Mata yang Hilang
Tangan Okta mengepal di garis
celana, ia mengembuskan napas beratnya yang diselingi udara pagi. Ada kata yang
tak dapat diucapkan, ada sebaris kalimat yang hendak dimuntahkan, namun
perasaannya sudah kelu, tak tahan menanggung malu yang bertubi-tubi. Mamanya
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, ia menatap sekilas dari balik
tirai jendela kemudian melanjutkan menyapu ruang tamu. Okta memandang kepergian
ayahnya dari teras rumah yang dihuni sepi sepanjang waktu. Fajar pamit pulang,
warna kuning dan jingga menaburkan keindahan di langit Timur, lentera matahari
jatuh pada pucuk daun di pinggiran-pinggiran kota.
![]() |
pixabay.com |
“Ayah! Setiap orang pernah berbuat
salah! Tak baik jika terus meratapinya!”
Punggung Ayah hilang. Ia berjalan
menyusuri trotoar, menghindari langkah pemijak kaki yang lain, tongkat
dijadikannya sebagai kaki ke tiga. Sinar ultraviolet menembus kaca mata hitam
yang dikenakannya. Lima bulan penuh, Ayah selalu pergi keluar di waktu pagi,
ketika orang-orang kantor masih menyesap kopi, atau teh manis berteman koran di
beranda rumah mereka. Kaki Ayah telah menjejejakkan ratusan langkah, saat
anak-anak sekolah sibuk menunggu mobil antar jemput sekolah. Keringatnya
mengalir berpuluh-puluh butir di kening, sementara buruh bangunan baru
menghirup udara segar dari malam pendeknya.
Lalu lalang kendaraan berjalan dengan
stabil, tak ada yang melawan rambu-rambu lalulintas, kecuali berandal yang
kurang didikan. Suara klakson bersiul-siul memekakakkan gendang telinganya. Ia
pun dapat mendengar tukang sapu negara yang menggesek-gesekkan lidinya untuk
membersihkan jalan dan taman-taman pinggiran trotoar di waktu pagi. Selain itu,
ia juga hapal dengan nenek-nenek penjual bubur sum-sum yang sering mangkal di
dekat Indomaret.
Ia lantas jongkok, memesan satu
bubur sum-sum, dinikmati sembara membuang wajahnya lurus ke depan. Ada hal yang
ia tatap dalam gelapnya pencahayaan kaca mata hitam. Ada tragedi yang
terkandung di dalamnya. Ada ribuan bahkan milyaran air mata penyesalan. Ada
rindu yang tertanam kuat, namun
kehampaan memeluk erat. Mendadak air matanya menititik deras. Tak seorang pun
mengetahui kepedihan yang selama ini ia pendam, kecuali Okta, putrinya dan
istrinya di rumah. Orang-orang jalanan menganggap ia hanya buta biasa saja.
Sementara takdir memberikan buta kuadrat bagi hidupnya, buta penglihatan tidak
begitu menyakiti perasaannya, namun buta kesadaran, buta ketelitian, buta
dengan kata hati-hati, buta yang melukai orang lain adalah hal paling
menyakitkan bagi dirinya. Ia tak merasakan buta penglihatannya, ia sedang
menyesali perbuatannya yang membuat dirinya menjadi buta.
Tepatnya sudah 9000 jam berlalu, namun
ia masih selalu duduk di sisi nenek penjual bubur sumsum, menghirup udara pagi,
merasakan aroma penderitaan yang sangat menyengat di pelupuk matanya. Ia
menerawang angkringan kecil di seberang jalan. Angkringan dengan tenda biru itu
selalu melemparkan ingatannya pada tragedi lima bulan lampau, ketika ia bekerja
menjadi buruh bangunan dalam proyek jalan, membuat trotoar dan memperlebar
jalan saluran air di dalam selokan.
Mobil molen, setumpuk pasir dan semen, puluhan mata-mata
orang awam merekam kenangan yang tidak ingin ia kenang dalam hidupnya,
sayangnya selalu terkenang meskipun susah payah berusaha untuk dibuang.
Kejadian di bawah terik matahari yang dipenuhi debu-debu jalanan kala itu
membekas di dada. Ia membenci mata dan kakinya yang bergerak reflek sehingga
peristiwa menyakitkan sepanjang sejarah hidupnya terjadi.
“Yah! Sudahlah, jangan terus
meratap! Ayah masih punya keluarga yang pantas dipedulikan! Semuanya sudah
menjadi takdir, Yah!” Okta geram suatu malam, dan dirinya masih saja meratap di
sebelah penjual bubur sumsum.
Setiap pagi, ia hanya ingin
melihat pemilik angkringan di seberang jalan itu, seorang lelaki muda yang
mempunyai anak berumur lima tahun. Laki-laki itu duduk di kursi roda, matanya
lurus menatap kegelapan di depan. Istrinya melayani pembeli, sementara
pembantunya sibuk menyiapkan gorengan teh hangat. Mereka, potret cinta yang
selalu utuh, meski yang satu memeluk gelap, namun tak ada yang hendak
berpaling. Mereka menjadi tuan dan nyonya angkringan. Istrinya setia mendorong
kursi roda setiap esok dan ketika senja menjemput. Orang akan berkata, cacat
fisiknya diakibatkan kecerobohan manusia, namun waktu mengelak, semua itu telah
menjadi keputusan takdir yang tidak bisa diganggu gugat. Begitu pula Okta
menjelaskan.
“Itu semua takdir, Ayah!” berulangkali
sampai mulut Okta berbusa, namun Ayah tak jua mau mengerti.
Cahaya matahari bertambah terik.
Kesejukan pagi berangsur pergi. Kendaraan bertambah lalu-lalang, kestabilan
masih normal, stabil seperti hari-hari lampau, terkecuali waktu Jumat, Sabtu
dan Minggu. Kendaraan yang melaju pada hari Sabtu dan Jumat akan lebih banyak,
pakaian pengendaranya pun berwarna-warni, sementara di hari-hari lain, mereka
akan mengenakan pakaian seragam, entah itu buruh yang memakai pakaian serba
robek dan kucel untuk bekerja, atau pun mereka-mereka pekerja negara yang
lipatan kainnya terlihat dengan jelas oleh polesan setrika.
Pada hari Sabtu dan Minggu, orang-orang cenderung
berdandan santai, seolah waktu itu memang telah ditakdirkan untuk bersenang-senangi
dengan orang-orang yang dikasihi mereka. Sementara pada hari Jumat, jalanan di
waktu siang akan tampak sepi, sepanjang jalan raya hanya tinggal beberapa
pengendara.
Seringkali daun kering yang jatuh bertanya-tanya ke
manakah perginya mereka? Sementara kalender tak bertinta merah, namun aktivitas
sinar seperti disihir kesunyian panjang. Rakyat langit menggiring orang-orang
pilihan ke tempat ibadah yang suci, kembali setelahnya jalanan akan ramai
dipenuhi dengan klakson-klakson yang dipencet buru-buru. Ayah hapal sekali
dengan karakter bunyi jalananan menuju angkringan lelaki itu.
Ayah pulang ketika anak-anak SD memulai
pelajaran. Ketika pekerja kantoran membuka-buka laporan perusahan. Ketika para
buruh mencampur semen dan pasir. Ketika nasi di angkringan berkurang. Ketika
toko-toko di pinggiran kota membuka pintu. Berakhir tenda angkringan tergulung,
ia membalik punggung. Meninggalkan nenek penjual bubur sum-sum dan lelaki muda
itu. Angkringan buka sore hari dan tutup di waktu pagi.
***
“Sudahlah, Yah! Fokus saja dengan
kehidupan kita! Ayah tidak bisa memutar waktu,
walaupun Ayah selalu pergi ke angkringan itu setiap pagi, mata yang
hilang tidak akan pernah kembali! TIDAK AKAN PERNAH AYAH!”
Ayah membanting piring makan
malam. Suasana yang seharusnya hangat di meja makan, justru dibekukan
keasingan. Tubuh Mama menggigil ketakutan. Mama orang yang pendiam dan selalu
menerima apa yang ada dalam hidupya, jarang protes dengan keputusan takdir,
luka dan hal-hal yang membuat batinnya tidak menerima kenyataan sering dipendam
sendirian, bahkan angin senja pun tak dibiarkan mendengarkannya. Okta sendiri
sosok yang banyak bicara, ia bukan tipikal penyerah jika apa yang ia
harapkan belum berhasil digapai,
sepertihalnya mengulangi kata-kata takdir berkali-kali, sampai ia jengah dan
sangat lelah, dan saat itu pula ia belum pasrah walaupun Ayah telah marah.
Dinding rumah seolah akan retak
karena tak tahan menatap murka Ayah malam itu. Bintang dan rembulan memang
tampak di langit, namun senyumnya dibawa kabur tentara kabut.
“Okta! Ayah mohon kau diam dan
tidak mencampuri urusan orang tuamu! Kelak jika kau sudah besar, kau akan tahu
betapa pahitnya sebuah penyesalan!” kata Ayah sambil menggebrak meja makan,
sendok dan garpu terpelanting ke lantai.
“Sudah cukup, jangan bertengkar
lagi!” Mama mengemis dengan air matanya. Ia tidak tahan setiap hari disuguhi
perdebatan suami dan anaknya.
“Ma! Bagaimanana aku bisa
membiarkan Ayah begitu saja sementara ia tidak bersemangat hidup? Ia itu
normal, Ma! Tidak cacat! Yang cacat itu penjual angkringan! Bukan Ayah!”
‘Plaakk!’ satu tamparan dari Ayah. Ia tidak terima lelaki muda itu
dikatakan cacat oleh putrinya, meskipun fakta menganggukkan kepala.
Air hangat mengalir di pelupuk
mata. Sikap Ayah yang lembut berubah menjadi dingin dan kasar semenjak trageni
lima bulan yang lalu. Ayah bukan lagi buruh yang ramah. Dahulu ia terkenal
dengan kegigihannyamenjadi kuli. Berangkat awal ke tempat-tempat pembangunan,
giat mengolah material. Tak pernah mengeluh meski panas jaga meneteskan peluh.
Sepulangnya bekerja, langsung menyapa Okta dan Mama di warungnya yang tak
begitu jauh dari rumah. Bahkan sebelumnya Okta tak pernah mendapatkan tamparan,
Ayah adalah sosok penyabar, dan kali itu kesabarannya hilang, entah siapa yang
mencurinya.
“Ayah! Okta itu anakmu!”
“PERGI KALIAN BERDUA!” ia sungguh
buta mata hatinya.
“Ayah lihat wajah Okta! Kau bilang
aku cantik! Kau bilang aku berharga! Kau bilang akan selalu melindungiku, dank
au bilang hanya aku yang menjadi penyemangatmu bekerja untuk menafkahi
keluarga, kau bilang aku lebih berarti dari apa pun! Sekarang semuanya omong
kosong!”
Ia mengusir, namun ia yang
akhirnya pergi, m.a.l.a.m i.t.u.
“Ayah jangan pergi! Ayah penanggung
jawab keluarga kecil ini, siapa yang mau menjaga Mama?”
Pintu tertutup.
Okta mengejar langkah Ayah yang
menyusuri jalanan menggunakan tongkat dan setia dengan kaca matanya. Mama
menyusul di belakang.
“Jangan seperti orang gila, Yah!”
Tak ada balasan.
“Ayah! Semua selokan yang Ayah
bangun akan mengutuk Ayah jika Ayah selalu seperti itu!”
Semilir angin malam berembus
sangat kencang. Punggung Ayah ditelan tikungan. Ia tak akan pernah pergi jauh
dari rumahnya, tak mungkin rela meninggalkan orang-orang yang dikasihinya
bertahun-tahun lamanya. Ia hanya ingin mencari angin segar, menembus kegelapan
yang pekat, mengabaikan kerlip lampu jalanan, menulikan telinga dari petikan
gitar para pengamen jalanan. Malam itu, ia yang sudah terluka bertambah luka
karena menampar putrinya sendiri.
Penjual bubur sum-sum telah pergi.
Pengunjung angkringan di seberang jalan bertambah ramai. Ayah berdiri di
trotoar, menelan kesalahannya sendirian. Lelaki muda itu masih sama, duduk di
kursi roda, menerawang hampa ke langit-langit yang dianggapnya tak berbintang. Anak kecilnya naik ke kursinya, meminta
dipangku, entah obrolan apa yang sedang terjadi, bocah mungil itu
menjawil-jawil hidung mancung lelaki tersebut.
Ayah menangis. Penyesalan kembali
menghanyutkan. Tak sepantasnya lelaki muda itu menderita di atas kursi roda
dengan tatapan hampa. Seharusnya ia yang menggantikan posisinya. Linggis yang
ia genggam di tangannya meleset. Lima bulan lalu, lelaki muda itu adalah salah
satu rekan buruhnya sebuah proyek pembangunan selokan. Ayah sering
memanggilnya, Rizki.
Rizki yang sedang menggali selokan
tertimpa linggis yang digenggam Ayah. Andaikan saja waktu itu Rizki tidak
mendongakkan wajahnya ke atas, hanya punggungnyalah yang akan terluka. Wajahnya
tertimpa linggis, merobek kornea matanya. Ayah dan para buruh panik, merek
melarikan Rizki ke rumah sakit. Semenjak itu, Rizki divonis buta.
Ayah tidak buta. Ia ingin
merasakan menjadi Rizki, orang yang ditakdirkan tak mampu menatap senyum manis
anaknya. Sejak itu pula, Rizki jarang berjalan sendirian, ia didudukkan oleh
istrinya di kursi roda agar memudahkan istrinya menuntun pulang. Beruntung
Rizki mempunyai istri yang sabar.
“Ayah pulang!” Okta berteriak dari
belakang. Dengan cepat ia mengambil kaca mata hitam Ayah, melemparnya ke
selokan dilanjutkan dengan menendang tongkat Ayah.
“Kau tidak buta! Jangan gila!
Lelaki itu sudah memaafkanmu!”
“Okta,” tubuh Ayah luruh di
pelukan Ayah. Perasaannya larut. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia sangat
menyayangi Okta. “Maafkan Ayah!”
Magelang, 26 September 2018
Komentar
Posting Komentar