Untuk Apa Bekerja?
Dini hari aku melihat bintang terang bersanding dengan bulan sabit di langit. Cahayanya bersinar menghiasi gelap yang hitam. Seolah sengaja hadir menemani rembulan memberikan penerangan. Bintang itu adalah planet venus yang kerap muncul saat fajar dan senja, karena itu orang menyebutnya bintang fajar atau bintang senja. Setelah itu siluet-siluet oranye mulai terlihat seperti lukisan cat air pada kanvas, sangat indah. Fajar menyingsing dari timur, sejalan arakan awan yang menggumpal bergerak mengikuti arus angin. Aku melirik jam di tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih, namun jemputanku belum juga tiba. Padahal dari jadwal seharusnya bis jemputan sudah sampai sejak sejam yang lalu.
![]() |
pixabay.com |
Aku kembali menengadahkan kepala menatap objek terjauh di atas sana. Luruh segala keluh yang hendak aku kesahkan. Malam berbintang sungguh keindahan yang tak terbandingkan. Ingatanku menerawang pada pertanyaan yang sempat seorang temanku lontarkan padaku. Namanya Gugun Gunawan, ia adalah seorang pengangguran kelas kakap di kampung. Entah karena kurang semangatnya dalam mencari pekerjaan atau dia orang yang benar-benar putus asa mencari kerja di tengah persaingan pelamar kerja yang tiap tahun makin bejubel jumlahnya, ditambah urbanisasi yang terjadi menambah kuantitas pencari kerja pendatang dari berbagai penjuru Pulau Jawa.
“Buat apa kerja, Neng?” tanya Gugun sesaat sebelum aku bergegas berangkat dari rumah ke pabrik tempatku bekerja. “Buang-buang tenaga saja,” imbuhnya.
Aku tidak terlalu menggubris kalimat Gugun. Ditemani sepeda motor hasil kreditan beberapa bulan lalu aku berangkat begitu saja meninggalkan Gugun dengan pertanyaannya yang enggan kujawab. Menurutku pertanyaan semacam itu hanya dilontarkan oleh orang-orang yang sudah bosan hidup. Tentu saja manusia butuh bekerja untuk menyambung napas. Lihat saja motor yang kugunakan ini tidak akan bisa kumiliki jika aku tidak bekerja. Karena bekerja dan memperoleh uanglah aku bisa membeli handphone model terbaru yang canggih dan bagus. Karena bekerja pula aku bisa membelikan kedua orang tuaku banyak perabotan rumah. Hanya orang bodoh saja yang bertanya demikian.
Kurang lebih sekitar dua puluh orang yang saat ini sedang bersamaku menunggu jemputan pabrik. Beberapa dari mereka asyik berselfie ria sambil menunjukkan gaya-gaya memajukan bibir ke depan lalu mengupload foto hasil jepretan ke media sosial menggunakan caption ‘lagi nunggu jemputan nih’. Aku membuang napas kasar. Perilaku terbaru jaman sekarang memang tidak lepas dari yang namanya media sosial. Beberapa lain melupakan dunia sekitar karena terlalu fokus memainkan gadget. Beberapa lagi hanya mengobrol ringan dan memakan sarapan roti yang belum sempat mereka lakukan sedari rumah. Aku hanya tertarik dengan bintang dan langit hitam.
Tak lama kemudian bis jemputan kami datang. Aku bergegas memburu masuk mencari tempat sandaran setelah hampir satu jam lamanya menunggu. Kulihat teman-temanku yang lain sudah menyesaki isi bis, tergambar jelas guratan-guratan jenuh di wajah mereka. Aku berjalan melewati beberapa kursi sampai ke barisan sedikit ke belakang barulah aku menemukan bangku kosong untuk kutempati tepat di samping jendela. Langit sudah sedikit terang, jalanan pun mulai meramai oleh kendaraan yang tiada hentinya memadati ruas-ruas jalan. Ya, inilah tepatnya rutinitasku selama lima tahun terakhir. Menjadi seorang buruh di salah satu pabrik yang berada di kawasan industri kotaku.
Setelah lulus sekolah menengah atas lima tahun yang lalu aku langsung melamar pekerjaan ke pabrik-pabrik bermodalkan selembar ijazah dan keterampilan. Beruntung bagiku tinggal di kota yang memiliki julukan Kota Industri, Karawang dan Cikarang menjadi ikon paling terkenal sebagai tempat menumpuknya pabrik-pabrik besar produksi elektronik, otomotif, dan makanan se-Indonesia. Upah minimum di sini bersaing ketat di atas gaji karyawan-karyawan pabrik di luar sana. Selama lima tahun itu pula aku terus berganti-ganti perusahaan. Habis kontrak enam bulan, melamar lagi, dapat pekerjaan lagi, habis kontrak lagi, dan terus berlangsung sampai aku merasa bosan. Sungguh rutinitas yang menjemukan.
Sesampainya di kawasan pabrik, bis yang membawa kami seperti kendaraan pengantar kematian. Gedung-gedung besar pabrik dan cerobong-cerobong asap yang berbaris megah bak neraka siap menelan kami kapan saja.
“Terima kasih, Pak.” Aku berujar pada Pak Supir yang duduk di kursi kemudi. Lelaki setengah baya itu menunjukkan deretan giginya lewat senyuman lebar.
“Iya, hati-hati Neng Intan.” Ia menyahut namaku. Mungkin karena sering menyapanya selama ini membuat Pak Supir mengenali namaku.
“Siap, Pak!”
Aku masuk ke ruang loker, menyimpan barang-barang bawaanku seperti make up, Handphone, dan dompet. Mengambil perlengkapan safety yang disediakan perusahaan untuk kami sebagai ajang memenuhi undang-undang K3 atau Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pabrik tempatku menginjakkan kaki sekarang bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi kerangka mobil. Aku mengganti sepatuku dengan safety shoes berwarna hitam yang khusus dibuat anti bahan kimia dan anti api. Lantas kugunakan masker menutupi nyaris seluruh wajahku, hearing protection sebagai pelindung pendengaranku dari bising mesin di dalam sana, eye protection, safety clothes, dan sebuah topi pelindung kepala.
Setelah lengkap semua kukenakan aku bersama teman-teman masuk ke ruang tempur. Di sana mesin-mesin berukuran raksasa berjejer. Bau menyengat bahan kimia memenuhi kepalaku seketika membuatku pening dan mual. Percikan api bertebaran di sana-sini. Lempengan-lempengan baja berukuran besar diangkat-turunkan tanpa rasa takut tertimpa bebannya yang berat hingga ratusan kilogram. Aku menganggap semua orang di dalam sini adalah prajurit tempur terhebat, tiada gentar mengalah pada rasa lelah, padahal jika salah langkah sedikit saja nyawalah yang menjadi taruhan. Inilah saatnya bagiku memulai pertempuran melawan kerasnya kehidupan.
oOo
Delapan jam penuh setiap hari selama lima tahun aku bergelut dengan mesin-mesin pabrik. Pekerjaan yang sangat menguras tenaga. Aku bersumpah jika memiliki anak kelak, aku akan sekolahkan ia setinggi-tingginya agar tak perlu ia merasakan lelah seperti yang aku rasakan karena hanya punya modal selembar ijazah tak berarti. Ya, memangnya apa arti ijazah SMA sekarang ini? Paling tinggi kau hanya akan bisa bekerja sebagai buruh pabrik yang dibudakkan rupiah. Jenis penjajahan paling modern saat ini. Di mana para pemilik pabrik dari luar negeri merodi masyarakat kita menjadi budak mereka. Sungguh miris arti kemerdekaan bagi kami. Tak ada kemerdekaan untuk orang-orang rendahan seperti para buruh.
“Jangan lupa malam ini kita tunggu di Stasiun.” Salah seorang teman menepuk pundakku. Aku tersenyum mengangguk.
“Baiklah.”
Sepulang dari pabrik aku dan teman-teman berjanji pergi ke tempat karaoke. Kami berupaya melenyapkan penat yang mendera jiwa dan raga. Salah satu selingan yang sering kulakukan seperti pergi rekreasi, mencari kuliner, mengunjungi tempat-tempat wisata, menonton bioskop, sampai seharian menghamburkan uang di tempat perbelanjaan. Aku menikmatinya. Setelah lelah bekerja, setiap orang selalu butuh tempat hiburan menghilangkan kejenuhan.
oOo
Langit menghitam. Mentari berpulang ke haribaan sang gulita malam. Aku menyuruput habis teh hangat yang kubeli di warung pinggir jalan. Sekitar sepuluh menit kemudian aku sampai di pekarangan rumah. Kuparkirkan motor ke dalam. Sesaat sebelum aku masuk suara seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, kudapati Gugun berdiri di luar pagar tersenyum padaku. Kulirik jam di pergelangan tangan, pukul dua belas malam, apa yang dilakukan Gugun tengah malam larut begini?
“Untuk apa kerja Neng?” ucapnya kemudian. Aku mengernyitkan dahi pertanda heran. Lantas ia melanjutkan kalimatnya. “Toh pada akhirnya uangmu kauhabiskan untuk mencari hiburan, menghilangkan kejenuhan. Coba perhatikan, siklus para pekerja, bekerja mencari uang, mendapatkan uang, membuang uang. Lebih baik hidup sepertiku yang pengangguran, tidak membuang tenaga sia-sia.”
Aku tertegun berusaha mencerna ucapan Gugun.
Dia benar!
-Selesai-
Liara Divya
Liara Divya
Karawang, 22 Juni 2017
Komentar
Posting Komentar