apa yang sedang menganggu pikiran bisa jadi sampai terbawa dalam mimpi. Sebab sugesti menekan otak untuk terus memikirkan dan menyesaki lumbung di kepala dengan persoalan tertentu, maka hadirlah sebentuk kecemasan ketika memasuki dunia mimpi.
Pun begitu juga Dara, seringkali kepalanya dijejali kemelut. Tidak hanya satu, dua atau sebatas jumlah jari di kedua tangannya. Banyak hal, ia menggabungkannya, memikirkannya sendirian, menerka-nerka solusi. Seolah-olah ia bisa melakukannya sendiri. Di saat itulah, ketika raganya rebah, alam bawah sadarnya digebah kekalutan. Kecemasan yang ia rasakan menjadi tampak nyata du mimpinya. Lebih parah, sampai ia terbangun, semua seakan tergambar jelas di mata. Bukan reda resah itu, justru membunuh hatinya di suatu waktu.
Tapi, beberapa hari ini, Dara berusaha melipur diri dengan merendahkan semua harapan yang pernah ia junjung tinggi. Ia meredam rindu dengan doa. Ia selesaikan masalah tanpa banyak mengeluh. Dan ia tetap menjadi dirinya sendiri.
Alhasil, akhir-akhir ini ia tidak dihantui mimpi menakutkan. Ia bisa lelap tertidur, terbuai kehampaan dan ketika pagi tiba, semesta telah menyambutnya.
***
pixabay.com |
Suatu malam yang riuh oleh deras guyuran hujan, suara gelegar petir dan mesin pemutar sinetron, Dara duduk terkantuk-kantuk di kursi goyang milik mendiang kakeknya. Buku yang semua ia baca sudah jatuh di pangkuan. Setengah sadar ia dengar ada orang mengetuk pintu, namun tak ia indahkan. Beberapa jenak lepas itu, matanya terpejam, lelap merajai dirinya.
Suara ketukan pintu masih saja menggema, Dara menelengkan sedikit kepalanya, merasa terganggu oleh suara itu. Sampai matanya sempurna terbuka, suara ketukan pintu masih sama frekuensinya.
“Ah, siapa sih? Ke mana juga orang-orang rumah, kok tidak ada yang mau membukanya?”
Mau tidak mau, ia beranjak dari kursi goyang. Berjalan dengan sedikit terseok, raut wajahnya terlihat malas. Dan tepat di depan pintu, saat ia menarik engsel, suara ketukan berhenti. Pastilah tamu itu tahu bahwa pemilik rumah sudah akan membukakan pintu.
Sehadapan. Dara dan tamu itu saling pandang. Mata Dara yang semula sayu karena mengantuk mendadak jadi terbelalak. Kaget bukan kepalang, ia salah tingkah dan…
“Lho, Yuri? Ini benar Yuri?”
“Hai, Dara!” lelaki bernama Yuri itu melambaikan tangannya, bukan lambaian perpisahan tapi sebentuk sapaan.
“Serius ini Yuri?” Dara mengucek kedua matanya. “Ini mimpi bukan?”
Tanpa dipersilakan masuk, Yuri sudah melangkah lebih dulu. Melewati Dara dan menghambur ke kamar gadis itu.
“Hei… Hei… Mau apa?” Dara seketika berteriak melihat tamu tak diundang itu masuk ke kamarnya.
Jelas ia panik, bagaimana orang rumah tahu ada lelaki masuk ke kamarnya? Oh, malapetaka!
“Mau ngapain? Itu kan kamarku!”
“Jadi ini benar kamarmu, ya? Syukurlah, kalau begitu aku tidak salah.”
“Lho, kamu mau ngapain ke kamarku?”
“Aku jauh-jauh datang ke sini, Ra. Aku lelah, salah kalau mau merebahkan badan?”
“Salah siapa datang mendadak? Kalau bilang kan aku bisa siapkan kamar tamu, Yuri!”
Yuri tak menggubrisnya. Ia membalik badan dan terus masuk ke kamar diikuti oleh Dara yang tak berdaya mencegah. Dilihatnya punggung laki-laki itu menuju ranjang lantas menggebah dengan sapu lidi khusus tempat tidur. Tak berselang lama, Yuri merebahkan badannya. Dara ternganga.
“Aku tidur dulu ya, mau bermimpi.”
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini?”
Dara masih tak habis pikir. Dengan kebingungan ia berbalik badan hendak keluar kamar. Tak sengaja, karena terlalu bingung, tubuhnya menabrak tembok. Kepalanya terbentur. Seketika itu pula Dara mengerjap cepat, gelagapan seperti merasakan tubuhnya diguncang.
Dan di sinilah ia, di kursi goyang mendiang kakek, tempat semula ia berada. Buku masih di pangkuan, napasnya tersengal.
“Mimpi macam apa ini? Sial!”
Sepertinya belum lama Dara tertidur di kursi goyang. Malam penuh rapat, jarum jam masih menunjuk angka sembilan. Dara bangkit menuju kamarnya.
Ia masih ingat, mimpi yang baru saja dialaminya. Gambarannya jelas, nyata sekali. Kamarnya juga sama seperti ini. Sebelum masuk ke kamar, ia merasa linglung. Yang sedang ia lakukan saat itu adalah mimpi atau kenyataan. Bahkan ia susah membedakan.
“Tidak ada Yuri?” ia bergumam sendiri sembari mendudukkan pantatnya ke ranjang.
Diliriknya gawai di atas nakas. Tangannya segera menyambar dan memainkannya. Dua belas pesan Whats App. Salah satu pesan adalah dari Yuri. Ketika membaca nama itu di senarai chat, ia sudah tidak sabar ingin membuka dan membalas pesan itu.
Yuri : Di sana hujan?
Dara : Iya dan belum reda. Apakah aku bermimpi sekarang?
Yuri : Maksudmu?
Seketika Dara menyadari bahwa yang ia alami –ketika Yuri datang– adalah mimpi. Ia menepuk dahi, tahu sekarang mana yang nyata mana yang fana.
Dara : Maaf, Yuri, kupikir aku sedang mengigau. Soalnya tadi aku memimpikan kamu, hehehe.
Dan pesan ditutup dengan emoji malu, yaitu menutup bibir dengan sebelah tangan. Mereka lantas membahas perihal mimpi itu. Dara menceritakan semuanya, detail, sebab semua masih terasa nyata baginya.
Nun jauh di ruangan Yuri, ia sedang tersenyum-senyum sendiri. Gadis yang dikenalnya setahun lalu itu, selalu bersikap kekanakan. Kadang bisa jadi begitu dewasa tapi seketika kembali ke sifat childishnya. Dara, nama yang sulit dilupakan sejak pertemuan pertama.
Sebaliknya, Dara juga tidak paham, mengapa Yuri bisa datang dalam mimpinya. Ini pasti hanya kembang tidur!
“Dara… Kau mau melanjutkan mimpimu tidak?” suara sendu Yuri melantun dari seberang sambungan telepon.
“Kalau bisa, tanpa perlu ditanya aku pasti mau!”
“Sungguh?”
“Iya, Yuri. Sungguh! Sayangnya tidak bisa. Bagaimana sih orang bisa melanjutkan mimpinya? Ada-ada saja.”
“Aku akan datang ke mimpimu lagi malam ini. Akan kuberitahu rahasianya.”
“Jangan bercanda, Yuri. Mana bisa?”
“Tidurlah… Sampai jumpa!” dan sambungan telepon terputus.
Percaya tidak percaya, entah gila atau bagaimana, Dara menurut saja pada perkataan Yuri. Tidurlah… Sampai jumpa! Bukankah itu adalah sebuah kalimat penekanan demi meyakinkan Dara bahwa Yuri akan datang lagi ke mimpinya. Tapi bagaimana bisa?
Dara coba memejamkan mata, tapi masih saja terjaga. Penyebabnya adalah, pikirannya diganggu pertanyaan seputar Yuri. Apakah Yuri penyihir? Bagiamana cara melanjutkan mimpi? Apakah Yuri serius atau sedang mengajaknya bermain?
Gawainya kembali berdering. Panggilan telepon dari Yuri.
“Sudah kubilang, tidurlah! Kalau kau tidak tidur bagaimana aku bisa datang?”
“Kau tidak main-main kan?”
“Lakukan saja. Sejak kapan aku bisa membohongimu?”
Dara tahu, Yuri tak pernah main-main. Baiklah ia percaya dan coba memejamkan mata. Karena kesulitan, ia meminta pertolongan pada dewa tidurnya usai berdoa. Sebuah benda memanjang berwarna ungu tua bermotif mawar ungu muda. Guling!
***
Entah sudah lama waktu berlalu sejak Dara terlelap. Malam itu tak ada yang sanggup membungkam gemericik hujan, dan beberapa saat kemudian Dara mendengar suara riuh itu. Bergemeletuk di atap rumahnya, mericih di halaman rumah disertai dawai siut angin.
Dara berada di dalam kamarnya dengan posisi berdiri tepat di samping ranjang. Di sana, Yuri masih menelentangkan badan. Tidak terpejam, matanya terbuka menggoda Dara.
“Apakah sekarang kau masih akan mengira aku main-main?”
“Aku sama sekali tidak paham, Yuri! Ini? Oh, gila! Kita bicara seolah melanjutkan obrolan saat telepon tadi, ya kan?”
Yuri beringsut dalam posisi duduk. Tangannya ditepukkan ke ranjang, tempat kosong di sebelahnya.
“Duduk! Kuberitahu sesuatu,” pinta Yuri pada Dara.
“Apa?” Dara menuruti untuk duduk.
Dari mana asalnya, tiba-tiba Yuri mengeluarkan kotak pandora berwarna emas. Kotak persegi itu menarik dengan ukiran bebungaan. Diserahkannya kotak itu pada Dara.
“Kotak?” Dara mengguncang-guncang kotak itu. Berharap bisa menebak isinya sebelum dibuka.
“Kosong ya?” Dara yakin menebaknya.
Kepala Yuri mengangguk. “Kotak ini adalah tempat menyimpan mimpi yang ingin kau kunjungi atau kau lanjutkan. Kita bisa memutar mimpi yang sama, melakukan apa saja seperti yang kita inginkan.”
“Mustahil, Yuri! Bagaimana bisa?”
“Dara… Kalau kita menerbangkan harapan dengan doa, tentu kita bisa membuat mimpi jadi nyata.”
“Maaf, aku lola (loading lama) seperti biasa. Kata-katamu susah kucerna.”
“Kau ini,” Yuri mengusap rambut Dara, lebih tepatnya mengacak-acak. “Sudah saatnya mimpi diwujudkan Dara. Ambil kotak ini. Dan simpan semua mimpi yang jadi kesukaanmu di sini. Kau bisa bertemu siapa saja yang kau inginkan. Setidaknya, di kehidupan nyata, perlahan kau kehilangan rasa resah. Kau akan bisa menempatkan diri, dan tidak melulu sedih. Sebab di mimpi, kau bisa melunasi kesedihanmu.”
“Lalu apa maksudmu memberikannya padaku? Kau membutuhkannya juga kan?”
“Soal aku, itu mudah. Kau saja yang simpan. Dan mimpi kita yang sekarang, simpanlah Dara. Otomatis aku akan datang menemuimu di sini karena kau membawaku di kotak ini.”
Memang, sejak pertemuan mereka terakhir kali, keduanya sama-sama ingin bertemu kembali. Sayang, jarak memisahkan sekian jauh dan kesempatan bertemu belum tertempuh. Dan keinginan berjumpa itu tertahan entah sampai kapan. Sekarang, mereka telah bertemu meski dalam mimpi.
Kenyataan sebelumnya, pasti bisa ditebak bagaimana bisa Yuri datang ke mimpi Dara untuk pertama kali. Jika tidak Yuri yang memimpikannya lebih dulu dan menyimpannya dalam kotak pandora. Begitu saja.
Kharisma De Kiyara
Magetan, Februari 2018
Komentar
Posting Komentar