Bukan Pencuri
Sudah
dikatakan ia bukan pencuri!
Ia
mengendap-endap di depan warung kelontongmu, tidak melirik ke kanan apalagi ke
kiri. Siang itu, matahari singgah di atas ubunmu, terik memeras keringat juga
meninggalkan dahaga di kerongkonganmu. Bunga kertas di halaman warung
berguguran, daunnya melambai-lambai bergurau dengan sepoi angin. Debu-debu
jalanan menempel di pipinya yang lengket. Kau berdiri memerhatikan gerak
tangannya, menggapai minuman gelas, membawanya kabur. Tidak dibayar! Nilai
rupiahnya dua ribu saja, anggap saja kau sedang berbaik hati membiarkannya
selamat dari ocehan beomu.
![]() |
pixabay.com |
Panas hari
itu membuatmu malas memperkeruh suasana, lebih baik menunggu pembeli berjas-jas
rapi. Ah, imajinasimu melambung
terlampau tinggi, mana ada orang rapi berkenan singgah di warung kelontong
milikmu? Minuman teh di gelas telah dingin bahkan gulanya bisa jadi bercampur
dengan debu aspal, mendoan yang disajikan pun tidak menarik untuk pencuri itu__ maaf agaknya sedikit berlebihan jika
kau menyebutnya sebagai pencuri. Jika dirinya saja tidak tertarik, manamungkin
orang berjas tergiur? Bukankah segelas minuman itu tidak berarti dibandingkan
dengan cincin berlian yang melingkar di jemari manis istrimu itu?
Pada minggu ke dua, kau
melihatnya lagi, seperti biasanya, ia mengambil apa yang ia kehendaki. Saat itu
hujan turun, menciptakan bunga-bunga air yang mekar di atas aspal. Percikan
cairan keruh berbaur dengan debu itu meriak di selokan, bunga kertas merunduk
meneteskan air tanpa kendali. Matahari sembunyi di balik punggung awan, hujan
berguguran membasahi asbes warungmu, halaman rumahmu, juga emperan-emperan
jalan. Ketika kendaraan yang melaju mempercepat geraknya, air muncrat ke
tepian, sial mengenai bangku-bangku di depan warungmu, miris jika sampai
memerciki mendoan dan teh manis yang ada di meja. Tak akan ada lagi pembeli
yang berkenan meminang dagangan sajianmu.
Kecuali
dirinya yang baru saja datang, bermata tidak sendu juga tidak riang, hambar,
berbibir tidak merah, namun sedikit kehitam-hitaman, pakaiannya hendak kau kata
berantakan, namun sebenarnya ia tak terlalu berantakan, lebih rapi dari
gelandangan yang setiap harinya melangkah hilir-mudik di sisi aspal depan
warungmu. Sebenarnya siapa yang hendak kau katakan? Gelandangan bukan!
Pengemis? Ia tak mendongakkan tangan memohon receh kepada orang-orang bertas
mahal, pengamen? Tidak ada suara sumbang dan petikan gitar reotnya, lebih
tepatnya ia adalah seorang laki-laki pembawa senyum di sepanjang perjalanan,
pengantong umpatan di jalan-jalan kenangan, pengepul rindu pada ingatan yang
layu, penggendong lelah yang tidak pernah dipahami, juga pengusir penat dari
kata yang tidak akan pernah disadari.
“Dia adalah orang yang amat cerdas! Sewaktu di bangku
sekolah, dia mendapatkan peringkat satu terus menerus, tidak ada seorang siswa
yang mampu menggeser kursi juaranya di kelas.” Kata tetanggamu.
Hari itu ia tidak mengambil minuman, tangannya mencomot
tiga buah mendoan, membawanya pergi, tak hirau hujan berjatuhan di kepalanya,
meluncur ke bawah, meresap ke pori-pori kainnya, mencium tubuh dalamnya,
dingin, seharusnya ia menggigil. Namun tidak sama sekali! Barangkali tidak ada
kamus gigil dalam kehidupannya, meskipun ia hanya memakai celana cekak dan kaos
pendek, ia tetap melaju seperti biasanya, tegak, melangkah tanpa beban,
menjejak kerikil tanpa menahan sakit di telapak kakinya. Ia memakan mendoan
berlauk hujan yang turun dari langit.
“Memang seluruh keluarganya selalu begitu, mengambil
jajanan di pasar atau di toko-toko pinggiran jalanan, sembarangan, tidak izin,
namun ia tidak bisa dikatakan sebagai pencuri,” lagi kata seorang tetangga yag
mampir ke warungmu, membeli lilin sebab instalasi listrik di rumahnya padam.
“Apa mencuri sudah menjadi tabiatnya?” kau terlihat
geram. “Apa tidak bisa mencari kerja? Apa tidak bisa digunakan otaknya untuk
melakukan hal yang lebih berguna dari pada menganggur seperti itu?”
“Sudah aku jelaskan, ia bukanlah seorang pencuri!”
“Lalu mengapa dia seperti itu? Ah, lebih tepatnya mengapa seluruh keluarganya seperi itu?”
“Dia terkena kutukan!”
“Kutukan?”
Angin
berembus dengan kencang. Kau penasaran, namun tetanggamu buru-buru pamit
pulang. Anaknya menangis di rumah. Sebuah alasan yang tidak kau harapkan.
Kau penasaran setengah mati, berjalan keliling kampung
mencari informasi. Menanyakan perihal kutukan pencuri di warungmu, meskipun
waktu berkali-kali mendesiskan ingatan bahwa ia bukan seorang pencuri, namun
kau tetap tidak menggugunya. Bagimu ia tak berbeda dengan narapidana yang
dipenjara bertahun-tahun karena menggelapkan uang rakyat, mengambil hak orang
lain, tidak halal, jelas disebut dengan pencuri.
Kau ketuk
pintu Pak RT, ia enggan menjelaskan persoalannya, tidak berputus asa, pindah ke
rumah Pak Kadus, hasilnya masih nihil juga, akhirnya kau dekati para ibu-ibu
kampung yang sedang menggosip di teras rumah Bu Hajah. Aminah.
“Ah, itu merupakan kisah yang tidak boleh
diperdengarkan kepada banyak orang, keluarganya yang masih waras tidak ingin
seorang pun mempublikasikan sejarah hitamnya yang membuat anak keturunanya
menjadi seperti itu,”
“Jadi semua anak dan keturunannya menjadi pencuri?
Jangan bilang salah satu dari antara mereka ada yang sampai tega memakan uang
orang lain, beruntung hanya teh manis dan mendoan saja yang ia ambil, bagaimana
dengan keluarganya yang lain? Apakah lebih parah darinya?”
“Bukan pencuri! Jangan menyebutnya sebagai pencuri!
Keluarganya akan marah!”
“Tapi dia mengambil air teh di warungku! Tanpa izin,”
“Kau membiarkannya bukan? Itu artinya kau rela, maka
biarkanlah ia terus melakukan seperti itu. Bahkan kudengar dari tetangga yang
lain, kakaknya yang juga tak jauh berbeda dengannya, sering mengambil uang dari
dalam kotak amal masjid atau surau-surau yang disinggahinya,”
“Berani sekali ia mengambil uang amal banyak orang, lah kalau yang diambil uang rakyat
tidak masalah, kan tidak ditujukan
untuk beramal kepada Tuhan, setidaknya dosanya mungkin bisa lebih ringan dari pada
orang yang mengambil kotak amal di masjid. Apa otaknya tidak digunakan untuk
berpikir? Dasar pencuri edan!”
“Maaf, sekali lagi dia bukan pencuri!”
“Jelas-jelas dirinya mengambil hak yang bukan miliknya,
apalagi jika bukan seorang pencuri?”
“Dia terkena kutukan karena ulah kakeknya sendiri!”
“Apakah kutukan itu menular?” tanyamu sedikit menyimpan
rasa takut. Orang-orang diam.
Hari mulai
gelap, kau pun pulang, membawa informasi yang belum memuaskan. Keesokan harinya
kembali kau buka warung kelontongmu, menjajakan makanan titipan tetanggamu.
Beberapa sopir angkutan umum singgah di tempatmu, menenggak teh panas yang baru
saja kau seduh, memakan tempe goreng yang baru saja kau angkat dari wajan. Kau
layani mereka dengan baik. Logam seribuan pun terkumpul di laci uangmu. Ia datang lagi__ kau sedikit
waspada. Memerhatikan setiap inci gerak tangannya,
Kali ini ia
tidak mengambil minum atau mendoan, namun memberimu sebuah senyuman, senyuman
maut yang membuatmu mati kutu. Hari itu kau yakin dan membenarkan jika
laki-laki itu bukan pencuri. Ia berjalan menjauhi warungmu, mengarah menuju
supermarket yang ada di seberang jalan. Ia masuk, membuka kulkas, mengambil
minuman dingin sesuka hati, tak membayar, penjaga kasir melotot, ingin
berteriak mengumpat-umpat. ‘Maling tidak
tahu diri!’ Namun ia tidak mempunyai nyali, sebab orang-orang sekitar
menegaskan bahwa dirinya bukan maling. Kau mengembuskan napas pasrah. Ah, bagaimana pun juga kata pencuri
sudah melekat untuknya dalam benakmu.
Minggu ke tiga, bukan ia yang datang, melainkan seorang
perempuan berwajah manis, senyumnya mampu menggodamu, menjatuhkn nafsumu, membuatmu
melayang ke negeri antah-berantah, rambutnya yang tergerai dikibaskan oleh
angin, beberapa helai jatuh menutup permukaan wajahnya, ia menyingkirkannya ke
sela-sela telinga. Tangannya mengambil roti bungkus yang ada di meja, lantas
pergi berlalu begitu saja. Jika kau amati dari gestur tubuhnya menata tampilan
fisik, ia bukan gelandangan, pengemis juga tak pantas tersandang baginya,
kupu-kupu malam? Celana jins rapi,
kaos you can see merah hati, rambut yang tidak begitu awut-awutan,
senyum yang mencairkan kebekuan jiwa laki-laki, bahkan kau menarik sebuah
kesimpulan bahwa tak mau kau berdusta jika parasnya menawan. Perempuan itu,
mendadak kau asumsikan saudaranya laki-laki yang biasa mengambil teh manismu. Ia bukan kupu-kupu malam!
“Ya, perempuan manis itu memang kakaknya!” jawaban Bu
Hajah. Aminah ketika kau mengkonfirmasikan identitasnya. “Dia pun terkena
kutukan! Ia adalah orang yang mencuri kotak-kotak amal di masjid-masjid kampung
tetangga, dan surau-surau kecil mereka!”
“Lalu untuk apa uang-uang
itu? Kenapa ia masih berkeliaran di jalanan? Kenapa tidak dilaporkan kepada
polisi saja? Meskipun yang dicuri sedikit, tidak sebanyak penjabat negara yang
membelanjakan uang rakyat, namun tetap saja ia telah mencuri!” katamu
berapi-api.
“Jika tindakannya tidak dilaporkan kepada yang berwajib
sementara warga tidak bisa mengambil sebuah keputusan untuk memberinya hukuman,
ia akan seperti itu terus-menerus, mencuri di mana-mana, semaunya sendiri!”
“Begini, dia bukan pencuri!
Orang-orang membiarkannya karena ia bukanlah seorang pencuri!”
“Ah, kalian
mungkin gila! Bagaimana mungkin orang yang jelas-jelas mengambil barang yang
bukan haknya dikatakan bukan pencuri? Apakah karena nilai barangnya sedikit?
Apakah yang berhak dikatakan pencuri itu hanya para koruptor-koruptor itu?” kau
membantah. Tanganmu mengepal di garis celana. Suara melengking dengan nyaring.
Kau merasa hukum perlu ditegakkan. Kau yakin sekali bahwa laki-laki dan
perempuan itu telah melakukan tindakan yang merugikan banyak orang, maka tidak
wajar jika hanya dibiarkan saja. Harus ada oknum berwajib yang menanganinya.
Bagimu, hal itu bukan masalah sepele.
Pada musim kemarau, kau menyaksikan dengan mata
kepalamu sendiri.
Hari itu kau
singgah ke sebuah masjid di kampung sebelah, kau menumpang salat zuhur,
perempuan itu datang, perlahan mengangkut kotak amal, membawanya ke luar dari
masjid. Kau yang baru saja selesai berdoa langsung lari mengejarnya, ia
terbirit-birit menjauhi kejaranmu. Jalanan lengang, tak seorang pun melintasi
jalanan tersebut. Orang-orang sedang sibuk mencari nafkah. Anak-anak sekolah
belum pulang ke rumah. Kau sendirian, berusaha menegakkan hukum! Bagimu ia
haruslah diberi pelajaran. Jika sampai tertangkap, kau hendak memukulnya,
melumpuhkan langkahnya. Namun di perempatan jalan, kau tersengal, sementara ia
terus berlari. Kau membungkukkan badanmu, menetralisir laju napasmu yang
tersengal-sengal. Keringatmu bercucuran di kening. Kau usap.
“Cepat sekali kau! Apa tak punya rasa lelah?”
“Bagaimana bisa mempunyai rasa lelah, jika rasa
bersalah pun ia tidak tahu?”
Kakek-kakek tua yang baru
saja pulang dari sawah menepuk bahumu.
“Anak muda, tidak perlu kau mengejarnya, ia tidak akan
memberikan kotak amal itu kepadamu, justru akan mengamukmu!”
“Kenapa dibiarkan? Apakah ini masih beralasan perihal
kutukan! Itu tidak rasional, Kek!”
Kakek mengajakmu ke
rumahnya. Ia membawa kayu bakar di atas kepala, melapisi ubunnya dengan rumput
yang dibuat melingkar seperti sarang burung. Kalian berdua duduk di beranda
rumah. Kakek selonjoran di permukaan lantai, begitu pun denganmu. Kebetulan
rumah kakek tidak begitu jauh dengan perempatan jalan.
“Dia memang bukan pencuri!”
“Lalu mengapa dia bisa seperti itu?”
“Kau sangat penasaran?”
Dagumu dianggukkan. Kau tatap kakek itu, wajahnya
berkerut. Giginya tinggal satu di depan. Keseluruh kulit di tubuhnya telah
kering dan mengeriput. Suaranya parau bukan karena sedih, namun tergiring
usianya yang mendekati senja. Beberapa tulangnya tampak menonjol, ia seperti
tidak memiliki daging sedikit pun.
“Kisahnya dulu ada seorang Ayah bernama Parjo…” kakek
memulai kisahnya. Kau mendengarkan. Tangan kau jadikan bantal. Tubuhmu rebah
menghadap langit. Lantai dingin mencium punggung tubuhmu. Kau acuh. Musim
kemarau baru saja dimulai. Dua minggu yang lalu adalah hujan terakhir di musim
basah. Sebelum kemarau datang, hujan sempat mengucapkan perpisahan, menjadi
saksi laki-laki pencuri itu mengambil tiga mendoan di warungmu kala itu.
Parjo adalah orang yang semula rajin beribadah. Ia
sering mengunjungi masjid untuk salat berjamaah. Pekerjaan menjadi tukang gali
kubur kampung. Selain itu terkadang ia juga membantu keluarga jenazah mengusung
mayat ke tempat peristirahatan. Bertahun-tahun itulah pekerjaannya, namun pada
tahun 1997 ia harus pensiun, ada hal yang sangat memukulnya.
Kau penasaran setengah mati.
Keranda mayat yang sering digunakan orang-orang untuk
membawa jenazah ke pemakaman mengeropos, kayu-kayunya dimakan rayap. Akhirnya
Pak RT menggalang dana untuk membeli keranda mayat yang baru dan terbuat dari
besi. Warga pun berbondong-bondong mengumpulkan uang untuk mewujudkan keinginan
mereka. Sebab, kejadian menakutkan pernah tercatat sebagai sejarah di
kampungnya, keranda yang mengangkut mayat dari rumah duka, kayu penyangganya
patah di tengah-tengah perjalanan, alhasil mayat yang terbungkus kafan putih
itu lompat ke selokan. Orang-orang panik, keluarga amat sangat kecewa dengan
Tetua Kampung yang tidak memerhatikan kondisi keranda mayat tersebut.
“Cerita ini tidak ada hubungannya dengan para pencuri
itu, Kek!” kau mulai bosan mendengarkan.
Setelah keranda mayat yang baru datang tiba, Parjo
membawa keranda kayu tua itu ke rumahnya, ia menghancurkan keranda mayat
tersebut lantas membakarnya. Penghuni yang menempati keranda tua itu marah.
Mereka adalah makhluk halus. Makhluk dari alam gaib yang sepakat menjadikan
keranda kayu itu sebagai kerajaan hitamnya. Karena kerajaannya terbakar, alhasil
makhluk-makhluk itu berpindah rumah ke tubuh anak-anak Parjo dan keturunannya. Semenjak
itulah Parjo pensiun menjadi tukang gali kubur dan pembantu pengankut jenazah
orang. Ia menghabiskan waktunya dengan keluarganya di rumah. Namun sebulan
setelah ia membakar keranda mayat, keseluruh anak-anaknya yang telah menikah
termasuk juga dengan istrinya gila.
“Apakah kutukan itu berupa hukuman menjadi seorang
pencuri gila itu?”
Kakek itu mengangguk.
“Bagaimana kakek tahu dan mau menceritakan sejarah
kutukan itu kepadaku? Sementara warga di kampungku sendiri berusaha keras
menyembunyikannya?”
“Mereka adalah cucuku!”
“APA?”
Kau menggelegak air liurmu sendiri. Bangkit dari posisi
rebahmu. Napasmu seperti berhenti berembus. Tubuhmu merinding.
Magelang, 10
Desember 2017.
Komentar
Posting Komentar