Menunggu Hal Pergi

 

Pada waktu yang sama seluruh manusia di muka bumi ini menunggu. Sebagian ada yang gelisah karena waktu terasa berjalan lamban. Mereka akan hafal dengan gerak detik, sekalipun jam di dinding tidak dilirik. Pada hari itu,  manusia yang bekerja di perusahaan bergengsi menampilkan senyum paling ramah dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Ronanya cerah dan dada mereka dipenuhi dengan keinginan-keinginan yang akan direalisasikan setelah penantiannya usai. Ada yang mendadak bekerja dengan giat, ada yang tak sabar hingga mengetuk-ngetukan jari-jemarinya di atas meja kerja, dan ada pula yang menunggu dengan berkali-kali menatap kalender kerja. Mereka menggumam kompak, kapan waktu kerja usai?

pixabay.com


              Di matamu hal membosankan adalah menunggu, pun demikian menurut para kekasih yang menantikan belahan jiwanya mengajaknya ke pelaminan. Bagimu, menunggu merupakan sebuah harapan pada mata dadu yang dilempar ke angkasa, ia menghasilkan angka yang kadang tak sesuai dengan harapan. Begitulah menunggu. Namun, menunggu bagi mereka, adalah menunggu hal yang pasti!

              “Ada angka awal yang cepat berakhir, kau tahu itu angka berapa?” katamu tiba-tiba. Kau menghentikan gerak tarian tanganmu yang bergerilya menginjak tubuh keybord. Hari ini kau dimintai surat keterangan domilisi oleh sebuah instansi pendidikan yang berada di wilayah tempatmu bekerja. Sebagai seorang sekretaris desa, kau harus siap siaga dan cakap dalam melayani masyarakat.

              “Tak ada yang lebih penting dari tanggung jawab menghitung uang. Kau mengerti?” balas Sofia yang duduk di sebelahmu, ia sedang sibuk membuat laporan anggaran di komputernya. Sofia adalah teman kerjamu yang sudah menemani susah dan payahmu selama  4 tahun, ia cukup bisa dikatakan setia meskipun tak ada dirinya di saat dirimu sedang bahagia. Keberadaannya hanya ada di kantor untuk dimintai pertolonganmu mengambil data ini dan itu, atau mengecek data ini dan itu, sebab kau menderita penyakit lupa akut stadium empat yang disengaja. Sejujurnya kau hanya pura-pura.

              “Aku bisa membenarkanmu, coba kau pikir, angka itu akan segera berakhir dan dijadikan sebagai kenangan, tapi ia selalu dinantikan. Ia pemberi kabar gembira sesaat, kemudian setalah apa yang dinantikan kepalanya akan dirundung sengsara berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, setelahnya ia akan menganggap bahwa hal paling baik di dunia ini adalah waktu berhenti berputar!”

              Ah, menanggapi kalimatmu sudah seperti menghitung laporan akhir tahun saja. Segera selesaikan pekerjaanmu, yang menunggu sudah tidak sabar!” Sofia melirik ke orang-orang yang duduk di kursi tamu, sedang menunggu dokumen yang mereka minta. Ada yang mengajukan pembuatan KK, perubahan KTP, dan hanya satu yang meminta surat keterangan domisili, ialah wanita berbaju PSH cokelat susu, yang sibuk dengan layar gadget-nya.

Angin mengembuskan udara panas dari luar ruangan, debu tak kasap menempel pada layar komputer dan permukaan meja, jantung detik jam dinding terdengar begitu nyaring mengalahkan deru mesin kendaraan di luar ruangan. Dirimu fokus sejenak dengan pekerjaanmu. Sofia bungkam setelah kau tak menanggapi ucapan terakhirnya.

“Aku tahu angka yang ditunggu namun cepat pergi,” kata Sofia padamu ketika Kantor mulai sepi, orang-orang yang menduduki kursi telah pergi membawa dokumen mereka masing-masing. Kepala Desa sibuk dengan kepulan asap rokok di ruang pribadinya, perangkat desa lainnya sedang leyeh-leyeh sambil sesekali mengusap layar gadged. Pikiran alam bawah sadar Sofia terbius oleh kalimatmu, tanpa disadari ia memikirkannya sejak dua jam yang lalu.

“Apa?”  bibirmu merespon sementara tanganmu mengklik menu sleep pada layar komputermu. Waktu istirahat telah tiba, perutmu sudah tak sabar ingin meminta jamuan siang.

“Dana Hibah dari Pemerintah! Uang-uang yang didapatkan tanpa bekerja keras, biasanya akan cepat hilang!”

“Ayolah Sofia, kapan otak kananmu kau gunakan, pikiranmu selalu tentang uang dan uang!”

“Lalu apa jawabannya?”

***

Emak-emak sedang duduk di emperan masjid ketika dirimu pulang, mereka  menunggui anak-anaknya yang bermain di halaman, kebetulan masjidmu terletak di tengah-tengah kampung, tak jarang Emak-emak , remaja-remaja nganggur bahkan Bapak-bapak yang pekerjaannya libur sering nongkrong di sana, membicarakan harga sandang pangan yang meroket, juga menggosipkan tetangga lain yang kebetulan tak ada di sana. Itu sudah menjadi rutinitas warga di kampong.

Dirimu menyapa dengan menarik dua garis bibirmu ke sudut sebelum masuk ke dalam rumahmu. Kau mendapati adikmu sedang menghitung uang hasil bekerja kerasnya selama sebulan di sebuah pabrik kayu. Semula wajahnya terang, auranya seperti malam yang baru saja kehilangan cahaya bulan, kemudian tiba-tiba datang milyaran bintang mengusir titik-titik kabut. Ia memilah-milih uangnya, menata di atas meja. Jemarinya lihai membuka-buka lembaran uang, sementara bibirnya bergerak menghitung obyek yang dibawanya.

              “Mandi dulu,” katamu sambil melepas sepatu pantopelmu, meletakkannya di rak sepatu yang ada di sebelah pintu.

              Eh kau sudah pulang!”

              “Waktunya di rumah, tak ada tempat tujuan selain rumah ini, makanya aku pulang.”

              “Besok kalau berangkat kerja titip angsuran sepeda motor dan angsuran kreditku ya,” tutur adikmu sembari menyodorkan uang ratusan.

              Kau menghela napas. Melotot sebal, baru saja masuk rumah sudah diperintah.

              Adikmu masuk ke dalam kamarnya.

              Hari cepat berlalu, awan berlari menjemput hujan. Aroma tanah yang basah menguar sampai ke dalam rumah. Asbes-asbes rumah menciptakan instrumen-instrumen musik hujan. Angin menyusup ke sela-sela pakaian yang dikenakan manusia, dan pelan mereka menyelinab ke tubuhmu, kau merapatkan jaketmu. Bersamaan itu ayahmu tiba di antara ratusan titik hujan. Sepeda motor dan pakaiannya basah kuyub seperti tanaman hias di halaman rumahmu.

              Ayah tersenyum hangat  melihatmu yang sudah menunggu di depan pintu. Ia masuk ke dalam, memintamu merebuskan air hangat untuk mandi, kemudian menyuruh Ibu, adik beserta dirimu duduk di ruang keluarga. Hari itu presenter televisi sedang memuntahkan kalimat-kalimat tentang politik negara Indonesia. Kau dan keluargamu tidak berpusat pada wajah presentarnya yang anggun, namun mata kalian dipusatkan pada uang ratusan yang ayah bagi-bagikan di depan kalian.

              “Ayah tadi gajian, ini untuk ibu,” katanya sembari menggenggam tangan ibu dan menyelinapkan uang ratusan berjumlah enam, disusul mencium keningnya, “ingat, buat belanja ya, bukan untuk shoping.” Keluargamu kompak tertawa.

              “Ini untuk beli bensin dirimu,” Ayah menatapmu.  Kau tersenyum malu-malu, ragu antara menerima atau menolaknya.

              “Aku juga gajian, jadi tak perlu Ayah berikan uang itu padaku. Buat Ibu saja,”

              “Tidak, Insya Allah Ibu cukup. Kalau kamu tidak mau, biar Ibu tabung saja untuk masa depanmu.” Kata Ibu bijaksana.

              “Bagaimana jika untukku saja, Yah? Aku  banyak angsuran, uang bensinku seringkali habis di pertengahan bulan.”

              “Jangan, uangnya biar disimpan Ibu saja. Berapa pun uang yang ada di tanganmu pasti akan habis!” Kau menyudutkan adikmu, seolah-olah kau sendiri tak pernah berbuat kesalahan mengenai hal tersebut. Padahal esok harinya uangmu ludes. Gajimu ludes kau gunakan untuk belanja sabun, pakaian, cincin hiasan (baca; bukan cincin tunangan), camilan dan yang terakhir angsuran mobil.

              Hari lalu jatuh pada tangal 01, awal bulan. Wajah-wajah karyawan yang pulang dari kantor atau pabrik riang-riang, mereka seolah tak sabar ingin tiba di rumah masing-masing bagi yang sudah berkeluarga, menjumpai orang-orang terkasih kemudian menyerahkan hasil keringatnya dengan cuma-cuma berlandaskan cinta. Lelah sebulan bekerja adalah kebahagiaan yang tak terkira ketika tanganmu menerima amplop bernama gaji.

              Pagi pertama pada pekan kedua, aroma dan bahasa wajah masih cerah. Kafe-kafe dan mol-mol membuka diskon besar-besaran, mereka paham kapan waktu yang tepat dompet orang-orang terisi penuh. Dirimu yang mudah terbius dengan diskon suatu barang, tak akan pernah sabar ingin segera melesat ke tempat perbelanjaan. Uang dihambur-hamburkan demi penampilan. Kau belum berumahtangga, maka karaktermu seusai menerima gaji berbeda dengan ayahmu. Orang-orang berkeluarga akan mengutamakan kebutuhan makhluk yang dicintainya terlebih dahulu, lai denganmu dan temanmu, Sofia.

              Sofia berkisah dirinya baru saja membeli produk kosmetik dari situs online yang terpercaya. Ia uangkap, barangnya akan tiba dalam tempo sepekan. Setiap mau makan dan baru datang, Sofia selalu membicarakan keunggulan kosmetik yang dipesannya. Kau bosan dan sering menutup telinga. Bahkan tak jarang kau alihkan topik pembicaraan Sofia, sejak saat itu perbincangan kalian hanya memiliki dua tema, alat kecantikan dan laporan keuangan. Kau bahkan sampai lupa membedakan nama pembuat KK dengan nama produk kosmetik yang dibeli Sofia. Pernah dirimu salah ketik dan menyalahkan Sofia sebagai penyebabnya yang telah mempengaruhi otak bawah sadarmu.

              “Mulai sekarang jangan pernah bicara tentang bedak lagi!” kau geram, langkahmu dituntun mengeluari kantor desa.

              “Mau kemana?” Sofia bertanya.  Karyawan desan yang lain hanya tertawa melihat tingkah kalian berdua. “Makan?” Sofia menambahi.

              “Tidak.”

              Kau tidak berbicara panjang, kakimu dituntun menuju parkiran. Kau arahkan menuju kantor pos terdekat. Baru ingat bahwa kau masih mempunyai hutang membayarkan asuransi sepeda motor adikmu. Sialnya kantong seragam kantormu berlubang. Kau tidak tahu di mana uang ratusan itu tercecer. Mau tak mau, kau membayarnya dengan sisa uangmu. Kau menggigit bibirmu ke bawah.

              Kembali waktu menakdirkanmu menjadi penunggu. Bukan hanya dirimu, namun berlaku pada seluruh orang yang senantiasa menantikan awal bulan. Tak peduli gaji di tangan akan segera lenyap ke tangan orang lain, namun bagimu dan bagi mereka, mendapatkan gaji adalah hal yang menyenangkan meski memiliki aroma pahit.  

              Magelang, 25 Februari 2019

             

             

Komentar