Riana
Kota Luar sore itu
menangis, hujan menggenangi permukaan aspal. Kopi-kopi di meja kafe mendingin
tak kunjung diminum. Warna-warni payung menghiasi jalan trotoar. Jas-jas hujan
berkeliaran melawan arus hujan. Remang cahaya membias pada butiran air, yang
membuat senja tampak elegan. Sayangnya hujan tak lagi menyimpan kerinduan dalam
bola mata bocah-bocah. Semua manusia meringkuk di bawah naungan atap, kecuali
mereka yang sengaja memadati jalanan untuk pulang. Punggung-punggung berbalik.
Nuansa yang manis di tepian jembatan kota menjadi hal yang paling dirindukan,
saat sepasang pemuda saling sandar membicarakan kesemuan masa depan.
![]() |
pixabay.com |
Hari itu, hujan
membawa kabar duka bagi sebuah kota,
meluluhlantahkan gedung dan bangunan-bangunan tua, menyapu bersih orang-orang
yang ada di pusar jalan, meleburkan pasar dan pusat perbelanjaan. Gagang payung
lepas dari genggaman tuannya. Cangkir-cangkir kopi pecah, seiring dengan
ambruknya kafe yang menaungi. Waiters-waiters
kalang-kabut, tunggang-langgang mencari pegangan agar tidak terseret
banjir. Mayat-mayat hanyut, lalu
tersangkut di tiang listrik yang roboh.
Seorang Pelacur
meratap mencari bantuan di hotel teratas, ia menjerit, memohon pertolongan
kepada Tuhan yang telah lama dilupakan.
Sungai-sungai yang
semula dipenuhi dengan sampah membuat banjir bandang yang tak pernah diinginkan
mereka itu terjadi. Kabar duka mengalir sederas air. Keluarga tak lagi lengkap.
Sementara Pelacur itu, pasrah dengan takdir menunggu penyelamat membenarkan lift hotel yang rusak. Di bening bola
matanya sendiri, ia menyaksikan musibah itu. Ia meraung-raung bukan karena
kesakitan, namun penuh dengan ketakutan.
Yang ada di dalam benaknya, jika ia mati, siapakah yang akan menanggung dosa
berzinanya dengan orang-orang berdasi selama ini? Ia tak tahu, akan mengambil
keputusan untuk menyelamatkan diri, atau menenggelamkan diri. Orang yang dikencaninya jatuh pingsan beberapa menit
lalu karena tak tahan melihat keadaan di luar sana yang dipenuhi dengan
pengakhiran. Ia aman. Ya, ia aman
namun jiwanya tak tentram.
Satu bulan pasca
musibah banjir bandang, ketika rakyat masih berebut makan di tenda-tenda
pengungsian, Timsar masih mencari mayat-mayat dalam lumpur, ia memutuskan
pergi. Merantau ke Kota Dalam, menutup masa lalu kelamnya, menyembunyikan
riwayat hidupnya. Ia menghapus rekaman jejak dalam ingatannya tentang semua
orang yang telah menidurinya, bahkan ia sangat bersyukur media masa mengabarkan
diri mereka hilang. Mulai waktu itu, ia ingin mempercayakan hidupya kepada hati
nurani, bukan nafsu duniawi.
Di Kota Dalam ia
tinggal di rumah kontrakan sederhana. Setiap Minggu, ia aktif beribadah dan
berdoa di Gereja, sementara kebutuhan hidup sehari-harinya ia mengandalkan
pekerjaannya sebagai Kurir Penjualan Barang Online.
***
Pagi ini, Riana
mengepak barang yang akan dikirim ke konsumen, beberapa produk kecantikan dan
pakaian gamis syar’i. Ia
memasukkannya ke dalam kardus yang proporsional. Melapisi permukaannya dengan
lakban kuning, kemudian membawanya ke Kantor Pos. Begitulah pekerjaan Riana sehari-hari
selain mendapatkan komplain dari
konsumen mengenai paket yang tak kunjung datang, atau paket yang cacat
ini dan itu.
Ia selalu berpikir
rasional, bahwa paket di negara ini tidak hanya untuk satu orang, maka pending ke alamat tujuan merupakan hal
yang wajar, sementara mengenai isi brang yang tak sesuai dengan keinginan
konsumen, ia serahkan sepenuhnya kepada pencipta alam. Lantas baginya sendiri,
pekerjaan diomeli dan dibom dengan pesan-pesan tak sabaran itu merupakan
anugerah.
Di Kota Dalam,
Riana terkenal sebagai Seorang kurir yang ramah dan baik hati dalam melayani
konsumen-konsumennya, ia juga sering mendapatkan reward dari atasan.
Bagi Riana,
melayani pembeli, tak jauh berbeda dengan kisahnya lampau lalu, sebelum banjir
besar-besaran mengilhami kesadarannya. Ia sering mendengar obrolan sembarang
dari beberapa lelaki yang mengajaknya kencan, “istriku baik hati dan penurut jika kantongku penuh dengan dompet,
kadang aku korupsi karena itu, selain juga karena nafsuku yang tak tahan
melihat godaan dari mata-mata rupiah dan wanita-wanita.” Kisah mereka, di
lain waktu pindah pada keluhan yang datar. “Aku
malu pulang menemui istriku karena tak membawa banyak uang, sementara diriku
sudah tak tahan melawan… maka kupinang…” sambil tersendat-sendat mereka
mengungkapkan, kalimat-kalimatnya sering menggantung, atau bisa juga menjadi
sebuah pertanyaan retorik.
Riana akan diam
beribu bahasa, ia menyelami dan melakukan pekerjaannya dengan baik, jika perlu
mendengarkan kisah mereka maka akan didengarkan, asalkan sewanya bertambah.
Telinganya ditegakkan untuk mendengarkan curahan batin apa saja, tanpa
meresponnya kecuali, ‘Oh ya? Oh my God!
Aku tak pernah tahu kehidupan orang-orang penting, bagiku semuanya tak penting!
Mengeluh adalah hal yang manusiawi, tak mengapa Anda mengeluh, semuanya akan
selalu seperti itu jika tidak segera diatasi.”
Adanya wanita yang
bekerja sebagai pelacur, justru seperti sebuah buku diary yang siap ditumpahi tinta merah dari penulisnya. “Aku bingung bagaimana mengembalikan citra
diriku di mata publik, kasus narkoba membuatku muak! Kau tahu? Padahal beberapa
orang kepercayaanku sudah kusumpal dengan uang untuk merahasiakannya, tetap saja
narkoba di gudangku terendus.” Bagi Riana suara-suara itu tidak
menguntungkan baginya. Ia juga tak mempunyai nyali kuat untuk merekam setiap
inci huruf yang dikeluarkan lalu dilaporkan ke pihak berwenang.
Sekelompok manusia
cenderung menyukai pakaian-pakaian ketat dan seksi, itu artinya sosok yang
tergambar adalah manusia yang gemar menonjolkan dirinya. Produk kecantikan yang
harganya mahal dan jelas-jelas sudah
diketahui kandungan buruknya tetap dipinang, atas dasar memenuhi penampilan.
Ada pula konsumen yang menjadi langganan produk tas-tas terbaru, seolah-olah ia
tak ingin ketinggalan. Riana selalu bertanya-tanya untuk apa semua itu?
Bagi Riana, orang
awam yang mulia tak perlu belanja banyak barang sebagai gaya-gayaan, tampillah
secukupnya yang rapi dan elegan, tanpa harus membubadzirkan uang-uang. Kadang
ia menimbang data statistik pembeli dengan tingkat kemiskinan di
pelosok-pelosok negeri. Yang bersembunyi di balik rerimbunan hutan dan luasnya
lahan, hanya meratap, memimpikan keindahan kota metropolitan, bisa juga mereka
tak paham transaksi jual beli online,
yang terpenting besok ada beras dan lauk di meja makan.
Beda cerita jika
mereka bekerja sebagai pelacur, fashion
dan performance fisik merupakan daya
tarik sendiri dalam melayani pacar-pacar sesaatnya. Dahulu, riasan wajah Riana
tebal dan menor, parfumenya menyengat ke penjuru ruangan. Lain cerita pada
tahun itu, ia cukup mandi tiga kali sehari dan melumasi tubuhnya dengan handbody.
Di sebuah halte
ketika Riana pulang dari Kantor Pos, ia bertemu dengan seorang pria. Ia memakai
ransel besar dengan jaket tebal yang entah apa isinya. Telapak kakinya
dibungkus sepatu boot sementara kedua
matanya dilindungi dengan lensa. Ada arloji mewah yang melingkar di lengan
kirinya.
Riana singgah di
halte tersebut, berteduh dari reruntuhan air langit yang mengamuk. Jalanan
dipenuhi dengan riak-riak air, roda dua menabrak genangan air, terciptalah
ombak daratan yang berhamburan sesaat di udara. Riana tak membawa jas hujan,
sepeda motor inventarisnya diparkir di tepi halte. Pria itu menjabat tangannya.
“Aland, kau mau ke
mana?” tanpa basa-basi pria itu memperkenalkan diri dan menaruh simpati pada
Riana.
“Pulang.”
Riana menatap
titik-titik air hujan yang menetas dari langit, ia diam menyelami waktunya dan
kesendiriannya. Ada orang yang berteduh dan menunggu bus Kota Dalam di sana,
kesemuanya sibuk menatap layar ponsel, kecuali Riana, yang justru
menenggelamkan pikirannya pada tragedi setahun silam. Ia tidak pedih seperti
korban banjir lainnya, sebab ia merasa tak memiliki sanak keluarga, dari
umurnya lima tahun, ia sudah tinggal di Panti Asuhan Kristen dengan belbagai
peraturan yang membuat kepalanya pening. Ia tak tahu siapa ayah dan ibunya,
pergi ke manakah mereka, ia juga tak ingin tahu. Siapa yang melahirkannya
lantas tega meninggalkannya? Ia mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang baginya
tidak memiliki jawaban tersebut.
Ia hanya kesal dengan pemilik panti yang
mewajibkannya belajar dan berdoa kepada Yesus. Ia malas berdoa, karena sadar
doanya tidak akan pernah membuat kedua orangtuanya datang menjemputnya. Ia
benci belajar karena baginya saat itu, pandai tak akan membuat bangga siapa
pun, termasuk pemiliki panti asuhan. Pendeta yang merawatnya dari kecil telah
lelah mendengar tangisan anak-anak lainnya, ia tak sempat memerhatikan Riana.
Sebab itulah, ketika panti asuhannya dikabarkan luluhlantah, Riana diam saja,
tak sedih, juga tak berduka cita. Yang ia khawatirkan hanya ia takut jika
dirinya mati. Ia trauma dengan hujan besar yang mendatangkan badai. Ia belum
siap mati.
Wajah Riana
terlihat sangat Bimbang. Aland dapat menangkap gerak-gerik gesture mimik
wajahnya. Aland memutuskan mengikuti Riana.
“Di mana rumahmu?”
“Perumahan Sekar,
Gang 05 Timur.”
“Kebetulan aku
sedang mencari tempat tinggal, bisakah aku ikut denganmu? Aku ingin menyewa
rumah yang tersisa.”
Pada akhirnya
mereka tinggal bersebelahan. Aktivitas Riana terekam oleh Aland, begitupun
sebaliknya. Aland orang yang jarnag keluar rumah, entah apa pekerjaannya,
sehari-hari ia berkutat di dalam rumah bermodalkan dengan beberapa laptop dan
ponsel. Jika pun pergi maka hanya pada hari Sabtu dan Minggu, sama dengan
penghuni kontrakan rumah yang lain, kebanyakandi hari-hari tersebut mereka akan
berlibur, namun entah Aland pergi ke mana, ia tak pernah memberitahu Riana.
Setahun mereka bertetangga, kedekatan mulai terjalin. Riana yang terkadang
kelelahan seringkali mencurahkan isi batinnya kepada Aland secara spontan tanpa
sadar ketika otaknya dibius oleh minuman keras. Pada suatu malam Riana
membeberkan jati dirinya yang dulu pernah bekerja menjadi pelacur. Ia tampak
menjadi wanita yang sangat putus asa. Ia juga membocorkan semua protes-protes
konsumen. Apa saja yang mengganjal di benaknya ia muntahkan di hadapan Aland.
Keesokan harinya, ia malu dan menyesali kebodohannya.
“Tak apa, aku
memahaminya,”
Sejak saat itu,
mereka menjadi tetangga yang sangat dekat, bahkan lebih sering makan bersama di
teras rumah.
“Kau ingin hidup
nikmat penuh dengan fasilitas, Riana?”
“Kau pasti sedang
menawarkan pekerjaan yang berat. Zaman sekarang tak ada pekerjaan ringan,
sekalipun itu menjadi seorang pelacur!”
“Kau tak perlu
bekerja, kau hanya butuh kedamaian.”
“Aku ikut sebuah
organisasi…” Aland membisikkan nama Organisasi ke telinga Riana. “Itulah yang
membuatku selama ini hidup nyaman tanpa harus membanting tulang, aku
mendapatkan fasilitas mewah, seperti laptop, mobil, rumah, bahkan hotel kelas
bintang tujuh.”
“Kerjaannya?”
Riana penasaran. Aland bangkit dari tempat duduknya, ia mengabaikan piring yang
masih berisi setengah mie goreng,
lenganya menarik tangan Riana. Mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.
Riana didudukkan
di ruang tamu. Sementara Aland, mengambil sesuatu dari kamarnya.
“Kau hanya perlu
meleburkan benda ini tanpa jejak.”
Aland tampan dan
seperti seorang cendekiawan, namun ia tak menyangka jika pekerjaannya sungguh
naïf. Bola mata Riana nyaris terpental dari kediamannya. Jantungnya seolah akan
berhenti berdetak. Tubuhnya bergetar dan pandangannya menjadi buram. Perasaannya
diliputi dengan kematian.
Benda yang dibawa
Aland adalah BOM!
Sebulan setelah
makan siang bersama terakhir mereka, media masa dipenuhi dengan berita seputar
Teroris dan Bom.
***
Sebuah Canel
Televisi menyiarkan 2 Teroris yang berhasil digiring oleh polisi. Seorang pria
dan seorang wanita.
***
“Kau bisa mulai
bekerja pekan besok,”
“Terima kasih,
Pak. Saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh.”
Wanita itu ke luar
dari Perusahaan Jasa BUMN di Kota Dalam. Tangan munguilnya mengusap keningnya
yang berlumuran dengan keringat. Tiga jam lebih ia diwawancarai, ditanya ini
dan itu, beruntung ia berhasil lolos dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak
pernah dipikirkannya sebelumnya. Sebenarnya hal itu bukan masalah utamanya ia
berkeringat dingir. Ratusan kali hatinya berdoa kepada Yesus, semoga mata orang
yang ada di hadapannya tak mampu membedakan ijazah asli dan ijazah palsu.
Karena merasa
diteror oleh publik dan media masa, Riana memutuskan pindah alamat.
Dipenjaranya Aland sebagai tersangka Teroris, membuat tetangga-tetangganya
menatapnya dengan aura gelap. Alasanya klasik, sebab Riana adalah rekan dekat
Aland. Menurut mereka, Aland dan Riana telah mencemarkan nama baik perumahan. Riana
juga sempat kesal karena diinterogasi oleh beberapa polisi mengenai Aland. Ia
nekad membeli ijazah S2 palsu dari jasa pembuatan ijazah gelap.
Sayangnya Riana
tak betah lama-lama mengabdikan dirinya dengan menjual jasanya. Ia sering
mendapatkan masalah dan protes dari sana sini karena pelayanan yang kurang
memuaskan. Rakyat ada yang tak tahu malu dan asal ceplos jika bicara. Sedikit
yang mau memahami pekerjaan Riana, mereka tak pernah paham jika selama ini
Riana telah berusaha keras. Sekeras apa pun ia berusaha, ia sering salah input
data, apalagi jika sudah berhubungan dengan nominal. Riana mengeluarkan diri
sebelum mendapatkan surat peringatan. Ia sadar, ijazah palsu tak mampu
menjadikannya pintar di muka publik.
Ia tak mungkin
menganggur, tak ada sanak dan saudara, tak ada anak dan suami. Ia harus bekerja
demi mengganjal perut dan membayar sewa tempat berteduhnya. Kota Dalam kurang
cocok dan ia merasa bosan, ia pergi ke kampung pelosok. Mencari tempat tinggal
seadanya dan bekerja menjadi buruh tani. Kulit Riana yang putih mulus, berubah
hitam legam karena sering dipanggang panas matahari.
Di kampung
pelosok, Riana tak pernah menyebutkan identitas aslinya. Ia mengubah namanya
menjadi Nana. Data pribadi dan masa lalunya yang kelam disembunyikan
rapat-rapat. Ia sering dipanggil Nana dan mendapat julukan perawan tua. Sampai
umurnya menginjak angka 35 tahun, Riana belum menikah. Bukan tersebab tidak ada
yang tertarik padanya, beberapa lelaki pernah berusaha untuk melamarnya,
sayang, Riana tidak tertarik dengan laki-laki. Di matanya, sedikit laki-laki
baik. Pengalamannya menjadi pelacur membuat dirinya sering ditakuti
bayang-bayang gelap mengenai perselingkuhan,
ia khawatir jika pria yang menikahinya kelak akan berkhianat, maka ia
memutuskan TIDAK MENIKAH. Tak peduli orang kampung mau berkata apa dan
memberikan julukan apa untuknya, yang terpenting baginya ia bisa makan dan
minum.
Di kampung itu ia
merasa sangat bersyukur karena bisa merasakan kedamaian dan anugerah hidup yang
indah. Jika dibandingkan dengan ujian-ujian hidupnya ketika di panti, menjadi
pelacur, musibah banjir bandang, maupun diprotes konsumen, semuanya tak ada bandingannya
dengan ujian yang menimpa Kek Avan. Ya. Kek Avan, ia pria tua yang memiliki
kekayaan bermilyar-milyar, lengkap dengan beberapa obil dan fasilitas rumahnya
yang sangat megah. Istrinya dikisahkan bunuh diri, sementara dirinya menjadi
gila. Ia sering mondar-mandir di persimpangan jalan. Meratap-ratap. Kadang
tertawa sendiri, meski lebih sering menangis. Kek Avan adalah potret manusia
yang tak tahan dengan ujian hidup. Ia gila karena tak mampu memikul ujian yang
Tuhan berikan.
Riana sering
mendapatkan nasihat-nasihat dari orang kampung tentang hidup. Sambil menenggak
teh tawar yang diolah manual, mereka akan bercerita mengenai nenek moyang
kampung pelosok dan tragedi-tragedi yang pernah terjadi di sana. Dahulu ketika
listrik belum masuk kampung, sering ada harimau dan babi hutan yang kluyuran di
sekitar rumah warga. Sepanjang malam tidur mereka tak nyenyak dan dirundung
dengan ketakutan. Ada pula kisah sepasang pemuda-mudi yang hendak melangsungkan
pesta pernikahan namun salah satu mempelainya kabur, yang terakhir adaah cerita
Kek Avan, bagi mereka itu sebuah cerita yang melegenda.
“Kenapa bisa
sampai seperti itu?’ Riana penasaran, ia sudah tak sabar ingin mengetahui seluk
beluk penyebabnya.
“Dulu Kek Avan
kehilangan anaknya ketika sedang bertamsya ke Kota Dalam, istrinya stress dan
memutuskan bunuh diri, anak mereka adalah seorang bocah kecil yang imut dan
masih berumur empat tahun, belum tahu apa-apa kecuali menyebut namanya sendiri,
‘Riana’.”
Magelang, 18
Januari 2019.
Komentar
Posting Komentar